Oleh I Gde Sudibya
Sebagai orang Bali. sudah tentu terperangah tentang sajian di Tik Tok yang membuat perbandingan amat sangat kontras tentang keamanan bagi wisatawan antara Dubai dengan Bali.
Dumai dalam Tik Tok itu dipersepsikan sangat aman, penuh rasa aman, sedangkan di Bali sebaliknya. Di era kebebasan bersedia sosial ini, sudah kita sulit memvalidasi kebenaran konten tik tok tersebut, apakah sesuai fakta, sekadar kritik bernada satire, atau agenda terselubung yang mendeskritkan Bali sebagai destinasi utama dunia. Namun demikian, perlu diberikan catatan sebut saja kritik bernada satire tentang Bali sebagai "mesti popularitas tourist destination in the world".
Mungkin ini kritik satire untuk Bali. Tetapi faktanya, realitas sosial Bali sebelum dasa warsa 1970-an, benar-benar "sorga" tentang kejujuran.
Riset yang dilakukan mahasiswa IPDN Jakarta tahun 1970-an, korupsi terendah ada di provinsi: Bali dan Sumbar. Bali, karena masyarakatnya percaya hukum karma, sehingga takut korupsi, sedangkan Sumbar masyarakatnya demokratis, sehingga pengawasan publik terhadap penguasa lebih ketat.
Pasca 26 tahun demokrasi, semuanya berubah, termasuk prilaku masyarakat Bali dan Sumbar. Kualitas demokrasi dan kualitas moral publik, memburuk.
Bagi para sejarawan Bali yang kritis, Bali bukanlah "sorga" pasca kejauhan Gelgel, tercabik-tercabik jadi kerajaan-kerajaan kecil yang tidak pernah berhenti berperang satu sama lain. Rasa benci dan dendam ditanamkan, termasuk dalam berbagai lontar.
Masyarakat menjadi berkeping-keping selama berabad-abad, yang terwariskan sampai kini. Dalam ungkapan satire "care siap Bali". Menghadapi kondisi ini, konon Pak Mantra sempat masgul, dengan melontarkan kritik keras, agar lontar-lontar yang tidak bertanggung-jawab ini "dimusiumkan", jangan dibaca lagi. Tantangan bagi generasi Bali kini, untuk tidak sampai "dikutuk" oleh generasi berikut sebagai generasi "penghancur" Bali.
Bagi generasi baru Bali, sudah selayaknya belajar dan bercermin dari sejarah masa lalu, membangun karakter baru, sejalan dengan tuntutan perubahan.SDM yang lebih berkualitas, belajar dari curve belajar panjang pariwisata Bali dalam 50 tahun terakhir, dan cerdas merespons perubahan.
Bukankah yang menang dalam persaingan ke depan, bukan karena kekuatan fisik, kecerdasan intelektual, tetapi mereka yang adaptif terhadap perubahan.
*) I Gde Sudibya, pengamat pariwisata dan kebudayaan.