Banner Bawah

Paradok Regulasi dan Kemanusiaan: Bantuan Rp 2 Juta per KK Hari Besar Keagamaan di Badung

Admin - atnews

2025-03-20
Bagikan :
Dokumentasi dari - Paradok Regulasi dan Kemanusiaan: Bantuan Rp 2 Juta per KK Hari Besar Keagamaan di Badung
Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA (ist/Atnews)

Oleh Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA., Dosen dan Rektor Universitas Dhyana Pura, Bali

Mungkin ini awal permasalahannya, Rencana Pemerintah Kabupaten Badung untuk memberikan bantuan Rp 2 juta per kepala keluarga (KK) pada hari besar keagamaan nasional terpaksa paradok dengan Permendagri No.77/2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mensyaratkan bantuan tepat sasaran. 

Pada Permen tersebut dijelaskan bahwa “Belanja bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan berupa uang dan/atau barang kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, kecuali dalam keadaan tertentu dapat berkelanjutan”.

Di tengah gegap gempitanya dinamika sosial-ekonomi pasca pandemi, Pemerintah Kabupaten Badung meluncurkan kebijakan progresif: bantuan Rp 2 juta per KK pada hari besar keagamaan. Kebijakan ini lahir dari niat mulia untuk meringankan beban masyarakat menghadapi lonjakan harga sembako sekaligus menjaga stabilitas ekonomi lokal. 

Namun, seperti dua sisi mata uang, program yang digadang-gadang sebagai wujud "kehadiran negara" ini justru memantik perdebatan sengit. Pada satu sisi, pemerintah berpegang teguh pada Permendagri No.77/2020 yang mengamanatkan prinsip targeted assistance untuk memastikan akuntabilitas fiskal. Pada sisi lain, masyarakat yang masih menyimpan memori segar janji kampanye tanpa syarat merasa dikhianati oleh kompleksnya kriteria penerima.
Inilah potret kebijakan publik di era transparansi: upaya mengharmonisasikan rule of law dengan denyut nadi kemanusiaan. 

Bantuan ini bukan sekadar transfer anggaran, melainkan cermin pertaruhan kredibilitas kepemimpinan lokal. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan yang dirancang untuk memutus mata rantai kemiskinan justru dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap kelompok tertentu? Di sinilah letak paradoksnya antara idealisme "bantuan untuk semua" dalam kampanye politik dan realitas "bantuan terukur" dalam praktik birokrasi.

Melalui analisis multidimensi, mulai dari situasi politik, kondisi legal, hingga toleransi sosial, opini kritis ini berupaya membedah kebijakan tersebut secara holistik. Kita akan menelusuri mengapa syarat domisili lima tahun menjadi batu sandungan bagi pendatang miskin, bagaimana batas penghasilan Rp5 juta justru mengorbankan pekerja lepas, dan mengapa pengecualian ASN/PNS menuai kritik sebagai bentuk diskriminasi struktural.

Lebih dalam, kajian ini mengajak pembaca merenungkan esensi kebijakan publik: apakah regulasi harus selalu mengalahkan empati, atau justru menjadi alat untuk memperkuat keadilan sosial?.

Di ujung horizon, kebijakan Badung ini menawarkan pelajaran berharga: bahwa tata kelola pemerintahan yang humanis bukanlah tentang memilih antara patuh hukum atau memenuhi janji politik, melainkan tentang merajut keduanya menjadi kebijakan inklusif yang membumi. 

Sebab, di balik angka-angka statistik dan pasal-pasal peraturan, ada cerita tentang ibu-ibu yang berjuang memenuhi sesajen Galungan, bapak-bapak yang gigih mencari lauk pauk untuk Lebaran, dan anak-anak yang berharap bisa merasakan keceriaan Natal tanpa beban. 

Inilah medan ujian sejati bagi kepemimpinan yang berintegritas: memastikan bahwa setiap rupiah anggaran tak hanya "tepat sasaran", tetapi juga "tepat rasa". Mari kita kupas dari beberapa dimensi di bawah ini:

Dimensi Situasi: Rencana ini muncul di tengah ketidakpuasan sebagian masyarakat Badung yang merasa bahwa syarat penerima bantuan tidak sesuai dengan janji kampanye Bupati I Wayan Adi Arnawa dan Wakil Bupati Bagus Alit Sucipta. Pada saat kampanye, janji tersebut dinyatakan akan diberikan kepada seluruh warga Badung tanpa syarat, namun kini terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk mendapatkan bantuan.

Dimensi Kondisi: Berdasarkan regulasi yang ada, khususnya Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, Pemkab Badung sebaiknya memastikan bahwa bantuan ini tepat sasaran dan sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan daerah. Namun hal ini menimbulkan dilema antara keinginan untuk memberikan bantuan kepada semua warga dan kepatuhan terhadap regulasi yang ada.

Dimensi Toleransi: Masyarakat menunjukkan ketidakpuasan terhadap syarat-syarat yang dianggap membatasi akses mereka terhadap bantuan. Hal ini menciptakan ketegangan antara harapan masyarakat dan kebijakan pemerintah. Pemimpin daerah meminta masyarakat untuk bersabar dan memberi kesempatan kepada pemerintah untuk merealisasikan program ini.

Dimensi Pandangan: Dari sudut pandang pemerintah, penetapan syarat bertujuan untuk memastikan bahwa bantuan tersebut diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Namun, banyak warga merasa bahwa kebijakan ini tidak mencerminkan komitmen awal dari pemimpin mereka. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan masyarakat dan realitas kebijakan yang diterapkan.

Dimensi Jangkauan: Bantuan ini direncanakan untuk menjangkau seluruh warga Badung yang memenuhi syarat. Namun, dengan adanya batasan seperti pendapatan maksimal dan status pekerjaan, jangkauan bantuan menjadi terbatas. Hal ini berpotensi menimbulkan kekecewaan di kalangan mereka yang tidak memenuhi kriteria meskipun berada dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Dimensi Gagasan: Gagasan di balik pemberian bantuan ini adalah untuk mengendalikan inflasi menjelang hari raya keagamaan, dengan harapan dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, implementasi gagasan ini terhambat oleh regulasi yang ketat dan kebutuhan untuk memastikan bahwa bantuan tersebut tepat sasaran.

Dimensi Politik: Dari sisi politik, program bantuan ini merupakan bagian dari janji kampanye Adi-Cipta. Realisasi program ini menjadi penting untuk menjaga kredibilitas pemerintah di mata publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak negatif pada reputasi mereka dan memicu protes dari masyarakat yang merasa terpinggirkan.

Artinya, rencana pemberian bantuan Rp 2 juta per KK di Badung mencerminkan tantangan dalam mengelola ekspektasi publik sekaligus mematuhi regulasi yang ada. Keseimbangan antara kepatuhan terhadap hukum dan kebutuhan sosial masyarakat sebaiknya menjadi fokus utama dalam implementasi kebijakan ini agar dapat memenuhi tujuan awalnya tanpa menimbulkan ketidakpuasan lebih lanjut di kalangan warga. Pada situasi paradok seperti ini, mari kita berpikir, berkata, lalu bertindak dengan mempertimbangkannya dari sisi multidimensi, dan relakan Bupati sebagai Kepala Daerah Badung untuk memutuskan kebijakan yang juga mempertimbangkannya dari sisi multidimensi (*)
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Gubernur  Modernisasi Sistem Jasa Transportasi Konvensional

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

POM MIGO KAORI

POM MIGO KAORI

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif