Oleh Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA.
Pembalakan atau penebangan pohon di Kawasan hutan di Bali harus diatasi oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun non-pemerintah, seperti desa adat. Dampak negatif terhadap penebangan pohon adalah sangat signifikan bagi kehidupan manusia dan lingkungan alam baik di kawasan hutan (hulu) dan kawasan di hilir, seperti banjir, longsor, korban harta benda dan bahkan manusia.
Terlebih lagi di dalam menghadapi perubahan iklim atau climate change di Indonesia termasuk di Bali. Peran masyarakat, khususnya desa adat perlu semakin didorong untuk memiliki partisipasi dan keterlibatannya dalam pengelolaan hutan. Prinsip Wana Kerthi sebagai bagian dari Sad Kerthi harus secara murni dilaksanakan oleh warga masyarakat sehingga pengelolaan hutan berbasis local wisdom dapat memberikan hasil yang optimal. Dengan demikian, visi Gubernur nangun sat kerthi loka Bali dapat diwujudkan oleh masyarakat bersama pemerintah serta stakeholder lainnya.
Pengelolaan hutan oleh Desa Adat sangat dapat dilakukan oleh warganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Peraturan Menteri LHK Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak. Melalui Peraturan Menteri tersebut, pemerintah telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat.
Secara tegas disebutkan juga pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, dimana pengelolaannya mencakup Hutan Desa; Hutan Kemasyarakatan; Hutan Tanaman rakyat; Hutan Adat; dan kemitraan kehutanan. Ini berrati bahwa terdapat pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kawasan hutan adatnya dan sekaligus menjadi bukti Pemerintah telah ikut hadir untuk melindungi hak masyarakat tradisional. Pemerintah telah menyadari pentingnya kearifan lokal dalam pengelolaan hutan.
Jika masyarakat adat, seperti Desa Adat memiliki keinginan untuk mengelola hutan, maka sangat dibutuhkan adanya persetujuan atau penetapan yang diberikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan sehingga mereka memiliki akses legal Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Permohonan Persetujuan Pengelolaan hutan, misalnya hutan desa disampaikan kepada Menteri, dengan tembusan kepada: gubernur; bupati/wali kota; organisasi perangkat daerah bidang kehutanan; kepala UPT; dan kepala KPH. Permohonan persetujuan Pengelolaan hutan tersebut diajukan melalui surat permohonan yang ditandatangani oleh ketua Lembaga Desa dan diketahui kepala desa/lurah; atau ketua gabungan Lembaga Desa dan diketahui oleh para ketua Lembaga Desa dan para kepala desa/lurah atau camat setempat, seperti tertuang pada Pasal 12 dan Pasal 13 Peraturan Menteri LHK No.9/2021 tersebut. Sementara penetapan status Hutan Adat dilakukan dengan kriteria:berada di dalam Wilayah Adat; merupakan areal berhutan dengan batas yang jelas dan dikelola sesuai Kearifan Lokal MHA yang bersangkutan; berasal dari kawasan hutan negara atau di luar kawasan hutan negara; dan masih ada kegiatan pemungutan hasil hutan oleh MHA di wilayah hutan di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Penetapan status Hutan Adat dilakukan melalui permohonan kepada Menteri oleh pemangku adat dengan tembusan kepada: bupati/wali kota; organisasi perangkat daerah provinsi bidang lingkungan hidup dan/atau kehutanan; organisasi perangkat daerah kabupaten/kota yang membidangi lingkungan hidup; dan unit pelaksana teknis terkait Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hutan Adat yang dimaksud dapat berasal dari hutan negara; dan/atau bukan hutan negara. Yang memiliki fungsi pokok yaitu konservasi; lindung; dan/atau produksi. Kondisi yang demikian ini memberikan kemungkinan jika desa adat dapat mengelola hutan di kawasannya.
Masyarakat adat diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang menjadi komponen penting dalam masuknya prinsip-prinsip modernisasi dalam pengelolaan hutan tersebut. Selain itu, perlu ditegaskan kepada masyarakat bahwa pengelolaan hutan adat adalah tidak mengubah fungsi hutan dan bahkan mampu melestarikan, memulihkan dan meningkatkan fungsi hutan, termasuk mencegah pembalakan hutan, dan selanjutnya mencegah terjadinya bahaya yang ditimbulkan karena kerusakan fungsi hutan.
*) Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA., Rektor Dwijendra University, Ketua HKTI Bali, Ketua Perhepi Bali