Oleh Wayan Windia
Seperti biasanya, setiap akhir tahun kita diminta merenung. Mungkin kalimat ini klise. Tetapi setiap akhir tahun, terkadang saya diminta untuk menulis renungan. Renungan tentang masa lalu, terkadang bermanfaat untuk membuka pikiran ke masa depan. Kalau tidak ada masa lalu, maka kita tidak bisa merajut masa depan. Kenapa? Karena kita tidak memiliki referensi sebagai cermin. Itulah pentingnya sejarah. Dan bangsa ini banyak sekali memiliki sejarah. Melalui proses perang kemerdekaan, lalu kita memiliki berbagai pengalaman sejarah. Hingga kini, hari-hari proses sejarah itu, kita peringati dengan hidmat. Terkadang, kalau pelaku sejarahnya masih ada, maka mereka pasti meneteskan air mata
Tahun 2019, apakah yang kita kenang? Peristiwa terbesar adalah peristiwa politik pelaksanaan pilpres 2019. Dalam prose situ, sepertinya bangsa ini akan pecah. Dikotomi-nya sangat tajam. Bahkan menyentuh agama sebagai politik identitas. Untunglah Prabowo mau mengalah dan siap membantu dan menjadi partnernya Jokowi. Kalau ia tidak bersedia, mungkin hingga pilpres tahun 2024, dikotomi politik bangsa ini akan tetap panas. Apalagi banyak komonitas elit politik, termasuk Fadli Zon yang tidak setuju rekonsiliasi.
Tampaknya friksi efek pilpres, banyak sekali yang berkepentingan untuk tetap dipelihara aura panas dikotomi-nya. Saya kira ada tangan Tuhan yang turun, untuk menyatukan kembali bangsa ini yang nyaris porak poranda karena politik praktis. Kuncinya ada pada Prabowo. Ia ternyata seorang keturunan darah pejuang kemerdekaan, yang nasionalistis. Dua orang pamannya gugur dalam perang kemerdekaan. Untuk menghormati pamannya yang gugur dalam usia remaja, maka nama pamannya yakni Subiyanto dilekatkan di belakang nama Prabowo. Ayahnya Prabowo yakni Profesor Sumitro Djojohadikusumo, untung saja dilarang ke garis depan medan perang kemerdekaan. Sumitro diminta untuk mengabdi kepada negaranya dengan belajar ke luar negeri. Mula-mula ke Perancis dan kemudian ke Belanda. Tampaknya, darah pejuang leluhurnyalah yang mengarahkan hati Pak Prabowo agar bersatu dalam NKRI. Prabowo tampaknya tidak bersedia ikut arus dikotomis. Lalu memutuskan untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi dan NKRI. Orang-orang yang menunggangi Partai Gerindra tentu saja sangat kecewa.
Sebagai bangsa yang heterogen, inilah memang yang menjadi efek berat dari pelaksanaan Pilpres langsung. Muncul hoax, muncul politik identitas, muncul dikotomi sospol, dll. Barangkali hal ini sudah dipikirkan oleh para pendiri bangsa ini dahulu, dan kemudian dirumuskan dalam pasal-pasal UUD 1945 (yang asli). Lalu muncullah sistem demokrasi perwakilan. Bukan demokrasi langsung ala Barat. Tapi renungan leluhur bangsa ini diabaikan begitu saja oleh elit politik kita di era reformasi. Oleh karenanya, saya tetap berpendapat bahwa sebaiknya kita kembali kepada pelaksanaan UUD1945 (yang asli). Kalau ada pasal karet dalam UUD tsb, maka pecahkan melalui TAP MPR.
Tapi apa boleh dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Para ahli politik didikan Barat terlalu dominan dalam proses transisi politik dari Orba ke era refomasi. Sedangkan para ahli hukum sangat kurang peranannya. Mungkin karena itulah dalam era reformasi, maka politik kembali menjadi panglima perang. Politik tampaknya dibayar dengan istilah at all cost. Biaya pemilu yang dahsyat harus dibayar. Meski resikonya ada korupsi oleh kalangan kepala daerah dan elit di parlemen. Hal ini diungkapkan dengan jelas oleh Mendagri Tito. Tapi ia mendapat tantangan yang keras oleh berbagai kalangan yang sudah menikmati zone nyaman era ini.
SEDIH DENGAN PELEMAHAN KPK
Pelaksanaan pemilu 2019 telah dilaksanakan dengan aman (dan dengan berdarah-darah). Tetapi tiba-tiba saja seperti ada komando untuk merevisi UU KPK. Revisi itu sangat melemahkan KPK. Dalam waktu singkat, revisi UU itu mampu diwujudkan. Aneh juga. Kok demikian cepat. Kok dilaksanakan setelah pilpres? Reaksi dan demo bermunculan. Banyak yang mengritik dan bahkan sampai jatuh korban jiwa dalam demo di Sulawesi.
Saya heran. Jokowi yang dalam kampanyenya selalu menekankan untuk memperkuat KPK, lalu setuju saja dengan ide revisi UU KPK itu. Untuk hal itu, saya sangat sadar, bahwa Jokowi tidak kuat menahan tekanan politik parpol. Ia bukan pimpinan partai, tetapi menjadi Presiden. Jokowi tidak memegang komando politik praktis. Tentu saja ia harus tunduk pada tekanan parpol. Apalagi yang menjadi sponsor utama dari revisi itu adalah partainya sendiri. Bahkan tidak ada satu partai-pun yang melawan di DPR, ketika ada proses pemelahan KPK. Tampaknya Jokowi mesti harus tunduk.Isu tentang KPK tidak hanya sampai di sini. Lembaga KPK akan terus menjadi isu politik dalam pilpres yad. Saya kira partai yang setuju revisi UU KPK akan turun drastis suaranya. Partai ini akan ditinggalkan oleh generasi muda yang idealistis. Sebuah generasi muda yang banyak memiliki harapan-harapan. Generasi ini kagum dengan kinerja KPK, lalu kenapa KPK harus dikebiri. KPK adalah satu-satunya lembaga era reformasi yang bersih dan kuat. Sedangkan lembaga DPD dan MK sudah sangat babak belur. Demikian juga halnya dengan DPR.
Pelemahan KPK adalah satu-satunya kelemahan dalam era tahun 2019. Sebelumnya saya sangat bangga dengan Jokowi dan KPK. Tetapi setelah Jokowi setuju dengan revisi UU KPK, saya menjadi tidak simpati lagi. Kalau Jokowi muncul di TV, saya pasti pindah chanel. Demikian juga ketika Ketua KPK yang baru hadir di TV. Saya selalu dengan cepat pindah chanel TV.
*) Penulis, adalah Guru Besar di Unud dan
Ketua Dewan Pembina Yayasan Made Sanggra di Sukawati.