Denpasar (Atnews) - Intelektual Hindu Jro Gde Sudibya yang juga Penulis Buku Hindu Menjawab Dinamika Zaman, Agama Hindu & Budaya Bali (Bunga Rampai Pemikiran) mengatakan, bentuk buruk dari "Agama" Pasar, yang menurut sejarahwan ternama Yuval Noah Harari pengarang buku Best Salers Sapiens dalam bukunya Homo Deus, Manusia Dewa, sebagai "Agama" Pertumbuhan Ekonomi.
Dampak buruk ini, seharusnya dapat dihindari, dalam konteks pelecehan simbol Tuhan Ciwa di tempat hiburan diatas, jika Pemda Bali membuat aturan tegas tentang pelarangan penggunan simbol-simbol agama di luar konteks upakara oleh pemeluknya. Aturan tegas, yang disertai sangsi tegas, dengan pengawasan lapangan yang secara rutin dilakukan, sebut saja oleh Satpol PP.
Pelecehan simbol agama yang begitu serius, bisa jadi "Puncak Gunung Es" dari persoalan sosial kultural yang tidak kalah seriusnya, menyebut beberapa yakni 1) Dampak buruk kapitalisme pariwisata kebablasan yang memuja materi, mengabaikan simbol agama yang semestinya disakralkan.
2) Kehidupan yang begitu permisif, hidup yang "serba boleh", "menggampangkan", "demi uang", dampak buruk dari sikap mental menerabas, yang pernah diwanti-wanti oleh antropolog ternama Prof.Kuntjoroningrat di era tahun 1970-an.
3) Masyarakat mengalami anomali, kekacauan sosial, kehilangan panutan, dari tingkat keluarga, sampai ke tingkat pimpinan formal dan informal pada lapisan sosial di atasnya. Dalam pribahasa sederhana dan mengena: "guru kencing berdiri, anak kencing berlari".
4) Gejala atau simpton dari apa yang disebut: atheis praktis, percaya kepada Tuhan secara teori, tetapi dalam realitas kehidupan, Tuhan dianggap tidak ada, sehingga etika moral diabaikan.
5) Fenomena sosial ini, digambarkan dengan baik oleh Mahatma Gandhi, dengan 7 Dosa Sosial yang merupakan penyakit masyarakat. a) Politik tanpa Prinsip, b) Bisnis tanpa Moralitas, c) Pencarian Kekayaan tanpa Upaya Kerja, d) Pendidiksn tanpa karakter. e) Iptek tanpa Kemanusiaan. f) Pencarian Kesenangan tanpa Upaya Pembatasan Diri, g) Pemujaan Tuhan tanpa Kerelaan Berkorban.
"Kita terlalu lembek dan permisif. Harusnya tetap dipidanakan agar ada efek jera. Lama-lama saya lihat orang Bali, terutama pemimpin formalnya, makin tak punya wibawa dan harga diri," ujarnya.
Sebelumnya, dunia media sosial Bali kembali dihebohkan dengan sebuah video yang diduga melecehkan simbol Agama Hindu.
Dalam video yang beredar pada tanggal 2 Februari 2025 , terlihat penayangan visual Dewa Siwa yang dilakukan di salah satu beach club terbesar di Bali.
Merespon Cepat Hal tersebut Lembaga Bantuan Hukum Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia ( LBH KMHDI ) Pusat. Layangkan Somasi terhadap salah satu Beach Club.
Direktur LBH KMHDI I Gde Sandy Satria menegaskan , somasi ini tentu sebagai sikap teguran dan peran KMHDI sebagai sosial Kontrol setiap persoalan yang ada di masyarakat.
“Somasi ini adalah bentuk teguran dan kami minta dapat di klarifikasi dengan baik oleh yang bersangkutan , apabila tidak di indahkan, tentu langkah hukum lainnya sudah kami siapkan,” ujarnya.
Adapun poin Somasi Yang Di layangkan :
1. Bahwa manajemen Club Bali tersebut dapat memberikan keterangan terkait penggunaan simbol Dewa Siwa dalam pertunjukan musik DJ;
2. Bahwa manajemen Beach Club Bali untuk segera memperhatikan pelarangan penggunaan simbol-simbol agama dalam kegiatan hiburan malam atau kegiatan lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan;
3. Bahwa manajemen Beach Club Bali untuk meminta maaf secara terbuka kepada umat Hindu atas penggunaan simbol agama yang tidak tepat tersebut;
4. Bahwa manajemen Beach Club Bali harusberkomitmen tidak mengulangi tindakan serupa di masa depan;
5. Bahwa Kami berharap dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak surat ini diterima dapat segera memberi keteranganterbuka dan pemintaan maaf kepada umat Hindu dan masyarakat luas;
6. Bahwa Jika tidak ada itikad baik dari pihak Manajemen Beach Club Bali untuk memenuhi tuntutan tersebut, kami akan mengambil langkah hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Bali menyikapi sebuah club malam di Bali kedapatan menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar untuk dijadikan latar belakang pertunjukan musik Disc Jockey (DJ).
