Banner Bawah

NYEPI, Keheningan dan Sanatana Dharma

Admin - atnews

2025-03-25
Bagikan :
Dokumentasi dari - NYEPI, Keheningan dan Sanatana Dharma
Putu Suasta (ist/Atnews)

Denpasar (Atnews) - Putu Suasta, Alumnus UGM dan Universitas Cornell mengatakan, Nyepi Tahun Saka 1947/2025 bagi umat Hindu adalah momentum konsolidasi spiritual dalam membangkitkan spirit Sanatana Dharma.

Baru saja kembali dari mengikuti Maha Kumbh Mela 2025 setiap 144 tahun sekali dilaksanakan selama 45 hari, para peziarah datang dari seluruh India dan dunia.

Menurut laporan pemerintah Uttara Pradesh India dan Youtube, selama 45 hari, diperkirakan 600 juta pengunjung hadir selama festival dari 13 Januari 2025 hingga 26 Februari 2025. Dimana Mahashivratri sebagai puncak  Maha Kumbh Mela.

Acara Maha Kumbh Mela 2025 di Prayagraj telah mencetak rekor baru, dengan lebih dari 600 juta umat melakukan perendaman di Triveni Sangam, tempat bertemunya sungai Gangga, Yamuna, dan Saraswati. 

Angka tersebut melampaui jumlah penduduk beberapa negara besar, termasuk Amerika Serikat, Rusia, Indonesia, Brasil, Pakistan, dan Bangladesh, sehingga mengukuhkan perayaan Mahakumbh sebagai pertemuan spiritual terbesar di Planet Bumi tanpa ada kerusuhan. 

Bahkan Maha Kumbh Mela Prayagraj  dicatat sebagai Rekor Dunia Guinness yakni 1) Pembentukan rantai manusia terbesar; 2)  Sesi Yoga simultan secara besar-besaran 3) Rekam nyanyian himne kolektif.

Dijelaskan, pertama pembentukan rantai manusia terbesar dengan bergandengan tangan di sepanjang tepian Triveni Sangam, yang bertujuan untuk membentuk rantai manusia terpanjang di dunia, melambangkan Perdamaian dan spiritualitas kolektif.

Sesi Yoga simultan secara besar-besaran, dalam upaya untuk meningkatkan kesehatan dan keharmonisan spiritual, sesi yoga berskala besar terlaksana, dengan ribuan orang melakukan asana secara serempak. 

Termasuk rekam nyanyian nyanyian pujian secara kolektif: para peserta akan berkumpul untuk menyanyikan nyanyian pujian bersama-sama, dengan tujuan untuk memecahkan rekor pembacaan nyanyian pujian secara kelompok dalam jumlah terbesar, memenuhi suasana dengan semangat bakti.

Maha Kumbh Mela sebagai saksi peristiwa spiritual yang monumental dengan resital (pertunjukan musik yang dibawakan oleh satu pemain atau sekelompok kecil musisi) non-stop (24x7) dari mantra Weda (Jalan Rudri) oleh Vedpathis yang dimulai ke Brahmgyan. Acara luar biasa ini berlangsung 33 hari, menandai prestasi yang tak tertandingi dalam pengabdian spiritual dan disiplin.

Diorganisasikan oleh Divya Jyoti Ved Mandir, sebuah proyek Divya Jyoti Jagrati Sansthan (DJJS) di Sektor 9, estafet sakral ini menyatukan 504 sarjana Weda BrahmGyani, yang meneriakkan terus-menerus selama 792 jam, mencakup total 25.61,328 mantra Weda, termasuk 11.151 terjemahan dari Shukla Yajurvediya Rudra Ashtadhyayi Paath.

Prestasi bersejarah ini, yang dimulai pada pukul 3:00 pagi pada 14 Januari 2025 dan berakhir pada pukul 4:00 pagi pada 16 Februari 2025, secara resmi terdaftar di Asia Book of Records dan India Book of Records selama Maha Kumbh Mela.

BrahmGyani Vedpathis dari lebih dari 180 kota bersumpah untuk mengucapkan mantra-mantra ini tanpa pamrih, dengan maksud mulia untuk menumbuhkan perdamaian dunia dan kesejahteraan kemanusiaan.

