Oleh Jro Gde Sudibya
AA Pandji Tisna, Raja Buleleng, dan Ketua Dewan Raja-Raja Bali terakhir, pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tetapi lebih dikenal sebagai sastrawan, dengan karya-karya novelnya, menyebut beberapa: I Swasta Setahun di Bedahulu, Nyi Rawit Ceti Penjual Orang, Sukreni Gadis Bali, Made Widiadi. Sastrawan terpandang di zamannya.
Raja yang berpandangan maju, melihat tanda-tanda zaman, melakukan pertemuan antar para raja di Bali tahun 1948 di Tabanan, membuat keputusan, pasca kemerdekaan dan membuat kesepakatan berupa: era raja-raja telah berakhir.
Terbuka kesempatan di era kemerdekaan, terutama di bidang ekonomi yang mesti digeluti. Ekonom Dr.Anwar Nasution, pernah mengulas ethos kerja para bangsawan pasca kemerdekaan di Majalah Prisma sekitar dasa warsa 1970-an.
Menurut penuturan Prof.Ngurah Bagus, AA Pandji Tisna telah membaca buku-buku Hindu seperti: Bhagavad Gita yang diterjemahkan-tafsirkan oleh Cri Aurobindo, pikiran Svami Vivekananda pada dasa warsa 1940-an. Mendirikan sebuah gedung bioskop di Jalan Ngurah Rai, Singaraja, dengan nama MAYA, menggambarkan pemahaman sastrawan ini tentang teologi dan filsafat Hindu.
Tetua Tajun mengenal sebagai raja yang ramah dan egaliter, karena setiap raina Purnama Kapat, beliau dan keluarga tangkil ke Pura Pucak Sinunggal, dimana "pengabih" beliau membentangkan kain Putih dari Pura Dalem Dasar Tajun sampai Pucak Sinunggal, yang berjarak sekitar 1,5 km. Sebelum mebhakti, selalu mampir ke pengelingsir tetua Tajun, dengan sikap,gesture, bahwa sang raja bagian dari krama Tajun. Menganggap krama Tajun adalah keluarganya.
Tidak sedikit para remaja kota Singaraja di dasa warsa 1960'an,mengunjungi sastrawan ini di Lovina. Menurut penuturan teman-teman yang sering diskusi dengan beliau, sastrawan ini sangat rendah hati, ramah dan sangat suka berbagi.
*) Jro Gde Sudibya, pemerhati kebudayaan.