Bali Pulau Kecil, Koster Terima Perangkat Desa dan Tokoh Sidakarya - Intaran, Suasta Kritik Keras Proyek LNG di Pantai Sidakarya
Admin - atnews
2025-06-04
Bagikan :
Gubernur Bali Wayan Koster (ist/Atnews)
Denpasar (Atnews) – Gubernur Bali Wayan Koster menerima perwakilan masyarakat Pulau Serangan, Desa Intaran dan Desa Sidakarya dalam pertemuan terbuka terkait rencana pembangunan terminal Liquefied Natural Gas (LNG) di Pantai Sidakarya, Denpasar Selatan.
Pertemuan berlangsung di Gedung Kerthasaba, Jayasabha, Denpasar pada Rabu (4/6) dan dihadiri oleh tokoh masyarakat, perangkat desa adat, serta perwakilan PT Dewata Energi Bersih.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Koster menegaskan bahwa pembangunan terminal LNG merupakan bagian dari program Bali Mandiri Energi Bersih yang bertujuan mewujudkan ketahanan energi daerah, mendukung pencapaian Net Zero Emission 2045, dan menjaga kualitas lingkungan serta citra pariwisata Bali.
"Bali adalah pulau kecil, destinasi wisata dunia, tidak boleh tergantung pada energi dari luar. Kita harus mandiri dengan energi bersih," tegas Gubernur Koster.
Saat ini, Bali masih sangat bergantung pada pasokan listrik dari Jawa Timur melalui kabel bawah laut yang rentan terganggu.
Gubernur menyampaikan bahwa kondisi darurat seperti blackout 12 jam yang pernah terjadi tidak boleh terulang. Oleh karena itu, infrastruktur energi lokal berbasis gas alam cair (LNG) menjadi kebutuhan mendesak.
Sejumlah tokoh masyarakat Serangan dan Sidakarya menyampaikan kekhawatiran terkait keamanan, kerusakan ekosistem laut, dan mata pencaharian nelayan. Namun Gubernur merespons dengan penjelasan konkret demi Bali ajeg berkelanjutan. Koster menyampaikan bahwa seluruh proses telah melalui kajian menyeluruh, termasuk oleh tim AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Beberapa hal penting yang dijelaskan seperti Jalur kapal sudah eksisting dan tidak melewati terumbu karang aktif, kapal pengangkut LNG hanya datang setiap 42 hari dan proses bongkar muat dilakukan dalam 24 jam, pipa gas dipasang di kedalaman 15 meter, di bawah akar mangrove, tanpa mengganggu ekosistem serta bahwa LNG berbeda dengan LPG, yakni tidak mudah meledak, dan jika bocor akan menguap di udara.
Lalu juga penggunaan teknologi pengerukan ramah lingkungan seperti kapal hisap pasir dan kelambu lumpur untuk mencegah kekeruhan.
"Saya tidak akan membiarkan pembangunan merugikan masyarakat atau represif. Semua proses harus jelas dan benar. Ini prinsip saya sebagai Gubernur untuk menjaga Gumi Bali," ucapnya.
Selain aspek teknis dan lingkungan, pembangunan terminal LNG di Sidakarya juga memberikan potensi manfaat ekonomi bagi desa-desa adat terdampak, termasuk peluang pendapatan dari penataan kawasan, pengelolaan dermaga wisata, serta kerjasama dengan BUMDes dan BUMDA.
Terminal LNG ini juga akan terintegrasi dengan PLTG Pesanggaran dan pembangkit baru di perbatasan Denpasar-Gianyar, dengan total kapasitas 1.550 MW pada 2029, sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan listrik Bali.
Gubernur Koster menegaskan bahwa seluruh proses akan dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif, dan pemerintah akan memastikan semua kepentingan warga dilindungi serta lingkungan tetap lestari.
Tentang Program Bali Mandiri Energi, Program ini merupakan inisiatif Pemerintah Provinsi Bali untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah melalui sumber energi bersih berbasis gas alam atau sumber energi bersih lainnya, mengurangi ketergantungan pada batu bara dan solar, serta mendukung transisi energi nasional menuju ekonomi hijau dan pariwisata berkelanjutan.
Sementara itu, Anggota DPRD Denpasar I Gede Tommy Sumertha ikut menyoroti rencana proyek energi bersih Terminal Liquefied Natural Gas (LNG).
Namun proyek pembangunan Terminal LNG dan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) memilih tempat di Pantai Sidakarya, Denpasar dinilai kurang tepat.
"LNG setuju tapi tempatnya mesti direlokasi ke Kawasan Pelabuhan Benoa," kata Tommy di Denpasar, Rabu (4/6).
Dikhawatirkan proyek pembangunan FSRU LNG Sidakarya merusak ekosistem kawasan tersebut.
"Jangan dirusak ekosistem kawasan ini dengan kegiatan dreging pengeboran bunker dan jalur pipa LNG. Kawasan ini sebagai pelabuhan kapal boat untuk wisatawan," imbuhnya.
Menurutnya, kawasan Pesisir Pantai Pengembak, Mertasari dan Sanur harus tetap di jaga sebagai kawasan pariwisata dengan aktivitasnya, kampung nelayan, pelestarian mangrove dan terumbu karang.
Diharapkan, pelestarian lingkungan mangrove, pantai, sungai, tutupan lahan hijau, alih fungsi lahan, sampah, limbah cair dan limbah padat, polisi udara, air dan tanah. Dengan memperhatikan kajian-kajian UPL UKL dan AMDAL.
"Masalah lingkungan banyak hal yang mesti di bedah," bebernya.
Sedangkan, proyek pembangunan Terminal LNG dan FSRU di Pantai Sidakarya, Denpasar, memicu polemik dari warga dan tokoh masyarakat Bali.
Kawasan yang mencakup Pantai Mertasari Sanur, Pulau Serangan, dan hutan mangrove Sidakarya ini dinilai sebagai jantung wisata Bali yang tidak bisa dikompromikan oleh kepentingan investasi.
Menteri Lingkungan Hidup RI, Hanif Faisol Nurofiq, yang meninjau langsung lokasi proyek menyampaikan sikap tegas, bahwa setiap jengkal wilayah Bali punya nilai ekonomi wisata tinggi.
"Mengingat, lingkungan dalah tulang punggung dan fondasi utama yang tak bisa dikompromikan," tegasnya, Selasa, 27 Mei 2025.
Menteri Hanif memastikan dokumen AMDAL proyek LNG akan terus dikaji, namun dengan evaluasi lintas kementerian dan daerah.
Hanif juga menyoroti risiko ekologis proyek, termasuk pengerukan besar-besaran laut dangkal dan potensi kerusakan pada terumbu karang, habitat penyu, serta hutan mangrove lindung.
"Begitu menyentuh koral, dua sanksi langsung menanti: pidana dan gugatan perdata. Ganti rugi dan pemulihan lingkungan akan dikenakan tanpa toleransi," tegasnya dihadapan warga.
Penolakan dari masyarakat, Akademisi dan aktivis. Warga Pulau Serangan menyuarakan penolakan secara langsung kepada Menteri Hanif.
Tokoh masyarakat, Wayan Patut, menegaskan pihaknya tidak menolak pembangunan, tetapi mohon diperhatikan dampaknya lingkungan, sosial, budaya dan juga kesehatan masyarakat.
"Ini kawasan wisata. Kami sudah secara turun-temurun menggantungkan hidup dari laut," paparnya.
Untuk itu, Pemerintah diminta tidak hanya melihat aspek teknis, tetapi juga nilai kehidupan yang dipertaruhkan.
Senada dengan itu, Putu Suasta selaku pendiri Yayasan Wisnu dan tokoh Forum Merah Putih Tolak LNG mengkritik keras proyek ini.
"Bayangkan kapal LNG sepanjang 300 meter masuk ke pantai dangkal seperti Mertasari, mustahil tanpa pengerukan 4 juta meter kubik lumpur. Laut akan jadi coklat, pantai jadi hitam, hotel kosong, dan perahu-perahu pergi," ungkapnya.
Bahkan, Putu Suasta menyebut proyek ini sebagai gaya lama yang mengorbankan yang lemah demi keuntungan segelintir pihak.
Sementara itu, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Bali menyerahkan kajian kritis ilmiah kepada Kementerian LHK. Aksi ini dipimpin langsung oleh I Made Dirgayusa selaku Ketua Wilayah LMND Bali, yang menyampaikan dokumen tersebut di Bandara Ngurah Rai.
"Ini bukan sekadar dokumen, ini pernyataan sikap dari generasi muda. Proyek ini mengabaikan risiko sosial dan ekologis," tegasnya.
Kajian LMND mengungkap kelemahan serius dalam dokumen AMDAL proyek, mulai dari ketidaktepatan teknis hingga potensi kerusakan pesisir Bali selatan.
"Ini bukan lagi wacana teknokratik, ini soal keadilan lingkungan. Siapa yang menanggung dampaknya?," kata Dirgayusa.
Ditekankan pula, bahwa keberanian intelektual dan konsistensi rakyat bisa menembus sekat kekuasaan.
Menteri Hanif menutup pernyataannya dengan penegasan kalau dari hasil kajian para pakar menyatakan teknologi ini tidak layak atau lingkungan tak mampu menampung, maka proyek ini tidak akan dilanjutkan di sini.
Diingatkan pula, bahwa Bali bukan sekadar destinasi, tetapi warisan budaya dan ekologis dunia.
"Proyek energi sekalipun, tidak boleh menghancurkan masa depan pulau yang begitu unik ini," tutupnya. (GAB/WIG/001).