Hal itu disampaikan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali Made Supartha didampingi Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali Ni Luh Yuniati, Nyoman Suwirta, I Gusti Ngurah Gede Mahendra Jaya dalam keterangan pers di ruang Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, Denpasar, Selasa (4/2).
Ia mengatakan, secara filosofis tentu kegiatan tersebut dapat dinilai telah menodai keyakinan Agama Hindu, mengingat Dewa Siwa disucikan dan dipuja, dan Dewa Siwa adalah manifestasi Tuhan sebagai “pamralina” yang sangat disucikan, sehingga tidak tepat dan tidak layak ditempatkan sebagai latar belakang pertunjukan musik di tempat yang kurang tepat seperti club malam.
Selain itu, menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar latar belakang pertunjukan musik DJ tentu juga tidak memiliki hubungan dengan suatu perayaan atau pemujaan yang sifatnya hiburan seperti pada club malam yang tentu sangat tidak perlu untuk dipergunakan secara sembarang.
Etika etis menjadi dasar bahwa menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar pertunjukan musik DJ adalah perilaku yang salah dan tidak dapat dibenarkan.
Sebagai dasar pemahaman, bahwa mayoritas umat Hindu wajib juga percaya bahwa waktu berjalan dalam siklus yang disebut yuga. Setiap siklus yuga memiliki jangka waktu yang berbeda.
Dihubungkan dengan menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar latar belakang pertunjukan musik DJ, sehingga tidak sesuai dengan siklus tersebut. Apalagi di terdapat ajaran tentang Desa sebagai Tempat, Kala sebagai Waktu dan Patra sebagai Keadaan, yang tentu menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar latar belakang pertunjukan musik DJ tidak sesuai dengan pada tempatnya atau tidak sesuai dengan pada waktunya dan keadaan.
Selain itu, merujuk pada konsep tituler dari mitologi Hindu terdapat kalimat "Roda Waktu berputar, dan zaman datang dan berlalu, meninggalkan kenangan yang menjadi legenda. Legenda memudar menjadi mitos, dan bahkan mitos pun sudah lama terlupakan ketika Zaman yang melahirkannya datang lagi".
Sehingga menjadikan Dewa Siwa sebagai gambar untuk dijadikan latar belakang pertunjukan musik DJ menjadi batu sandungan bagi masyarakat Bali yang erat dengan kearifan lokal dan kebudayaan yang tentu bernafaskan Agama Hindu, maka tentu wajib bagi masyarakat untuk selalu menjaga dan melindungi dari kegiatan-kegiatan yang terindikasi menodai ajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara hukum prilaku tersebut patut dianggap telah melakukan dugaan praktek penistaan terhadap simbol kepercayaan dari Agama Hindu, penggunaan simbol yang disucikan dengan menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar pertunjukan musik DJ tentu wajib dianggap telah melakukan praktik yang menyimpang atau penistaan agama. Pasal penodaan agama termaktub dalam Pasal 156 a, Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, Pasal 503, Pasal 530, Pasal 545, Pasal 546, dan Pasal 547 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta diatur dalam UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan atau Penodaan Agama.
Sehingga harus terdapat pihak terutama pihak pengelola yang dapat menerangkan, baik dalam bentuk klarifikasi hingga menjelaskan, apa maksud dan tujuan, dan siapapun pelaku yang harus bertanggung jawab, terutama pertanggungjawaban dari aspek-aspek sosial dan kebudayaan maupun secara hukum terkait penistaan terhadap simbol kepercayaan dari Agama Hindu. Perihal maksud dan tujuan dari pelaku termasuk pengelola tempat hiburan tentu harus bertanggung jawab, baik dari aspek-aspek pertanggungjawaban sosial dan kebudayaan maupun secara hukum terkait penistaan terhadap simbol kepercayaan dari Agama Hindu, mengingat apabila hal ini tidak dilakukan maka penistaan terhadap simbol lain juga berpotensi terjadi dan tidak ada efek jera.
Mengingat penggunaan simbol yang disucikan dengan menjadikan Dewa Siwa sebagai latar gambar pertunjukan musik DJ tentu memiliki dasar secara hukum yang jelas bagi aparat penegak hukum untuk melaksanakan tindakan dengan melakukan penyelidikan secara komprehensif sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan terkait yang berlaku. (Z/001)