Semua Vedpathis yang berkontribusi pada catatan ini adalah murid Divya Guru Ashutosh Maharaj Ji, yang telah melakukan perjalanan dari seluruh Bharat dan luar negeri untuk berpartisipasi dalam persembahan spiritual agung ini di Maha Kumbh.

Selain itu, upaya menjaga kebersihan yang memecahkan rekor terjadi di Maha Kumbh yang sedang berlangsung, dengan 15.000 pekerja sanitasi berpartisipasi dalam upaya untuk mencetak Rekor Dunia Guinness yang baru.

Sedangkan perayaan Hari Raya Suci Nyepi Tahun 2025 yang mengusung tema "Manava Seva, Madhava Seva", yang berarti "Melayani sesama manusia sama dengan melayani Tuhan".

Tema itu diharapkan mampu memberikan pedoman dalam merayakan Hari Raya Nyepi umat Hindu, apalagi Indonesia baru saja memiliki pemimpin baru, Presiden Prabowo didampingi Wapres Gibran serta pelantikan kepala daerah serentak se-Indonesia oleh Presiden Prabowo pada tanggal 20 Februari 2025.

Kepemimpinan tersebut bisa mengantarkan umat mencapai tujuan serta mendukung keberagaman dan pluralisme.

Suasta juga menjelaskan, rangkaian Perayaan NYEPI, akan selalu berulang setiap tahun; melasti sebagai pengingatan diri akan kesucian para dewa dengan membersihkan peralatan persembahyangan di laut; pangerupukan sebagai upaya tak terganggunya umat dengan segala bentuk bhuta; Nyepi sebagai puncak mahahening; ngembak geni sebagai suka cita dalam tali erat persaudaraan antarumat.

Musim hujan yang terjadi sepanjang awal tahun hingga memasuki Maret 2025 masih menjadi persoalan yang tak kunjung selesai di negeri ini, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan beberapa kota yang lain. Banjir, tanah longsor, adalah gambaran yang umum terjadi di negeri ini. dalam beberapa hal, alam nampak tidak ramah tetapi kita nampaknya tidak ada upaya belajar dari masa lalu tentang persoalan yang sama.

Nyepi tahun ini juga masih dibarengi dengan pergolakan politik, korupsi, konflik SARA yang kian menajam dalam beberapa kasus seperti yang terjadi di Papua beberapa bulan lalu. Begitu juga adanya kasus dugaan mega korupsi soal Pertamina, Timah dan lainnya.

Keselarasan antara pemerintah dengan partai, para pengamat yang tidak sejalan, debat di media elektronik yang tak kunjung menunjukkan kedewasaan dan kearifan. Kita seperti menjadi sebuah negeri yang masih berjalan di tempat sementara sejumlah negara lain telah mengejar ketertinggalan begitu cepat.

Carut-marutnya situasi negeri saat ini seperti membuang kearifan yang pernah dimiliki bangsa ini di masa lalu; menyingkirkan nurani dalam hidup berbangsa dan bernegara, melepas kebersamaan yang pernah dimiliki para pendiri bangsa. Kini yang terjadi ialah keriuhan dan keributan wacana yang jauh dari laksana. Kita hanya berpacu dengan percakapan-percakapan sengit di media elektornik, mengumbar hujatan, caci-maki, kebencian, fitnah hoaks yang tak menguntungkan kedamaian, keharmonisan dan stabilitas kultural.

Ritual yang begitu riuh, seremoni resmi yang hanya jatuh pada pidato-pidato normatif, namun setelahnya tetap saja terjadi sebuah kehebohan yang tak mendatangkan manfaat fungsional maupun manfaat rohani. Keberadaan internet dengan berbagai produk komunikasinya semakin menajamkan kegaduhan. Adakah bangsa ini mebutuhkan sedikit rasa sunyi untuk melihat ke dalam diri? 

Suasta seorang pengelana kehidupan  mengatakan, Nyepi adalah filosofi tahun baru bagi umat Hindu di Bali. Ketika tahun baru Saka datang, ia disambut keheningan diseluruh Bali. 

Para tetua Bali di masa lalu merumuskan keheningan secara awami dalam empat penyepian yang disebut sebagai catur bhrata panyepian. Keheningan secara luas adalah hal-hal mudah dimengerti oleh umat sedharma. Empat keheningan yang dimaksud ialah pertama sepi dari hal-hal terang (amati geni). Dalam konteks awam amati geni dipahami sebagai tidak menyalakan lampu di malam hari. Namun dalam kandungan maknawaminya jauh lebih dalam dari itu. Kesunyian dari terang memungkinkan kita memustkan pikiran untuk mencoba ‘masuk lebih jauh ke dalam diri’, memungkinkan ‘melihat samudra luas’ dalam akal budi, membantu kita ke pintu masuk menuju diri sejti. Bukankah bila kita mau memusatkan konsentrasi selalu memejamkan mata?

Selama setahun kita tak lepas dari tubuh-tuuh yang bergerak, panca indra yang terjaga sesuai fungsinya masing-masing, berpeluh lelah dalam pertarungan kerja, semuanya bergerak, bekerja, bergemuruh dalam diri. Dan saat Nyepi tiba, semua keriuhan tubuh dan pikiran itu menjadi berhenti sejenak, senyap, sunyi dan hening. Inilah saat amati karya yang paling indah untuk merasakan kontraksi bagaimana seluruh diri yang selama ini begitu riuh bergerak namun kemudian berhenti dari seluruh aktivitas. Ada kearifan leluhur yang menciptakan bahwa tubuh dan pikiran memerlukan "rasa" hening, mengumpulakn kembali energi yang dikuras habis selama hampir setahun menuju pemulihan yang kontemplatif.

Kediam dirian sehari penuh dalam keheningan ketiga yang disebut sebagai amati lelungan menggiring rohani mendapatkan suka citanya melakukan perantauan batin sehari penuh yang selama setahun ini jarang batin mendapat kesempatan untuk dirinya sendiri. Bercengkerama dengan batin, mendengarkan suara hati yang selama ini kita abaikan, merasakan kedamaian rohani lebih lekat, hanya mungkin dilakukan ketika kita mengosongkan diri dari langka-langkah bepergian. Kediamdirian adalah tapa bhrata kesunyian di mana yang ada ialah diri dan "diri sejati".

Bagaimanakah rasanya ketika hal-hal yang menyenangkan fisik dihentikan sehari? Inilah yang ditawarkan dalam keheningan amati lelanguan. Dalam keheningan lelanguan (hiburan), kita disarankan untuk lebih dekat dengan ‘hiburan yang paling sejati dalam diri kita’, yaitu nyanyian hati, nyanyian kesunyian, yang walaupun mungkin kita belum sampai pada tingkat ‘mendengarkan’ nyanyian hati atu kesunyian, setidaknya seluruh indra pada diri bisa diistirahatkan dari hiburan-hiburan hedonistik. Hiburan-hiburan yang bersifat indrawi pun kadang menjemukan juga.

Bagi tetua Bali masa lalu, Nyepi tak bertimbang pada untung-rugi dalam pergerakan ekonomi, karena bagaimanapun mungkin mereka merasa, ada satu waktu di mana orang-orang membutuhkan rasa sunyi untuk memberi kesempatan memeriksa seluruh diri dalam perjalanan hidup setahun setelahnya.

Bagi mereka yang tekun suntuk dalam perilaku spiritual, mementum Nyepi menjadi saat yang paling indah melakukan tapa bharata (pengekangan seluruh napsu yang ada dalam diri), yoga dan semadi yang serius. Karena saat Nyepi adalah kondisi yang paling memungkinkan mereka dapatkan, yakini keheningan menyeluruh yang membantu mereka dalam mengantar jalan spiritual mereka. Namun bagi orang awam, empat jalan yang dijelaskan di atas sebaiknya ditaati berdasarkan ketentuan awig-awig adat yang berlaku pada saat pelaksanaan hari Nyepi.

Dalam berbagai pemahaman tattwa (filsafat), arti sunyi—atau sunya menemukan pemaknaann
ya bahwa sunyi bukanlah selalu dipahami secara harfiah. Ketiadaan bukanlah hal kosong. Sunyi, dalam pemahaman mereka, adalah situasi sunya yang memungkinkan orang-orang menemukan pencerahan, suatu jalan menemukan kesadaran utuh kepada diri sejati.

