Oleh JMA I Ketut Puspa Adnyana
Tahun Saka: Latar Sejarah
Tahun Saka dimulai pada 78 Masehi, dan secara tradisional dikaitkan dengan kemenangan Raja Kanishka I dari Dinasti Kushan di India.
Kanishka adalah penganut Buddha Mahayana yang berkuasa di wilayah India Utara, Pakistan, hingga Afganistan. Tahun Saka ini kemudian menyebar ke Asia Tenggara melalui jalur perdagangan dan pengaruh budaya India, termasuk Nusantara, Indonesia sekarang.
Pertanyaan besar dan kritisnya: Mengapa Tahun Saka dikaitkan dengan Nyepi, penjernihan batin dan Krishna Paksa (paruh gelap bulan) yang dipilih?
Untuk menjawab pertanyaan besar ini, perlu dilakukan review dari berbagai referensi mengenai apa yang terjadi di India saat itu (78 Masehi).
Catatan sejarah menunjukkan beberapa kemungkinan peristiwa penting yang bisa dikaitkan dengan Krishna Paksa dan Nyepi (konsep penjernihan batin), yaitu: (1) Peralihan Besar di India (Kanishka & Konflik Spiritual). Tahun 78 M adalah masa transisi besar di India, di mana Dinasti Kushan, di bawah Kanishka I, berkuasa setelah mengalahkan sisa-sisa Dinasti Satavahana dan penguasa lokal di India Barat. Kanishka adalah pendukung Mahayana dan memperkenalkan reformasi keagamaan yang lebih inklusif.
Jika dihubungkan dengan Nusantara, ada kemungkinan bahwa filosofi penjernihan batin yang kemudian berkembang dalam Hindu-Buddha di Nusantara berasal dari konteks perubahan sosial dan religius ini;
(2) Momen Perhitungan Kalender Saka dalam Kosmologi Hindu. Dalam astronomi Hindu, Krishna Paksa (paruh gelap bulan) memiliki makna spiritual karena merupakan fase turunnya energi material dan naiknya energi spiritual. Perhitungan Tahun Saka yang dimulai pada Krishna Paksa kemungkinan berkaitan dengan pemurnian diri setelah masa kelam, baik secara politik maupun spiritual;
(3) Pengaruh Perdagangan & Penyebaran Budaya India-Nusantara. Pada abad pertama Masehi, India telah menjalin hubungan dagang dengan Nusantara. Pedagang dan resi dari India membawa sistem kalender, konsep dharma, dan ritual ke wilayah seperti Sriwijaya dan Jawa Kuno. Bisa jadi, sistem perhitungan Saka dan Nyepi adalah bagian dari adaptasi budaya ini, yang kemudian dimaknai dalam konteks lokal sebagai hari hening dan refleksi spiritual.
Kaitan Nyepi dengan Tahun Saka
Indonesia (Nusantara) dan India terutama Bali, memiliki kaitan sejarah yang panjang. Bangsa Nusantara sejak era Majapahit dan sebelumnya, memiliki tradisi mengadaptasi elemen keagamaan dan budaya dari India dengan makna yang disesuaikan dengan kearifan lokal (Panca Dharma Siddhyartha).
Nyepi bukan sekadar perayaan tahun baru, tetapi sebuah momen pemurnian batin, yang mungkin terinspirasi dari konsep renungan setelah masa gelap dalam sejarah India pada Tahun Saka 78 M.
Bisa jadi, momen ini diadopsi oleh para resi dan brahmana di Nusantara sebagai saat untuk merenungi perubahan sosial, politik, dan spiritual, sehingga menjadi bagian dari praktik keagamaan yang lebih luas.
Sampai saat ini, belum ada sumber langsung yang menelusuri peristiwa spesifik pada Krishna Paksa tahun 78 M yang menjadi landasan Nyepi.
Namun, dari perspektif historis, dapat ditelusuri, yaitu: (1) Tahun Saka (78 M) menandai perubahan besar di India dengan naiknya Kanishka I; (2) Krishna Paksa sebagai fase kegelapan bulan dipilih dalam sistem kalender Hindu sebagai periode pemurnian; dan (3) Pengaruh India di Nusantara sejak awal Masehi memungkinkan adaptasi Tahun Saka menjadi momen spiritual dengan makna reflektif.
Ada kemungkinan Sri Aji Saka yang dikisahkan dalam tradisi Nusantara memiliki kaitan dengan Raja Shalivahana (Śātavāhana), penguasa India yang dikaitkan dengan berdirinya Tahun Saka (78 Masehi), dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Shalivahana dan Tahun Saka. Raja Shalivahana, atau dikenal sebagai Gautamiputra Satakarni dari Dinasti Satavahana di India Selatan, adalah tokoh yang diyakini berjasa dalam mengalahkan bangsa Saka (Scythian) yang masuk ke India dari Asia Tengah. Kalender Tahun Saka dimulai pada 78 Masehi, yang diyakini sebagai tahun kemenangannya atas para penguasa asing yang sebelumnya menguasai sebagian wilayah India. Raja Shalivahana sering dikaitkan dengan konsep pembaruan dan reformasi, termasuk dalam aspek sosial dan agama;
(2) Sri Aji Saka dalam Tradisi Nusantara. Dalam legenda Jawa, Sri Aji Saka adalah tokoh yang membawa peradaban, ajaran moral, dan sistem aksara ke tanah Jawa. Kisahnya mencerminkan konsep kultural transformatif, di mana ia datang dari wilayah barat (beberapa sumber menyebutnya berasal dari India) untuk membangun tatanan baru di Nusantara. Ia juga dikaitkan dengan penyebaran aksara Jawa Kuno, yang berakar dari aksara Brahmi India.
Kaitan Antara Shalivahana dan Sri Aji Saka
Meskipun tidak ada bukti langsung, ada beberapa indikasi yang bisa menjadi dasar spekulasi historis: (1) Nama yang Mirip. "Shalivahana" dan "Aji Saka" memiliki kemiripan fonetik dan makna. Jika "Saka" dalam Aji Saka merujuk pada bangsa Saka atau Tahun Saka, bisa jadi kisahnya merupakan adaptasi dari peristiwa yang terjadi di India; (2) Konteks Penyebaran Budaya dan Kalender Saka. Pada masa Dinasti Satavahana (Shalivahana), hubungan perdagangan dan migrasi budaya antara India dan Nusantara sudah berlangsung. Konsep Tahun Saka mungkin diperkenalkan oleh para resi atau pedagang yang membawa sistem kalender ini ke Nusantara. Dalam banyak kerajaan Nusantara, Tahun Saka kemudian menjadi sistem penanggalan resmi, (3) Sri Aji Saka Sebagai Tokoh Simbolis. Bisa jadi, Sri Aji Saka bukan individu tunggal, tetapi simbol dari gelombang pengaruh India yang masuk ke Nusantara pada abad pertama Masehi. Dalam sejarah Nusantara, sering kali tokoh yang membawa peradaban diidentifikasi dengan satu figur legendaris.
Krishna Paksa sebagai Momen Pembaruan Spiritual
Nyepi jatuh pada Krishna Paksa, yaitu fase gelap sebelum bulan baru (Tilem). Secara spiritual, fase ini melambangkan, yaitu: (1) Puncak kegelapan yang harus dilalui sebelum munculnya cahaya baru; (2) Momen perenungan dan penjernihan, karena sebelum sesuatu diperbarui, ia harus mengalami kehancuran atau pembersihan; dan (3) Simbol siklus kehidupan, di mana semua harus kembali ke nol sebelum memasuki babak baru.
Dalam filosofi Hindu-Buddha, transformasi terjadi setelah penghancuran. Itulah sebabnya Nyepi bukan dirayakan dalam euforia, tetapi dalam keheningan total—sebagai simbol bahwa dunia perlu "dikosongkan" sebelum bisa "diisi" kembali dengan energi baru.
Mengapa Bukan Uttarayana?
Uttarayana, yang dimulai sekitar 14 Januari (Makar Sankranti), adalah fase ketika matahari bergerak ke utara, menuju titik tertinggi pada bulan Juni. Dalam Bhagavad Gita (8.23-8.26), disebutkan bahwa roh yang meninggalkan tubuh saat Uttarayana akan mencapai Moksha, sementara yang meninggal dalam Dakshinayana (gerak matahari ke selatan) akan terlahir kembali. Uttarayana sering dikaitkan dengan waktu yang baik untuk memulai perjalanan spiritual karena dianggap sebagai periode meningkatnya energi cahaya (Surya).
Dalam konteks Tahun Baru Saka, ada faktor lain yang berperan, yaitu: (1) Tahun Baru Saka Berbasis Lunar, Bukan Solar; (2) Uttarayana adalah sistem kalender solar, sedangkan Nyepi berbasis kalender lunar (Saka); (3) Sistem lunar lebih umum digunakan di India dan Nusantara untuk ritual keagamaan; (4) Transformasi Dimulai dari Kegelapan, Bukan Terang; (5) Krishna Paksa (fase gelap bulan) melambangkan puncak kegelapan sebelum terang, sejalan dengan konsep Moksha dan penjernihan batin; (6) Secara psikologis dan filosofis, transformasi sejati sering muncul dalam kesunyian dan refleksi daripada dalam kemeriahan terang; dan (7) Kaitan dengan Mitologi Hindu-Buddha. Mahabharata dan Ramayana sering menggambarkan bahwa peristiwa besar terjadi setelah masa kegelapan. Banyak raja dan resi dalam tradisi India melakukan tapasya (meditasi berat) dalam keheningan, bukan dalam euforia. Buddha mencapai pencerahan setelah periode meditasi panjang dalam kesunyian, bukan dalam perayaan.
Kaitan Nyepi dengan Kemenangan Shalivahana atas Bangsa Saka
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Tahun Saka dimulai pada 78 Masehi, yang diyakini sebagai tahun kemenangan Raja Shalivahana atas bangsa Saka di India.
• Jika Tahun Saka dikaitkan dengan perjuangan melawan kegelapan, maka Krishna Paksa bisa diartikan sebagai simbol perjuangan melawan kekuatan destruktif.
• Ini sesuai dengan narasi Shalivahana sebagai raja yang membangun kembali Dharma setelah masa kelam akibat invasi asing.
Di Nusantara, kisah ini mungkin beradaptasi menjadi Sri Aji Saka, yang juga dikaitkan dengan pembaruan peradaban. Jadi, meskipun Uttarayana secara rasional bisa dianggap sebagai momen awal baru, Krishna Paksa dipilih karena lebih mencerminkan filosofi Hindu tentang transformasi dan pencerahan yang datang setelah keheningan dan pembersihan batin.
Silsilah Shalivahana
Menurut Maha Purana dan berbagai sumber sastra Hindu lainnya, Raja Shalivahana (sering diidentifikasi dengan Gautamiputra Satakarni dari Dinasti Satavahana) memiliki akar silsilah yang menarik dan berkaitan dengan mitologi India.
1. Asal Usul dan Silsilah Shalivahana dalam Purana
Beberapa sumber Purana dan teks sejarah India menyebutkan bahwa Shalivahana adalah keturunan dari Ikshvaku dan Rahu-Kula (Kshatriya Suryavamsa & Chandravamsa), yang diejlaskan sebagai berikut:
a. Kaitan dengan Dinasti Ikshvaku (Suryavamsa)
• Ikshvaku adalah pendiri Dinasti Surya (Suryavamsa), yang juga merupakan garis keturunan Rama dalam Ramayana.
• Beberapa teks mengklaim bahwa Shalivahana adalah keturunan Ikshvaku yang kemudian bermigrasi ke wilayah selatan India.
b. Hubungan dengan Dinasti Satavahana
• Dinasti Satavahana adalah penguasa India Selatan yang berkembang setelah runtuhnya Kekaisaran Maurya (sekitar abad ke-3 SM).
• Raja Gautamiputra Satakarni (yang sering diidentifikasi dengan Shalivahana) dikenal sebagai pelindung Hindu Dharma dan pejuang yang menentang bangsa Saka, Pahlava, dan Yavana.
• Satavahana diyakini berasal dari Suku Andhra yang merupakan cabang dari Kshatriya.
c. Rahu-Kula dan Kaitan dengan Chandravamsa
• Beberapa versi menyebutkan bahwa Shalivahana juga memiliki garis keturunan dari Dinasti Chandravamsa (Bulan), yang merupakan dinasti Krishna dalam Mahabharata.
• Jika benar, ini menunjukkan bahwa Shalivahana adalah tokoh yang menyatukan elemen-elemen Suryavamsa dan Chandravamsa dalam kekuasaannya.
2. Mitologi dan Legenda Terkait Shalivahana
Dalam beberapa versi mitologi Hindu, Shalivahana dikaitkan dengan berbagai cerita heroik:
a. Menaklukkan Bangsa Saka
• Konon, Shalivahana mengalahkan bangsa Saka, yang saat itu mendominasi India Barat Laut.
• Kemenangannya ini diyakini menjadi awal dari Tahun Saka (78 Masehi).
b. Diberkahi oleh Para Resi
• Beberapa cerita menyebutkan bahwa Shalivahana adalah anak yang dibesarkan oleh resi bijak, mirip dengan kisah Karna dalam Mahabharata.
• Ia kemudian tumbuh menjadi raja besar yang menegakkan Dharma.
c. Dikatakan Bertemu dengan Yesus Kristus?
• Ada legenda esoterik dalam teks Nasrani apokrif bahwa Shalivahana pernah bertemu dengan seorang suci dari Barat, yang dalam beberapa spekulasi dikaitkan dengan Yesus Kristus yang konon berkelana ke India.
• Meskipun ini tidak memiliki bukti historis kuat, kisah ini menunjukkan bagaimana Shalivahana dihormati sebagai raja yang bijaksana dan spiritual.
3. Implikasi terhadap Hubungan India-Nusantara
Jika kita menghubungkan silsilah Shalivahana dengan Nusantara, ada beberapa kemungkinan:
a. Sri Aji Saka sebagai Adaptasi Mitologi Shalivahana
• Jika Sri Aji Saka benar-benar terkait dengan Shalivahana, maka tradisi Jawa bisa jadi mengadaptasi mitos Shalivahana ke dalam cerita lokal.
• Ini mirip dengan bagaimana kisah Ramayana dan Mahabharata diadaptasi dalam berbagai versi Nusantara.
b. Satavahana dan Migrasi Kshatriya ke Nusantara
• Ada kemungkinan bahwa beberapa kelompok Kshatriya India Selatan bermigrasi ke Nusantara, membawa serta legenda Shalivahana.
• Ini dapat menjelaskan kemiripan sistem kerajaan dan kalender di India dan Nusantara.
c. Tahun Saka Sebagai Perayaan Kemenangan Dharma
• Jika Shalivahana benar-benar berasal dari garis Ikshvaku-Chandravamsa, maka Tahun Saka bisa dilihat sebagai perayaan kemenangan Dharma atas kekuatan asing yang mengancam nilai-nilai tradisional India.
• Di Nusantara, Tahun Saka kemudian diadaptasi dalam konteks lokal, termasuk dalam ritual Nyepi.
Nyepi: Perayaan Tahun Baru dengan Keheningan (Penjernihan Batin)
Jika dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru dalam kepercayaan lain, yang sering kali disertai dengan kegembiraan dan kemeriahan, Nyepi justru mengambil pendekatan yang bertolak belakang—hening, sunyi, dan kontemplatif. Namun, ada logika mendalam di balik pemilihan bentuk perayaan ini, yang dijelaskan sebagai berikut.
1. Filosofi di Balik Keheningan Nyepi
Tahun Baru Saka tidak dirayakan dengan euforia, tetapi dengan introspeksi, dengan alasan, yaitu: (1) Nyepi menekankan bahwa awal yang baru seharusnya bukan hanya tentang pesta, tetapi juga tentang pembersihan diri; (2) Dalam ajaran Hindu Bali, kesunyian adalah kondisi untuk mencapai pencerahan. Ini berhubungan dengan prinsip "Catur Brata Penyepian":
a. Amati Geni – Tidak menyalakan api (mengontrol hawa nafsu).
b. Amati Karya – Tidak bekerja (melepaskan diri dari kesibukan duniawi).
c. Amati Lelungan – Tidak bepergian (berfokus pada diri sendiri).
d. Amati Lelanguan – Tidak bersenang-senang (mengendalikan indria).
Keempat prinsip ini memaksa manusia untuk benar-benar masuk ke dalam dirinya sendiri, tanpa distraksi dari dunia luar. Ini adalah momentum transformasi batin, bukan sekadar perayaan eksternal.
