Oleh Jro Gde Sudibya
Sabtu, 14 Desember 2024, raina Tumpek Kandang, Tumpek Uye, sasih Kenem Icaka 1946. Upakara yang berelasi dengan Agama Alam, dengan sejumlah cirinya, pertama, Alam adalah guru sejati kehidupan, membangun harmoni dengannya, menjamin keberlanjutan kehidupan itu sendiri.
Alam, baca Alas, merupakan "panggungan" memuja Tuhan, seperti yang diwariskan dalam tradisi tua di desa-desa seputarAlas Penulisan dan Pengejaran di Kintamani Utara dan Kintamni Barat, Bangli, yang menjadi "tulang punggung" tradisi Bali Permulaan.
Kedua, relasi manusia dengan penghuni alam, bukanlah hubungan subordinasi, manusia bisa semena-mena terhadap Alam, tetapi membangun harmoni dengannya. Rtem, terjaganya keseimbangan dari hukum alam itu sendiri.
Ketiga, agama alam menjamin keberlanjutan, bukan saja bumi dengan segala isinya, tetapi juga planet, kosmos dalam artian lebih luas. Sehingga dalam agama alam, sebut saja termaktub doktrin, ide pembaharuan yang datang kemudian, bisa berupa: industrialisme, revolusi iptek, kapitalisme, globalisme semestinya tunduk pada bingkai dasar agama alam tersebut.
Tantangan untuk Bali, dalam membumikan Agama Alam yang telah lama mentradisi, pertama, ekonomisme pembangunan yang berlangsung di Bali, harus segera dikoreksi dengan Agama Alam yang telah dibumikan, berupa tuntunan etika kehidupan Tri Hita Karana.
Dalam contoh kongkrit, konversi lahan pertanian basah , sawah, harus betul-betul terkendali, untuk penyelamatan Subak. Penyelamatan Subak, identik dengan penyelamatan: alam, budaya dan manusia Bali (dengan keunikan kulturalnya). Kedua, ukuran peradaban dan kebudayaan Bali, dikembalikan ke proporsinya yang holistik seimbang, sekala-niskala, material - spiritual, tidak bias ke ukiran fisik kebendaan yang sekadar memuja benda ekonomi.
Ketiga, Strategi pembangunan Bali Berkelanjutan, berkelanjutan dalam artian: Alam, Manusia dan Kebudayaan, menjadi Cetak Biru, Peta Jalan untuk Bali ke Depan, disusun dalam program aksi dengan kecerdasan implementasi. Punya tolok ukur yang jelas: siapa melakukan apa, dengan "time table", dan ukuran kinerja yang jelas - performance key indicators - yang jelas. Tidak sekadar "omon-omon" dari sekelompok "sekehe demen" yang kemudian segera "menguap".
Tantangan buat kepemimpinan Bali ke depan, eksekutif - legislatif, di tingkat: provinsi, kabupaten dan kota.
Dalam krisis iklim yang berlangsung, yang ancamannya begitu nyata: bencana hidrologi yang semakin sering terjadi dengan skala yang lebih besar dan lebih luas dengan biaya sosial dan kemanusiaan yang besar, produktivitas pertanian terutama produktivitas tanaman pangan yang merosot, permukaan air laut yang meninggi yang membuat menderita masyarakat pesisir dan mengancam pulau-pulau kecil, Agama Alam sebagai program aksi bersama menjadi begitu penting.
Tidak sekadar membangun ilusi tentang "dunia antah berantah" pasca kematian, dengan realitas sosial nyata: kemiskinan, rusaknya alam dan rontoknya nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
*) Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, pengamat budaya dan kecenderungan masa depan.