Oleh Wayan Suyadnya
Di balik gemerlap pariwisata Bali yang menjanjikan pantai-pantai indah, tarian eksotis, dan budaya yang memikat, ada pertanyaan yang tak pernah usang: wisatawan berkualitas. Barang apakah itu?
Kualitas itu seringkali dimaknai sebagai wisatawan berkelas dgn pengeluaran yang banyak. Hal yang paradoks dengan keinginan menumbuhsuburkan pariwisata Bali.
Kualitas tak hanya uang, sampah sosialnya juga harus dihitung. Wisatawan berkualitas adalah sampah sosialnya paling kecil, terutama menyangkut kesenjangan ekonomi atau pun sosial.
Jika disederhanakan apakah wisatawan yang datang dengan koper penuh dolar, menginap di hotel berbintang lima, atau sebalikmya mereka yang sederhana, membawa ransel tapi setiap rupiah yang mereka keluarkan langsung dirasakan oleh masyarakat lokal?
Mari kita lihat ilustrasi ini.
David, seorang petualang asal Australia, datang ke Bali dengan ransel sederhana. Ia memilih menginap di homestay milik Wayan Jati, menyewa motor Ketut Landep, makan di warung Men Putu, pulang membeli oleh-oleh di Pasar Sukawati dari pedagang asongan Kadek Wati, dan di sela-sela liburannya, memanjakan tubuh dengan pijatan Bli Gede Dangin.
David tidak membawa uang.secukupnya, tetapi setiap sen yang ia keluarkan dirasakan langsung oleh orang-orang Bali, yang hidupnya bergantung pada pariwisata.
Di sisi lain, ada Charles, seorang turis kelas atas. Ia menginap di hotel berbintang lima yang dimiliki jaringan internasional, berjalan-jalan dengan mobil mewah berplat luar Bali, makan di restoran eksklusif yang dikelola orang Jakarta, dan membeli oleh-oleh di galeri mahal yang juga bukan milik orang lokal.
Uang yang dikeluarkan Charles memang banyak, tetapi ke mana ia mengalir? Sebagian besar menghilang ke rekening perusahaan besar di luar Bali. Orang Bali? Mereka hanya menyaksikan gemerlapnya dari jauh. Paling hanya pajak. Itu pun tak dinikmati langsung tapi diberikan kepada negara.
Pada kelas domestik, pola liburannya sepertk imi; mereka datang berombongan dengan dalih study tour dengan travel dari Jakarta, sampai di Bali diajak makan di restoran yang dimiliki orang Jakarta, menginap di hotel Jakarta, dan pulang membawa oleh-oleh dari pasar oleh-oleh milik orang Jakarta.
Bali, dalam skema seperti ini, terlihat jelas, hanya menjadi latar belakang—indah, dikunjungi tapi tak mendapat bagian berarti. Alih-alih mensejahterakan, Bali hanya mendapat sampahnya; sampah, macet dan lainnya.
Kualitas tak bisa diukur dengan Uang. Banyak yang berpikir turis berkualitas adalah mereka yang membelanjakan uang paling banyak. Tapi, jika uang itu tak menyentuh kehidupan lokal, apa artinya bagi masyarakat Bali?
Bali bukan sekadar destinasi; ia adalah rumah bagi jutaan orang yang hidup dari interaksi langsung dengan wisatawan. Jika pariwisata tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal, bukankah itu menjadi paradoks yang pada akhirnya menjadilannya ironi?
Di sisi lain, kedatangan wisatawan, siapa pun mereka, juga menyisakan beban. Sampah menumpuk, lalu lintas macet, dan tekanan terhadap lingkungan semakin berat. Tak hanya sampah fisik, tetapi juga sampah sosial—konflik budaya, perubahan nilai, dan ketimpangan ekonomi.
Daripada mendikotomi wisatawan “berkualitas” atau tidak, mungkin yang perlu kita renungkan adalah bagaimana pariwisata itu sendiri dirancang. Apakah ia benar-benar untuk Bali? Atau Bali hanya menjadi alat bagi keuntungan pihak luar?
Pariwisata yang ideal adalah pariwisata yang memberdayakan. Wisatawan, siapa pun mereka, harus diarahkan untuk berkontribusi langsung kepada masyarakat lokal.
Homestay, warung makan, pasar tradisional, dan penyedia jasa lokal harus menjadi ujung tombak. Bukan hanya hotel besar, restoran mahal, atau galeri eksklusif yang jauh dari jangkauan orang Bali.
Pada akhirnya, turis berkualitas bukanlah mereka yang datang dengan banyak uang, tetapi mereka yang keberadaannya memberikan manfaat nyata, adil, dan berkelanjutan bagi masyarakat lokal. Sebab, Bali bukan hanya tentang pantai atau pura, tetapi tentang manusia dan budaya yang membuatnya hidup. (*)