Menuju sunyi adalah laku spiritual. Tidak sedikit pakar sunya tattwa meyakini bahwa kondisi sunyi adalah bangunan seluruh kesadaran diri yang menghendaki penyatuan kepada jati diri. Dan jalan sunyi itu adalah syarat yang paling memungkinkan ke arah itu. “Jadi, hakikat sunya adalah sunyi yang Nirwujud,” 

Dalam sunya, semua keberadaan ini sudah kehilangan identitasnya dan yang ada hanyalah esensi. Untuk itu, mengadakan sunya adalah laku spiritual untuk memunculkan ruang sunyi dalam diri sebagai kesadaran total yang tidak lagi terjebak oleh atribut dan identitas diri yang membelenggu dan menciptakan dinding tebal kekauan dan menghilangkan kadar kemurnian Sang Atma. Maka, hakikat dari mengadakan sunya dalah berupaya menyelami diri sehingga sampai kepada sebuah pengalaman di mana semuanya dirasakan sama dalam pandangan yang sama.

Sesungguhnya menuju diri sejati adalah sebuah ‘perjuangan rohani’ umat manusia dalam mencapai kebahagiaan yang paling hakikat, kemurnian yang sungguh-sungguh transendental. Sering kali pula jangankan upaya untuk menemukan diri sejati, bahkan untuk merekonstruksi ‘ruang sunyi’ dalam diri pun belum tentu mudah. Kuatnya pengaruh keduniawian sering kali mengikat umat manusia menyelami dirinya sendiri, menemukan hakikat diri yang ‘Tak Berwujud’. 

Sebagaimana yang diungkapkan Bagawad Gita Bab IV Sloka 4, “Bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Terwujud, kesulitannya lebih besar, karena sesungguhnya jalan dari Yang Tidak Termanifestasikan sukar dicapai oleh orang yang mempunyai badan jasmani”.

Seberapa besar pun sukarnya menuju pada Yang Hakikat, namun para bijaksana dengan penuh kasih tetap menuntun umatnya menuju ke diri sejati. Inilah yang mungkin sebabnya mengapa para leluhur Bali memutuskan merekonstruksi Nyepi sebagai ruang mahasunyi untuk memeriksa segala perbuatan, tindakan, ucapan untuk menjadi permenungan yang memadai untuk orang banyak.

Nyepi adalah kondisi yang dengan sadar dibangun untuk menuju situasi mahahening. Para umat Hindu Nusantara khususnya di Bali, kemudian dipersilakan untuk menyikapi diri dalam keheningan itu. Kondisi keheningan secara umum telah disediakan, maka jika kita bijaksana, maka kondisi ini adalah momentum yang sesungguhnya sangat spirtitual untuk memahami apa yang terjadi dalam diri dan luar diri.

Bahkan dalam percakapan Krsna dengan Arjuna dalam Medan Perang Kurukshetra, Bhagavad Gita Sloka 10.38 disebutkan, maunaṁ caivāsmi guhyānāṁ atau di antara rahasia-rahasia Aku adalah "keheningan". 

Di antara kegiatan rahasia seperti mendengar, berpikir, dan bermeditasi, keheningan adalah yang paling penting karena dengan keheningan seseorang dapat membuat kemajuan dengan sangat cepat. 

Suasta yang juga mengatakan Tahun Baru Saka tersebut. Mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu. Sehebat-hebatnya manusia pasti akan dikalahkan oleh sang Waktu.

Sebagaimana diungkapkan dalam Bhagavadgita Sloka 10.30 kālaḥ kalayatām aham artinya Di antara para penakluk Aku adalah waktu. Ada banyak prinsip yang menaklukkan, tetapi waktu mengikis segala benda di alam semesta. Karena itu, waktu adalah lambang Tuhan.

Begitu juga diungkapkan dalam Bhagavadgita Sloka 10.34: mṛtyuḥ sarva-haraś cāham, artinya Aku adalah maut yang memakan segala sesuatu.

Apabila seseorang dilahirkan, dia menjalani proses kematian pada setiap saat. Karena itu, kematian menelan setiap makhluk hidup setiap saat, tetapi pukulan terakhir disebut kematian sendiri. Kematian itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. 

Mengenai perkembangan pada masa yang akan datang, semua makhluk hidup mengalami enam perubahan pokok. Para makhluk hidup dilahirkan, tumbuh, tahan selama beberapa waktu, berketurunan, merosot, dan akhirnya lenyap. 

"Waktu, manusia, lemah, sakit-sakitan dan akhirnya menyerah pada panggilan ajal," imbuhnya.

Menurutnya, waktu setiap hari mengambil sebagian dari jatah kehidupan. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya tidak tersisa.

Maka yang cerdas adalah mereka yang tidak terlena dengan pesona dunia. Dia menyadari bahwa dirinya sewaktu-waktu pasti akan mati. Badan ini dilahirkan dan badan ini menjadi musnah. 

"Kebanyakan orang dari kita mengalami kesulitan pada saat kematian dan juga pada saat kelahiran. Kita adalah para makhluk hidup, tetapi kita juga adalah jiwa yang hidup. Kelahiran dan kematian berlangsung di dalam badan ini," ujarnya.

Diharapkan setiap orang berusaha mengerti duka cita pengalaman kelahiran, kematian, usia tua, dan penyakit. 

Ada pula dua uraian dalam berbagai kesusasteraan Veda mengenai kelahiran. Selian itu, setiap orang harus menyadari secara mendalam bahwa kelahiran penuh kesengsaraan. 

Oleh karena itu, lupa betapa besarnya kesengsaraan yang telah dialami di dalam kandungan ibu, tidak berusaha mencari penyelesaian kelahiran dan kematian yang dialami berulang kali.

Begitu pula, pada saat meninggal, ada segala jenis kesengsaraan, dan kesengsaraan itu juga disebut dalam Kitab-kitab Suci yang dapat dipercaya. 

Seyogyanya hal-hal ini dibicarakan. Mengenai penyakit dan usia tua, semua orang mendapat pengalaman yang nyata. 

Tiada seorang pun yang ingin jatuh sakit, dan tidak ada seorang pun yang ingin menjadi tua, tetapi hal-hal itu tidak dapat dihindari. 

Dengan mempertimbangkan kesengsaraan kelahiran, kematian, usia tua dan penyakit, maka tidak ada dorongan untuk bisa lebih cepat lepas dari ketidakterikatan, namun meningkatkan kesadaran spiritual.

Suka dan duka adalah hal-hal yang berjalan berdampingan dalam kehidupan material. Sebagaimana dinasehatkan dalam Bhagavad-gita, orang harus belajar cara toleransi. Orang tidak akan pernah membatasi datang dan perginya suka dan duka; karena itu, sebaiknya ia lepas dari ikatan terhadap cara hidup yang duniawi, dan dengan sendirinya bersikap seimbang dalam kedua keadaan tersebut.

Kematian pula tidak mengenal usia dan belas kasihan. Kematian bisa datang kepada siapapun dan kapanpun. Bisma yang mendapat anugrah dapat menentukan kapan kematiannya, tetap saja mati pasca perang Mahabharta di Kurukshetra selama 18 hari. 

"Lalu ayo kita gunakan  waktu sekarang sebaik mungkin untuk tidak menunda setiap kebaikan, empati yang terbersit di hati," ujarnya.

Oleh karena semenit lagi atau bahkan sedetik lagi tidak ada jaminan masih bisa melakukannya. 

Namun ada roh-roh yang beruntung mengetahui kapan hari kematian seperti Maharaja Parikesit yang merupakan cucu Arjuna dari Kerjaaan Kuru atau Hastinapura. Menjelang tujuh hari wafatnya, Maharaja Parikesit menghabiskan waktunya untuk puasa dan tekun mendengarkan kitab suci.

Dalam Bhagavata Puran 2.1.13
khaṭvāṅgo nāma rājarṣir
jñātveyattām ihāyuṣaḥ
muhūrtāt sarvam utsṛjya
gatavān abhayaṁ harim

Artinya 
Raja Khaṭvāṅga yang suci, setelah diberi tahu bahwa umurnya hanya tinggal sesaat lagi, segera melepaskan diri dari semua kegiatan material dan berlindung pada keselamatan tertinggi, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.

