Banner Bawah

Renungan Pensiunan dalam Terang Ajaran Hindu

Admin - atnews

2025-05-31
Bagikan :
Dokumentasi dari - Renungan Pensiunan dalam Terang Ajaran Hindu
JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP (ist/Atnews)

Oleh JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP
Artikel ini telah disiapkan sejak menginjak Batas Usia Pensiun (Januari 2023), sambil menunggu Kepres RI, dengan masa kerja 40 tahun dan mencapai puncak karir IV/e. Karena saya sudah berjanji ketika pensiun akan melepaskan semua ikatan dan belajar tekun cara baik untuk pulang. 

Namun saya baru sadar dan teringat ketika Kawan sejawat saya seorang pejabat utama, di masa pensiunnya disibukkan oleh kegiatan yang seharusnya ia lakukan ketika masih muda. Badannya yang ringkih nampak sulit untuk bergerak di pasar yang sibuk itu dan menjajakan tas kresek dari satu lapak ke lapak yang lain. Kami sama-sama di birokrasi. 

Pensiun sering dipandang sebagai akhir dari produktivitas, saat tubuh tak sekuat dulu dan jabatan tak lagi diemban. Namun bagi saya, pensiun bukan sekadar beristirahat dari pekerjaan, melainkan momen kritis untuk memahami arah kehidupan yang lebih dalam. Dalam terang ajaran Hindu, masa pensiun justru membuka pintu untuk memasuki tahap spiritual yang mulia: wanaprastha, menuju sannyasa. 

Di sinilah letak makna hakiki dari pensiun: bukan berhenti, tetapi berpindah—dari dunia luar ke dunia dalam. Melakukan penelitian analisis batin, menuju kecemerlangan. Dalam ajaran Hindu dengan sangat terang dijelaskan mengenai kerangka kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama. Catur Asrama tidak bisa lepas dari ajaran yang mendukungnya, yaitu Catur Purushartha, bagaimana seseorang harus menjalani kehidupan sesuai tahapannya.  

CATUR ASRAMA: PETA JALAN KEHIDUPAN
Hindu telah menetapkan kerangka kehidupan, yang relevan sepanjang zaman. Berua tahap-tahapan aktivitas yang mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi pengembangan batinnya. Mulai dari belajar, berumah tangga-mencari harta sampai pelepasan diri dari ikatan. 

Hindu Dharma memberikan kerangka kehidupan manusia yang holistik melalui ajaran Catur Asrama, yang meliputi:
1. Brahmacari, masa belajar dan menuntut ilmu;
2. Grihasta, masa berumah tangga dan bekerja memenuhi tanggung jawab duniawi;
3. Wanaprastha, masa menarik diri dari keterikatan dunia, menapaki jalan spiritual;
4. Sannyasa, masa pelepasan total dari dunia dan pengabdian penuh kepada Tuhan.

Tahapan ini bukan sekadar urutan umur, tetapi laku batin yang harus disadari dan dijalani secara sungguh-sungguh. Sayangnya, banyak dari kita berhenti pada tahap grihasta. Bahkan setelah pensiun pun, pikiran masih sibuk mengejar artha dan kama, padahal jiwa sedang dipanggil menuju dharma dan moksha.

CATUR PURUSHARTHA: EMPAT TUJUAN HIDUP
Sejalan dengan itu, Hindu juga mengenal Catur Purushartha:
• Dharma: hidup dalam kebenaran dan etika,
• Artha: mencari kekayaan secara benar,
• Kama: memenuhi keinginan dalam bingkai dharma,
• Moksha: mencapai kebebasan dari penderitaan dan keterikatan.

Catur Purushartha bukanlah tujuan terpisah, melainkan satu kesatuan. Artha dan kama hanya bermakna jika ditopang oleh dharma, dan semuanya bermuara pada moksha. Pensiun seharusnya menjadi titik balik, di mana artha dan kama ditinggalkan secara sukarela untuk menghidupi dharma dan mengecap jejak moksha—keheningan dan kedamaian sejati
.
KENYATAAN MASA KINI: MENTOK DI GRIHASTA
Banyak teman sejawat saya, setelah pensiun justru jatuh sakit, baik secara fisik maupun psikis. Ada yang merasa kehilangan arah, ada pula yang memaksakan diri tetap bekerja demi “kesibukan”. 