2. Konsep Kemenangan Melawan Kegelapan
Dalam tradisi India, Tahun Baru sering dikaitkan dengan kemenangan Dharma atas Adharma.
• Di India, kita melihat Diwali sebagai perayaan kemenangan, yang dirayakan dengan lampu dan kegembiraan.
• Tapi di Bali, Tahun Baru Saka dikaitkan dengan kemenangan dalam bentuk spiritual—melawan kegelapan dalam diri sendiri.
• Kita bisa melihat bahwa krishna paksa (paruh bulan gelap) dipilih sebagai awal tahun untuk menunjukkan bahwa kita harus melewati kegelapan terlebih dahulu sebelum menemukan cahaya.
Sehingga, setelah Nyepi, barulah manusia memulai kehidupan baru dengan hati yang lebih bersih.
Penerapan Model Nyepi dalam Skala Lebih Luas
Jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas, model perayaan Tahun Baru yang berbasis refleksi bisa menjadi solusi bagi dunia modern.
• Banyak budaya merayakan Tahun Baru dengan pesta besar, tetapi sehari setelahnya, banyak orang justru merasa lelah, tidak lebih baik secara spiritual, dan bahkan menyesali perbuatan mereka saat perayaan.
• Sebaliknya, model seperti Nyepi memaksa manusia untuk berhenti, merenung, dan benar-benar menyadari perubahan yang harus mereka buat dalam hidup mereka.
• Ini bisa menjadi model alternatif untuk perayaan Tahun Baru global, di mana ada momen keheningan kolektif sebelum memasuki tahun yang baru.
Kesimpulan Sementara:
1. Nyepi bukan sekedar perayaan, tetapi bentuk transformasi batin dan momen reset total sebelum memasuki era baru.
2. Tahun Baru Saka dipilih di Krishna Paksa untuk menunjukkan bahwa kegelapan harus dilewati sebelum menemukan cahaya. Krishna Paksa melambangkan fase introspeksi yang mendalam sebelum kelahiran kembali.
3. Tahun Saka, yang digunakan dalam perayaan Nyepi, merupakan bentuk penghormatan terhadap kemenangan Dharma, bukan sekadar sistem kalender biasa.
4. Jika menggunakan sistem solar (Uttarayana), mungkin perayaannya akan lebih eksternal dan berbasis musim, tetapi Nyepi menekankan transformasi internal.
6. Shalivahana berasal dari garis keturunan Kshatriya, dengan hubungan ke Suryavamsa (Ikshvaku) dan mungkin juga Chandravamsa. Ia dikaitkan dengan Dinasti Satavahana, yang menguasai India Selatan dan menentang bangsa Saka.
7. Mitos Shalivahana bisa saja mempengaruhi kisah Sri Aji Saka di Nusantara, terutama dalam hal pengenalan aksara, kalender, dan nilai moral.
8. Sri Aji Saka mungkin bukan sosok historis, tetapi representasi dari masuknya kebudayaan India ke Nusantara, khususnya dalam bidang sistem penulisan, kalender, dan nilai-nilai moral.
9. Dalam dunia modern, model Nyepi bisa menjadi refleksi bagi cara manusia merayakan Tahun Baru—bukan hanya dengan euforia, tetapi juga dengan keheningan dan makna spiritual.
Catatan: naskah ini dikolaborasikan dengan aplikasi kepinteran buatan dan sumber-sumber yang ada serta pengetahuan yang dipahami dalam pengalaman menjalani perayaan Nyepi. Bahwa perkembangan penelitian mengenai hubungan India dan Nusantara terkait Nyepi di Bali masih terus dicari sehingga naskah ini dapat dijadikan acuan sementara. Semoga bermanfaat. Terima Kasih
*)Penulis, Tinggal di Desa Asaria, Kecamatan Sabulakoa, Kabupaten Konsel, Provinsi Sulawesi Tenggara; mantan Pengurus Parisada Daerah dan Pusat, pensiunan Widyaiswara Ahli Utama (IV/e). Alumni Diklatpim Tingkat I-Angkatan XXIV 2013 LAN-RI. Alumsi S2-S3 UGM, belajar Urban Planning di HIS Rotterdam-Belanda, New Delhi dan Philipines.