Seorang yang bertanggung jawab penuh harus selalu sadar akan tugas utama kehidupan manusia saat ini. Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan langsung kehidupan material bukanlah segalanya. Seseorang harus selalu waspada dalam tugasnya untuk mencapai situasi terbaik di kehidupan berikutnya. 

Kehidupan manusia dimaksudkan untuk mempersiapkan diri kita bagi tugas utama tersebut. Mahārāja Khaṭvāṅga disebutkan di sini sebagai seorang raja suci karena bahkan dalam tanggung jawab pengelolaan negara, ia sama sekali tidak melupakan tugas utama kehidupan. 

Demikian halnya dengan rājarṣi (raja suci) lainnya, seperti Mahārāja Yudhiṣṭhira dan Mahārāja Parīkṣit. Mereka semua adalah tokoh teladan karena kewaspadaan mereka dalam melaksanakan tugas utama mereka. 

Mahārāja Khaṭvāṅga diundang oleh para dewa di planet-planet yang lebih tinggi untuk melawan para raksasa, dan sebagai seorang raja, ia bertempur dalam pertempuran-pertempuran yang memuaskan para dewa. 

Para dewa, yang merasa sangat puas dengannya, ingin memberinya berkah berupa kenikmatan materi, tetapi Mahārāja Khaṭvāṅga, yang sangat waspada terhadap tugas utamanya, bertanya kepada para dewa tentang sisa umur hidupnya. Ini berarti bahwa ia tidak begitu ingin mengumpulkan berkah materi dari para dewa, tetapi ia ingin mempersiapkan diri untuk kehidupan selanjutnya. Akan tetapi, para dewa memberi tahunya bahwa hidupnya hanya akan berlangsung sebentar lagi. 

Raja itu segera meninggalkan kerajaan surga, yang selalu penuh dengan kenikmatan materi dengan standar tertinggi, dan turun ke bumi ini, berlindung sepenuhnya kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa yang maha aman. Ia berhasil dalam usahanya yang besar dan mencapai pembebasan. Upaya ini, bahkan untuk sesaat, oleh raja yang suci itu, berhasil karena ia selalu waspada terhadap tugas utamanya. 

Mahārāja Parīkṣit demikian didorong oleh Śukadeva Gosvāmī yang agung, meskipun ia hanya memiliki tujuh hari tersisa dalam hidupnya untuk melaksanakan tugas utamanya, yaitu mendengarkan keagungan Tuhan dalam wujud Śrīmad-Bhāgavatam . Atas kehendak Tuhan, Mahārāja Parīkṣit langsung bertemu dengan Śukadeva Gosvāmī yang agung, dan harta karun besar berupa keberhasilan spiritual yang ditinggalkannya disebutkan dengan baik dalam Śrīmad-Bhāgavatam. (GAB/001)
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Kerajinan Ketak Desa Darmaji, Diekspor Sampai ke Negeri Tetangga

Terpopuler

Karma Sri Krishna: Belajar dari Siklus Kehidupan Lahir dan Mati, Pelajaran bagi Pemimpin

Karma Sri Krishna: Belajar dari Siklus Kehidupan Lahir dan Mati, Pelajaran bagi Pemimpin

Kemelut Menimpa Bali, Berempati kepada Kelompok Miskin dan Wong Cilik, Tidak Sekadar Pemimpin Produksi Surat Edaran

Kemelut Menimpa Bali, Berempati kepada Kelompok Miskin dan Wong Cilik, Tidak Sekadar Pemimpin Produksi Surat Edaran

Sewa Pertokoan di Dalung

Sewa Pertokoan di Dalung

Masuk WBTB, Tradisi Bukakak Simbol Kesuburan Desa Giri Emas

Masuk WBTB, Tradisi Bukakak Simbol Kesuburan Desa Giri Emas

Pesan Moral dan Perjuangan Keadilan dari Itihasa Mahabharata

Pesan Moral dan Perjuangan Keadilan dari Itihasa Mahabharata

Mi-Reng Festival Hadirkan Pembicara Kartawan, Bahas Kebaruan dalam Kekinian Musik Gamelan

Mi-Reng Festival Hadirkan Pembicara Kartawan, Bahas Kebaruan dalam Kekinian Musik Gamelan