Oleh JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP
“Om, sembah sujud kepada Hyang Embang, penyebab semua yang ada. Sujud kepada Bhagawad Walmiki dan Bhagawad Vedawiyasa agar tan keneng upadrawa, telah menarasikan kembali. Memohon diberi cahaya yang terang”.
Karma seseorang telah pasti, apapun usahanya. Seseorang hanya perlu berusaha lebih keras agar mendapat nilai 9 atau 10 yang tertinggi, meskipun nilai 6 dinyatakan lulus. Hidup tidak lepas dari siklus suka, duka, lara dan pati. Karena itu tidak ada alasan untuk tidak bahagia. Ketika Suka (senang, gembira) telah dinikmati, maka giliran duka menemani. Nasehat para bijak, janganlah terlalu gembira nanti “ngasa”. Kematian pasti bagi yang lahir, kembali pulang ini rumus utama kehidupan. Sakit adalah temannya sehat. Seseorang yang sakit perlu memandang sakit sebagai teman untuk beristirahat sambil mendalami keesaan Hyang Widi Wase. Nasehat-nasehat ini ditemukan dalam ajaran Veda, Itihasa, Maha Purana, Dharmasastra dan pustaka Nibanda laiinnya.
Menurut penjelasan dalam Pustaka Maha Purana, kisah Ramayana dan Mahabharata telah berulang kali terjadi selama pergantian mahayuga. Satu Mahayuga sekitar 4 juta tahun manusia. Satu Kalpa 14 Manwantara dan satu Manwantara 71 mahayuga. Sekarang ini Manwantara ke-7 pada masa mahayuga hitungan Kaliyuga. Masih sekitar 2 milyard tahun baru mahapralaya.
Ramayana dan Mahabharata terus dikumandangkan, demikian juga Catur Weda dan pustaka bhasya lainnya. Ajaran Veda yang sangat luas dan dalam, belum dapat dipahami seratus kali kelahiran manusia biasa, meskipun Sri Rama dan Sri Krishna butuh 60 hari menamatkannya dan Hanuman sehari dari gurunya Surya Raditya. Surya Raditya adalah murid terpeintar dari Dewa Siwa, karenanya beri nama Siwa-Raditya. Hanuman sendiri adalah awatara Dewa Siwa, seperti Rama dan krishna awatara Dewa Wisnu.
Hal ini dapat dipahami bila seseorang sedikit saja membaca dan memahami Veda. Ketika Dewi Anjani permaisuri Kapiwara Kesari menjelaskan kepada Hanuman tentang keberulangan waktu. Hanuman kecil bertanya kepada Dewi Anjani (ibunda Hanuman) “kapan hanuman bisa menemui Rama”. Anjani dengan penuh kasih dan cinta menjelaskan bahwa Hanuman akan segera menemui Rama, karena waktu-waktu di masa lampu demikian adanya, bersabarlah sampai tiba waktunya.
Pada waktu yang telah ditetapkan Hanuman kecil kemudian bersama Dewa Siwa yang menyamar mengajak Hanuman menuju Ayodyapura (inti Istana Waikunta bernama Ayodya). Orang-orang tidak sabar menunggu, kadangkala memaksa waktu. Sementara waktu tidak pernah berkompromi. Bila waktunya terjadilah. (Untuk menetapkan waktu yang tepat masyarakat Hindu Bali mendekati dengan padewasan, dengan Tahun Saka).
Sri Krishna menarik nafas panjang dan menyandarkan dirinya pada pohon besar yang rindang. Untuk menenangkan dirinya. Ia memejamkan matanya dan nampak dadanya megembang. Ia menarik nafas dalam-dalam. Menanti waktu yang tepat. Waktu dimana tugasnya berakhir di bumi. Ia mendengar langkah-langkah mendekatinya. Langkah-langkah yang sangat hati-hati. Itu langkah seorang pemburu. Bagi Sri Krishna langkah itu sangat jelas, mekipun menusia dan hewan tidak mendengarnya. Bagi Sri krishna tidak ada yang tersembunyi. Apapun dapat di dengar dengan jelas oleh Sri krishna. Ketika langkah itu berhenti dan terdengar beradunya gandewa dan anak panah, dan seseorang siap menembakkan panah, Krishna menarik nafas panjang, lalu memanggil pemburu itu. “Jara mendekatlah, Aku menunggumu sejak lama”.
Dalam jarak bidikan panah, nafas Jara yang terengah membuatnya kaget. Dalam pemburuannya, dimana saja, baru kali ini ia mendengar suara yang sangat ia kenal. Suara junjungannya yang ia selalu chantingkan dalam setiap nafasnya “ Om Sri Rama ya namaha- Om Sri Krishna ya namaha”.