Bukan saja walaka tetapi juga sulinggih. Sayangnya, tak sedikit yang melupakan bahwa masa ini justru adalah waktu terbaik untuk bertemu kembali dengan diri sendiri dan Tuhan. Akibatnya, banyak yang secara usia layak memasuki wanaprastha, namun secara batin masih tersangkut dalam hasrat dan keterikatan grihasta. Umur telah memasuki wanaprastha tetapi laku dan kegiatan masih grihastha.

Lebih memprihatinkan lagi, bahkan para tokoh agama atau rohaniwan Hindu kadang terjebak dalam dinamika duniawi. Aktivitas sosial, politik, bahkan ekonomi masih mendominasi hari-hari mereka. Padahal, wanaprastha seharusnya menjadi masa memudar dari keramaian, bukan kembali bersinar dalam sorotan dunia. Banyak yang tidak sadar bahwa sejalan umur, kecendrungkan membuat kesalahan dan kekacauan semakin besar sehingga menganggu anak-anak tetapi juga lingkungan.

PANGGILAN WANAPRASTHA: MEMBEBASKAN DIRI
Wanaprastha bukan berarti pergi ke hutan dalam arti fisik, tetapi meninggalkan “hutan kesibukan duniawi” di dalam diri. Artinya:
• Mengurangi keterlibatan sosial yang menumbuhkan ego,
• Memperdalam kebijaksanaan melalui tapa, swadhyaya, dan meditasi,
• Menjadi sumber keteduhan dan bimbingan bagi generasi setelahnya.

Bagi saya, pensiun adalah panggilan untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi, bukan dengan banyak kata, tetapi dengan hening, hadir, dan sadar. Dalam diam, kita bisa meresapi bahwa segala yang kita kejar dahulu, hanya sementara. Diam bukanlah kekalahan, tetapi puncak kemenangan. Diam bukan berarti menyerah tetapi menerima kenyataan dan membangun kesadaran tidak memerlukan sesuatu lagi.

MENUJU SANNYASA: LEPAS BEBAS
Jika wanaprastha adalah gerbang, maka sannyasa adalah taman sunyi di baliknya. Tidak semua orang sampai ke tahap ini, karena melepaskan adalah pekerjaan berat. Melepaskan ambisi, nama, jabatan, bahkan keterikatan pada peran spiritual pun harus dikendorkan. Namun di situlah kebebasan yang sesungguhnya hadir—moksha bukan sekadar tujuan, tapi keadaan batin yang hadir ketika semua ikatan diluruhkan. 

Penutup: Memaknai Pensiun sebagai Perjalanan Spiritual

Dalam terang ajaran Hindu, pensiun bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan batin yang agung. Pensiun memberi waktu untuk menyadari bahwa hidup bukan sekadar bekerja dan memenuhi keinginan, melainkan melampaui semuanya. Inilah masa untuk tidak lagi sibuk membentuk dunia luar, tetapi menata dan menyucikan dunia dalam.

Jika dulu kita mencari, kini saatnya menemukan. Jika dulu kita memiliki, kini saatnya melepaskan. Jika dulu kita membangun, kini saatnya hening dan berserah.
Semoga pensiun ini tidak hanya menjadi istirahat, tetapi perjalanan pulang menuju Tuhan, menuju diri sejati. Rahayu .

*) Penulis: JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP menetap di Desa Pujungan, Pupuan, Tabanan. Mantan Dosen: PPS UHO, PPS STIE 66, Unsultra, STAH Bhatara Guru. Mantan pengurus PHDI Pusat dan Daerah. Pensiunan PNS-Pejabat Utama Provinsi, jabatan fungsional terakhir Widyaiswara Ahli Utama (IV/e). Mantan Bappeda (tiga jabatan), Karo (dua jabatan), Asisten (dua jabatan) dan berulangkali menjadi Plh. Sekda Provinsi. Alumi Faperta Unram (1984), Alumni S2-MPKD dan S3-Geografi Fisik UGM (1995, 2003). Mendalami Urban Planning di Roterdam, Belanda. Delegasi Indonesia di bidang Desentralisasi Fiskal di New Delhi dan Philipines, dibiayai WB.
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Pangdam :  Fakultas Kedokteran Unud agar Kedepankan Misi Sosial

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

POM MIGO KAORI

POM MIGO KAORI

Desa Wisata Pemuteran, Mengenang Sang Perintis AA Prana (alm) Seorang Social Entrepreuner

Desa Wisata Pemuteran, Mengenang Sang Perintis AA Prana (alm) Seorang Social Entrepreuner

Kenapa Umat Hindu Etnis Indonesia Tak Merayakan Diwali?

Kenapa Umat Hindu Etnis Indonesia Tak Merayakan Diwali?

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas