Oleh Jro Gde Sudibya
Pandemi Covid - 19 telah " meluluh-lantakkan" ekonomi dunia, tidak saja berdampak terhadap ekonomi tetapi juga prilaku sosial kutural masyarakat secara global.
Kehidupan pasca pandemi melahirkan ketidakpastian baru, tentang banyak hal: masa depan: ekonomi, keberlanjutan usaha dan karir orang per orang.
Melting pot dari pandemi dan dashyatnya revolusi digital, membuat risiko dan ketidakpastian kehidupan menjadi semakin tinggi, terutama bagi mereka yang gagap dan gagal merespons disrupsi perubahan.
Muncul fenomena di dunia kerja, terutama di kalangan milenial untuk secara sengaja tidak bekerja secara optimal dan bahkan tendensi keengganan bekerja.
Menarik disimak tulisan dalam Kompas, Sabtu, 27 Agustus 2022 dengan tema: Trend " Mogok Kerja " oleh wartawan Andreas Maryoto.
Wartawan ini menulis: " Pandemi memang sudah mengubah banyak hal. Di dunia kerja muncul fenomena karyawan dalam jumlah besar mengundurkan diri tanpa alasan jelas (great resignation).
Kini muncul trend baru yang bernama quiet quitting. Karyawan sesungguhnya tidak keluar dari pekerjaan tetapi mereka hanya kerja pas-pasan. Tidak ada ambisi, tidak rela kerja lembur, dan bekerja jauh dari kemampuan ".
Fenomena "Mogok Kerja" dan atau "Santai Kerja" sudah tentu kontradiktif: di tengah ketidakpastian ekonomi dan masa depan, semestinya dunia kerja bangkit jengah mengkosolidasi ethos kerja baru, tetapi sebaliknya malah memble.
Timbul pertanyaan: bagaimana menjelaskan fenomena kontradiktif di dunia kerja ini?.
Secara spekulatif dapat dijelaskan secara sederhana seperti di bawah ini.
Pertama, ketidakpastian ekonomi dan masa depan yang bercirikan Complexity (keruwetan), Ambiguity (ketidakjelasan) dan Volatility (kelabilan tinggi), direspons oleh bawah sadar pekerja dalam bentuk " perlawanan " dengan kecendrungan menghindari pekerjaan. PR yang harus ditangani oleh para pekerja, industri dan para pendidik.
Kedua, kesenjangan pendapatan yang tajam dan ketidakadilan ekonomi yang nyaris tak tertahankan, menyebakan jutaan milineal berada di pinggiran, dengan akses sumber daya yang sangat terbatas dan nyaris nihil. PR bagi pengambil kebijakan publik yang memperoleh amanah konstitusi.
Ketiga, puncak gunung es dari kemerosotan moral kerja dan ethos kerja. PR bagi elite di semua lapisan untuk melakukan revitalisasi sebut saja keluhuran budaya Nusantara.
Sudah tentu, tetap kita menyimak kalangan milenial yang trampil dalam mengelola kesempatan yang lahir dari revolusi di dunia digital, dan mereka yang punya "pasive income ", sehingga bisa kerja sambil menjalankan hobi. Dan kalangan milenial yang melakukan "quiet quitting" , semacam jeda untuk kemudian nanti kembali bangkit dengan ethos kerja baru merespons tantangan zaman.
*) Jro Gde Sudibya, ekonom, berpengalaman sebagai kosultan pengembangan SDM.