Jara belangkah perlahan ke arah suara. Seorang pencari-pemburu dengan pasti dapat menemukan asal suara. Sri Krishna berujar: “Jara mendekatlah segera. Aku memohon belas kasihmu”. Angin berhembus dan menerbangkan dedaunan kering, namun tidak terdengar suara burung atau lenguh binatang, kemudian senyap hanya terdengar nafas Sri krishna dan Jara. Jara menemukan Sri Krishna tersenyum namun lemah tak bertenaga dan menyandarkan dirinya pada pohon yang besar itu. Jara menjatuhkan kepalanya ke tanah dengan isak tangis bahagia yang mendalam. Sambil menahan isak dan terbata-bata saking gembiranya, Jara berkata:
” Paduka..Tuankku...benarkah engkau itu”, tanya Jara mantap karena ia melihat tanda keesaan Tuhan pada Sri Krishna. “Ya ini aku...aku sengaja menunggumu disini, mendekatlah dan aku memohon bantuanmmu”, kata Sri Krishna lembut.
“Ampun paduka...hamba yang hina ini, pantaskah dimintai bantuan oleh Yang Maha Besar sedangkan hamba hanya seitik debu”, kata Jara bergetar.
Sri Krishna tersenyum khas, yang membuat Jara merasa damai. “Aku mengajarkan kebenaran yang engkau masih ragu sampai saat ini. Pertemuanku denganmu sengaja aku tunda pada beberapa waktu, karena kesetianmu memanggil namaku dengan lembut dan tulus. Kali ini aku menunggumu untuk memantapkan keyakinanmu dan meneruskan kebenaran ini. Engkau adalah Kapiwara Subali, Maharaja Kiskenda yang agung dan dasyat. Rahwana yang kini telah menjadi penjaga pintu gerbang Ayodya di Istanaku Waikunta adalah muridmu. Aku telah membunuhmu dengan panahku secara tidak kesatrya pada zaman Tretayuga. Karena hanya dengan cara itu aku dapat membunuhmu. Tidak ada yang menang melawanmu kalau berhadapan, termasuk diriku. Itu karma buruk yang aku lakukan. DI tempat yang sama di balik pohon ini aku bersembunyi dan menembakkan panah ke dadamu. Aku masih ingat pelajaran yang engkau sampaikan dengan penuh amarah Swadharma seorang Kesatrya. Engkau memiliki garis keturunan Rsi Utama, maka engkau memiliki jananam yang tinggi pula. Karma harus berjalan sesuai standarnya”. Jara menggigil, dan ia melihat pemandangan ketika tubuhnya jatuh dan dadanya dirobek dan panah itu menembus badannya. Sakit bukan kepalang, sebagai hukuman terhadap ketidak adilannya dan terbunuh karenanya.
“Ampun paduka, hamba menyadari kesalahanku. Hamba menyadari betapa hamba telah melanggar sumpah sebagai raja yang harus melindungi rakyat. Hamba dibutakan oleh kekuasaan, kekuatan dan kesombongan. Kekuasaan yang palsu. Kini hamba siap menyerahkan diri, bunuhlah hamba kembali untuk menjadi abdimu seperti Hanuman. Hamba kini merasa sangat bahagia, karena seluruh nafas dan aliran darah hamba berisi namaMu. Hamba sujud dan menyerahkan diri.”, kata Jara dan menjatuhkan lagi kepalanya, diam membeku.
“Dengan menyebut namaKu sepanjang nafasmu dan sepanjang darahmu mengalir, engkau telah mendapat anugrahKu. Seluruh dosa dari dosa engkau membunuh binatang telah aku hapuskan, engkau akan kembali mengambdi kepadaku di Waikunta kelak setelah tugasmu rampung. Namun kali ini aku meminta engkau melakukan sesuatu untukKu”, kata Sri krishna. Di kejauhan terdengar suara bergemuruh. Nampak debu berterbangan, burung-burung dan binatang berhamburan ketakutan. Prajurit Pandawa yang mencari keberadaan Sri krishna. Terdengan Panca Pandawa memanggil nama Sri Krishna.
“Jara pergilah ke balik pohon ini. Engkau akan menemukan gandewa dan anak panah ambillah untukku. Cepatlah agar Pandawa tidak menemukanmu dan aku disini”, kata Sri krishna. Jara melesat seperti Kapiwara Subali menuju balik pohon dan mengambil Gandewa dan Anak Panah yang tergantung. Ia bersujud lagi dan menyerahkan panah itu. Sri krishna tersenyum dan berkata.
“Bukan. Engkau mundurlah tiga langkah dan berdiri dengan tenang bersikaplah sebagai seorang ksastry sejati, bentangkan panah itu dan arahkan ke jantungku. Inilah syarat engkau menjadi abdiku, sebagai seorang waisnama bersama Aswatama dan Kripa menuju seluruh pelosok bumi menyampaikan kebenaran”. Jara menjatuhkan dirinya dan menangis sejadinya di depan Sri krishna. Ia berteriak dengan terikan wanara yang marah dan menggelagar merontokkan dedaunan.
“Jara...ingat engkau adalah Kapiwara Subali, guru Rahwana, dan engkau mengalahkan Triloka. Tunjukkanlah sekarang kepadaku”, kata Sri Krishna. Jara melihat dirinya adalah Maharaja Kapiwara Subali. Lalu ia sujud dan berkata: “Dosa apalagi yang hamba akan terima bila membunuh paduka yang maha agung. Ampunilah kali ini hamba menolaknya....”, air mata Kapiwara Subali bercucuran.
“Engkau telah memahami Veda lebih lengkap dariku ketika masih menjadi Sri Rama, pun dalam wujudku sekarang. Bila engka menolak engkau merusak tatanan karma. Karma tidak bisa dihansurkan pun ditentang, karena inihukum alam yang aku ciptakan, Rtam. Segeralah..bentangkan gendewa dan anak panah ke arah jantungku..sebelum Pandawa datang menemuiku dan menangkapmu sebagai pembunuhnya”.
Jara menemukan dirinya, lalu ia berdiri kokoh dan siap membidik jantung Sri krishna. Jara memejamkan mata dan melepaskan anak panah. Karena tubuhnya yang gemetar, panah jara tidak mengenai jantung, tetapi jempol kaki Sri Krishna. Jara terperanjat setelah perlahan membuka matanya. Ia melihat tubuh Sri Krishna dan melihat anak panah mengenai jempol kaki Sri krishna.
“Ampun paduka..hamba telah melukaiMU”, jara menangis mencucurkan air mata dan mendekati Sri Krishna.
“Jangan..segeralh engkau pergi secepat kilat sebelum Pandawa tiba dengan prajuritnya. Engkau tidak akan dapat melepaskan diri. Pergilah agar engkau dapat meluaskan dharma kepada semua mahkluk. Dengan ragu..Jara bangkit dan melesat tanpa menoleh, sekejap ia hilang dari pandangan Sri Krishna. Hanya beberapa berselang Pandawa dan prajuritnya menemukan Sri krishna bersadar di pohon, dengan tiada nafas lagi. Pandawa menjerit menumpahkan seluruh dukanya. Para prajurit menjatuhkan kepalanya di tanah sujud kepadaNya.
Yudistira mendekati jazad Sri Krishna. Lalu mengumumkan Sri krishna telah wafat. Angin berhenti berhembus, semua prajurit dan Pandawa menangis, dedaunan tiak bergerak, di kejauhan terdengar lenguh binatang yang tertahan, burung-burung terdengar berkicau sesaat lalu diam. Terdengar kidung yang merdu dan suara gamelam surgawi, pertanda kematian seorang yang utama.
Apapun yang seseorang pikirkan, katakan dan lakukan tidak lepas dari hasilnya. Karma. Pikiran yang baik menghasilkan vibrasi yang baik, melahirkan kata-kata yang lembut dan perbuatan yang dapat membuat orang lain senang (a gawe sukaning wong len, sevanam). Karma! Jara telah terbebas dari perbuatan buruknya. Pandawa masih harus melanjutkan tugasnya memimpin Hastinapura untuk menyenangkan rakyatnya. Bukan menyenangkan dirinya, sebagai tugas utama pemimpin. Pemimpin yang mampu menyenangkan rakyatnya akan berkarma baik dan menjadi seorang pemimpin yang dicintai, pengabdi pada kebenaran.
Kita semua adalah pemimpin pada lingkungan dan komunitas sendiri. Menjadi pemimpin yang baik adalah ketika yang dipimpin menjadi senang, bukan menyenang-nyenangkan pemimpin. Rahayu.
*) Penulis: JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP menetap di Desa Pujungan, Pupuan, Tabanan. Mantan Dosen: PPS UHO, PPS STIE 66, Unsultra, STAH Bhatara Guru. Mantan pengurus PHDI Pusat dan Daerah. Pensiunan PNS-Pejabat Utama Provinsi, jabatan fungsional terakhir Widyaiswara Ahli Utama (IV/e). Mantan Bappeda (tiga jabatan), Karo (dua jabatan), Asisten (dua jabatan) dan berulangkali menjadi Plh. Sekda Provinsi. Alumi Faperta Unram (1984), Alumni S2-MPKD dan S3-Geografi Fisik UGM (1995, 2003). Mendalami Urban Planning di Roterdam, Belanda. Delegasi Indonesia di bidang Desentralisasi Fiskal di New Delhi dan Philipines, dibiayai WB.