Banner Bawah

Penerapan Sanksi Kesepekang di Bali Hendaknya Tidak Penyimpangi Tiga Asas Kerja dalam Hukum Adat

Admin - atnews

2023-10-13
Bagikan :
Dokumentasi dari - Penerapan Sanksi Kesepekang di Bali Hendaknya Tidak Penyimpangi Tiga Asas Kerja dalam Hukum Adat
Slider 1

Oleh Prof. Dr. I Made Suwitra, SH.,MH

Sanksi adat “kasepekang” sering diberi makna yang keliru, karena seorang yang dikenai kasepekang tidak lagi dinyatakan berhak atas fasilitas druwe desa, seperti hak menguasai dalam arti memanfaatkan dan menggunakan tanah karang desa seperti yang terjadi di Desa Adat Taro Kelod. Artinya Sanksi Adat Kasepekang dimaknai, bahwa krama desa tersebut tidak berhak lagi tinggal dan memanfaatkan dan menggunakan fasiltas sebagai druwe desa adat. 

Padahal makna sesungguhnya sanksi kasepekang adalah bahwa yang bersangkutan hanya dikucilkan dalam arti tidak mendapat pelayanan dari desa adat baik secara melembaga maupun secara perorangan, termasuk tidak boleh dilakukan komunikasi. Sehingga sering disamakan dengan “dikucilkan”atau “kepenging”. 

Anehnya sering diamati bahwa dalam pemberian sanksi adat kasepekang tidak didasarkan pada asas kesalahan, tapi karena terjadi klaim hak dari pihak satu dan juga pihak lain yang menyebabkan timbulnya “sengketa” antar subjek hukum sebagai individu dan krama desa. Namun karena sedang menjabat, sering tidak dilakukan pemilihan terhadap subjek yang bersengketa. 

Sehingga seolah terjadi sengketa antar individu sebagai krama dengan pengurus banjar atau prajuru seperti di Desa Pemogan, atau antar krama desa dengan pihak desa adat seperti di Desa Taro Kelod dan di Desa Adat Jero Kuta Pejeng.

Fenomena penerapan sanksi adat kasepekang yang terjadi ini dapat disebabkan karena tidak ada kemampuan dalam menalar untuk melakukan pemilahan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan lembaga, antara “iwang” dan “patut” sehingga adanya justifikasi, bahwa dalam sengketa antara krama desa sebagai individu dengan pihak desa adat, dimaknai bahwa keberanian krama desa dalam membela haknya dimaksud telah melawan desa adat dan merupakan perbuatan yang salah dan bertentangan dengan awig-awig desa adat. 

Dalam hal ini hak krama desa atas perlindungan oleh hukum menjadi diabaikan. Sementara salah satu fungsi hukum adalah untuk melindungi warga atau krama desa dari perbuatan kesewenangan dari pihak manapun. Terlebih dari pihak yang sedang diberikan hak melakukan kekuasaan.

Secara filosofis penyerahan sebagian kewenangan dari krama desa kepada desa adat melalui organis melalui pemilihan dimaksudkan agar hak-hak warga sebagai krama desa dapat dilindungi dari perbuatan pelanggaran hak dari pihak manapun. 

Selain itu juga bertujuan agar ada jaminan ketertiban dan kedamian dalam melakukan interaksi, dimana masing-masing indivdiu dapat melaksanakan haknya yang dijamin oleh hukum, dan ada penegakan hukum jika ada pihak yang melakukan pelanggaran.

Dalam perspektif Ilmu Hukum, pengetahuan yang dicari adalah tentang cara penerapan kaidah hukum secara benar, yakni dapat dipertangungjawabkan secara rasional dan terbuka bagi pengkajian rasional oleh forum hukum atau auditoria hukum yang terdiri dari teoritisi dan praktisi/professional hukum yang bekerja dengan integritasnya. Kosekuensinya diperlukan data yuridis yang relevan agar kaidah hukum dapat diterapkan secara tepat. Penentuan data yuridis yang relevan itu didasarkan pada kaidah hukum yang terpilih untuk diterapkan dalam proses penyelesaian masalah hukum.

Penentuan kaidah hukum yang relevan didasarkan penilaian terhadap jangkauan keberlakuan (wilayah penerapan) kaidah hukum yang terkandung dalam aturan hukum melegitimasi penerapannya terhadap perbuatan hukum konkret yang dilakukan individual yang memunuclkan masalah hukum tersebut.

Mereferensi pemikiran keilmuan hukum ini, maka penerapan sanksi adat kasepekang tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, tanpa melalui proses dan prosedur hirarkhi dalam penerapan sanksi, jangkauan awig-awig sebagai kaidah hukum dengan perbutan hukum konkret dari krama desa. Adalah relevan dengan asas dalam hukum pidana, dimana dinyatakan bahwa “tidak ada hukuman tanpa kesalahan”. Oleh karena itu “kesalahan” merupakan syarat utama dalam pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum adat dikenal dengan “iwang” dan “patut”. Jadi “iwang” yang diartikan dengan salah inilah yang dijadikan dasar dalam pengenaan sanksi (pamidanda). Tujuan dari pemberian sanksi adat adalah mengembalikan keseimbangan (evenwicht) atau memulihkan keadaan pada kondisi semula sehingga tidak ada permusuhan dan niat membenci sebagai akibat adanya pemberian sanksi adat. Dengan terjadinya pelanggaran berarti terganggunya keseimbangan kosmis, sehingga perlu dipulihkan. Upaya pemulihan bisa dalam bentuk upacara, permohonan maaf (mengaksama), danda harta, kasepekang sampai kanorayang.

Dalam penyelesaian sengketa adat ada tiga asas kerja dalam hukum adat yang mestinya dijadikan referensi, sehingga penerapan kaidah hukum (adat) dapat dilakukan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. 

Namun sebaliknya jika penerapan sanksi adat seperti kasepekang tidak didasarkan pada tiga asas kerja dan tidak didasarkan pada adanya kesalahan, maka tindakan tersebut dapat menjadi Tindakan pidana yang diatur dalam hukum negara (KUHP), seperti adanya Tindakan kekerasan, menimbulkan perasaan tidak enak, membatasi kemerdekaan, melanggar hak asasi manusia seperti menafikan individu dalam melaksanakan hak untuk kepentingan pelaksanaan tugas profesi yang melekat pada individunya.

Tiga asas kerja hukum adat yang dimaksud adalah: Laras, Rukun dan Patut. Dengan asas ini setiap perbuatan dalam menyelesaikan masalah di desa adat semestinya mampu mengidentifikasi lingkup kaidah hukum terhadap perkara hukum konkret. Artinya apakah kaidah hukum adat dapat menjangkau Tindakan krama desa yang oleh hukum negara dapat dilakukan, seperti mempertahankan hak milik atas tanhannya dalam sengketa di Desa Taro Kelod, menyampaikan keberatan jika dirasa hak milik atas tanahnya didaftarakan pihak lain (desa adat) yang oleh hukum negara (UUPA) dibolehkan seperti di Desa Adat Jero Kuta Pejeng, Demayu, mengajukan gugatan perdata kepada debitur yang kreditnya dikualifikasi sebagai kredit macet ke Pengadilan yang juga dibenarkan oleh hukum negara. Laras dapat dimaknai bahwa adanya penilaian yang seimbnag antara hak dan kewajiban pihak satu dihadapkan pada pihak lainnya terhadap perkara konkret seperti dalam perjanjian (kredit). Rukun dalam arti, bahwa dengan model atau cara apapun sengketa diselesaikan adalah dapat diterima jika ada dalam jangkauan kaidah hukum. 

Apakah kredit macet akan diselesaikan melalui model musyawarah di banjar/desa dengan tujuan pihak debitur mau melunasi hutangnya, atau melalui jalur litigasi dengan tujuan sama, yaitu pelunasan. Sedangkan Patut dapat dimaknai bahwa penerapan hukum adat tidak bertentangan dengan hukum negara, dan hukum negara wajib hadir untuk melindungi warga atau krama desa dari Tindakan kesewenang-wenangan dalam pemberian sanki adat kasepekang, karena tidak didasarkan pada proses dan prosedur yang patut yang oleh John Rawls diseebut dengan “Justice as fairness”, yaitu keadilan sebagai kesetaraan. Yang lebih lucu adalah bahwa sanksi kasepekang juga diberlakukan kepada anggota keluarganya yang nota bene tidak pernah melakukan perbuatan hukum berkenaan dengan tindakan penggugat dalam melakukan tugas profesinya. Juga akan menjai semakin lucu jika merembet pada tidak mendapat pelayanan dalam bidang administrasi oleh hukum negara, seperti akta perkawinan.

Kehadiran lembaga adat yang dikenal dengan MDA semestinya dapat memberikan edukasi kepada kedua pihak untuk memahami tiga asas kerja dalam menyelesaikan sengketa, dan berorientasi pada materi kasusnya sebagai data yuridis terhadap peristiwa konkret, yaitu: “kredit macet” bukan sebaliknya sengketa bertambah panas sebagai akibat dirasakan adanya intervensi disatu sisi, dan pengelonan disi lain, sehingga tidak menyelesaikan masalah tetapi menimbulkan masalah baru. 

Jadi boleh dinyatakan kalah dengan prinsip “pegadaian”, yaitu: menyelesaikan masalah tanpa masalah. Sangat keliru ketika dalam mediasi tidak dilandasi prinsip kesetaraan dan menyimpang dari tigas asas kerja hukum adat dalam menyelesaikan sengketa. 

Tindakan pengenaan sanksi kasepekang yang menyimpangi tiga asas kerja hukum adat ini berimplikasi munculnya stigma bahwa: krama yang dikenai sanksi kasepekang merupakan krama bandel, melawan awig-awig, tidak mau melaksnakan segala kewajiban (ayahan) sepeti krama lainnya. Dengan stigma ini saja, sudah dapat dinyatakan fitnah jika krama tersebut tidak seperti itu, sengaja mendiskreditkan krama dan keluargnya melalui pengenaan sanksi walaupun tidak melakukan kesalahan.

Paruman sebagai hukum tertinggi dalam kehidupan banjar/desa adat agar tidak disalahgunakan dan dipergunakan untuk membenci krama, apalagi digunakan untuk mendiskreditkan kramanya sendiri apalagi termasuk keluarganya yang tidak melakukan tindakan melakukan perbuatan “iwang”. Jadi penerapan sanksi adat mestinya dilakukan sebagai upaya penegakan hukum atas adanya pelanggaran dalam jangkauan kaidah hukumnya (awig) dan diterapan secara patut, yaitu tepat dan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diuji oleh hukum negara. Ketidaktepatan penerapan sanksi adat yang bertentangan dengan hukum negara dapat berimplikasi adanya penegakan hukum negara karena adanya kesalahan dalam penerapan hukum adat berupa sanksi kasepekang. 

Pemberian sanki adat berfungsi untuk melakukan edukasi, mengembalikan kesimbangan sebagai akibat adanya gangguan kosmis dan dilandasi oleh tiga asas kerja dalam hukum adat, yaitu: Laras, Rukun dan Patut. 

*) Prof. Dr. I Made Suwitra, SH.,MH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar Bali Indonesia

Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : STPBI Bekali Anak Muda Bali Ketrampilan Memasak

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

POM MIGO KAORI

POM MIGO KAORI

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif