Banner Bawah

Krisis Pengelolaan Sampah: Ancaman Nyata Runtuhnya Reputasi dan Masa Depan Pariwisata Bali

Admin - atnews

2025-08-03
Bagikan :
Dokumentasi dari - Krisis Pengelolaan Sampah: Ancaman Nyata Runtuhnya Reputasi dan Masa Depan Pariwisata Bali
Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama (ist/Atnews)

Oleh Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA., CIRR.
“Sebagai sebuah kasus di Phuket, Maya Bay, dan Machu Picchu menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang buruk berdampak serius bagi destinasi pariwisata internasional. Phuket menghadapi penumpukan sampah harian yang melonjak di musim liburan hingga lebih dari 1.000 ton per hari, menyebabkan pencemaran plastik di laut dan pantai serta gangguan bau bagi masyarakat dan wisatawan. Maya Bay terpaksa ditutup sementara karena kerusakan lingkungan akibat limbah wisatawan, sementara Machu Picchu mengalami masalah akumulasi sampah parah yang sulit diangkut karena akses terbatas. Dampaknya jelas terhadap penurunan daya tarik dan pengalaman wisata, kerusakan ekosistem lokal, gangguan kesehatan serta kenyamanan masyarakat, dan penurunan reputasi destinasi di mata wisatawan domestik maupun mancanegara”.

Bali, sebagai ikon destinasi wisata internasional, menghadapi tantangan akut terkait pengelolaan sampah pada pertengahan 2025. Penutupan bertahap Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung di Denpasar, yang diawali dengan penghentian penerimaan sampah organik per 1 Agustus 2025 dan akan ditutup total pada Desember 2025, bukan sekadar kebijakan lingkungan melainkan lonceng peringatan bagi masa depan pariwisata Bali. 

Kebijakan ini menimbulkan efek domino yang kini mulai dirasakan tajam oleh sektor pariwisata, khususnya pada tingkat operasional dan reputasi hotel-hotel di Denpasar dan Badung. Keluhan terkuat terdengar dari jaringan hotel ternama di Kawan Nusa Dua, Kuta, Sanur, dan Denpasar. Salah satu benang merah masalah yang mereka hadapi adalah terbatasnya alternatif pembuangan serta pengolahan sampah, yang berujung pada menumpuknya limbah di lingkungan hotel dan kawasan wisata, serta membengkaknya biaya untuk mencari vendor pengelolaan sampah baru.

Akibatnya, beban tambahan muncul baik bagi pengelola hotel maupun pemerintah daerah yang tengah berupaya mempertahankan citra Bali sebagai destinasi warisan dunia yang bersih, hijau, dan nyaman.

Data Pemerintah Provinsi Bali dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menunjukan secara gamblang bahwa Denpasar dan Badung berada pada titik epicentrum produksi sampah di Bali, dengan volume lebih dari 1,200 ton/hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 68% merupakan sampah organik, mayoritas sisa makanan hotel, restoran, dan rumah tangga. Hotel-hotel berbintang, restoran terkenal, serta kawasan hunian padat menjadi penyumbang utama, sementara kapasitas pengelolaan berbasis desa (TPS3R/TPS3R) terbukti belum mampu mengakomodasi lonjakan limbah, terutama setelah TPA Suwung mulai membatasi penerimaan.

Sampai tahun 2024, terdapat lebih dari 300 hotel dan restoran anggota PHRI di kawasan terdampak yang telah memiliki program pemilahan sampah. Namun, upaya ini tetap sangat bergantung pada pengangkutan dan proses akhir di TPA Suwung. 

Ketika sistem sentral ini terganggu, baik karena pembatasan maupun kelebihan kapasitas, rantai logistik pengelolaan limbah pun ikut terputus. Keluhan nyaring muncul: tumpukan limbah organik yang cepat membusuk, sulitnya mencari lokasi pembuangan legal, hingga kenaikan biaya operasional untuk outsourcing pengelolaan ke luar kota Denpasar dan Badung.

Tidak hanya itu, kendala TPS3R dan fasilitas pengolahan regional yang belum memadai kapasitas atau distribusinya, memperburuk situasi di lapangan. 

Distribusi sampah yang mulai meluber ke jalan, halaman hotel, dan area publik menjadi pemandangan yang sangat mengancam daya tarik wisata Bali, yang selama ini bergantung pada kebersihan dan kenyamanan. Bila kondisi ini dibiarkan, Bali dikhawatirkan akan kehilangan daya saing sebagai destinasi unggulan dunia. 

Dampak terhadap Destinasi Pariwisata Bali: Dampak langsung dari krisis ini sangat nyata dan dirasakan pada berbagai lapisan industri pariwisata:
Ancaman Penurunan Okupansi Hotel: Data PHRI tahun 2025 menunjukkan penurunan okupansi 10-20% di sejumlah hotel dan resort kawasan Denpasar, Badung, dan Sanur. Wisatawan, terutama dari luar negeri, semakin peka terhadap isu lingkungan, dan persepsi kebersihan jadi pertimbangan utama memilih destinasi. 

Tumpukan sampah, bau menyengat, dan infrastruktur darurat yang tidak representatif tentu memengaruhi pengalaman menginap serta potensi “returning guest”.

Potensi Peningkatan Biaya Operasional: Hotel-hotel besar terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk mencari vendor pengangkut limbah alternatif, atau bahkan membayar lebih mahal untuk membuang sampah residu ke fasilitas di luar kota. Biaya ini tidak jarang dialihkan ke harga kamar, sehingga mengurangi daya saing Bali dibanding destinasi lain yang lebih bersih dan efisien.

Potensi Menurunnya Kualitas Visual dan Kenyamanan Destinasi: Sampah yang tidak terangkut dengan cepat menimbulkan dampak visual negatif, bau, hingga risiko kesehatan bagi pengunjung maupun pekerja hotel. Kawasan wisata seperti Kuta, Sanur, hingga pusat kota Denpasar yang biasanya steril dari limbah, kini menghadapi risiko kehilangan daya tarik akibat secara periodik terjadi penumpukan dan keterlambatan pembuangan.

Ancaman Risiko Krisis Citra dan Kepercayaan Wisatawan: Media luar negeri dan influencer global sangat cepat menangkap isu-isu lingkungan. Penurunan kepercayaan wisatawan terhadap citra “Bali Green & Clean” tidak hanya berdampak langsung pada pendapatan jangka pendek, tetapi juga menggerus reputasi dan potensi kunjungan pada musim-musim berikutnya.

Ancaman dan Potensi Dampak-dampak tersebut, jika tidak ditangani dengan cepat, berpotensi menimbulkan efek bola salju: kehilangan pemasukan daerah, melambatnya pemulihan ekonomi pasca pandemi, serta berkurangnya lapangan kerja di sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi Bali.

Menghadapi krisis multilapis ini, solusi parsial jelas tidak cukup. Kebutuhan mendesak adalah adanya strategi terintegrasi yang dilaksanakan secara konsisten oleh seluruh pemangku kepentingan:
Bali telah mengambil beberapa langkah penting dalam optimalisasi pengelolaan sampah berbasis komunitas, seperti penerapan TPS3R dan TPST di kawasan wisata serta permukiman, adopsi alat pengolahan seperti bank sampah, komposter, dan biodigester oleh komunitas, serta pelaksanaan edukasi dan penegakan hukum tentang pemilahan sampah.

Insentif informal bagi hotel dan restoran yang mengelola sampah secara mandiri sudah ada di beberapa wilayah, kolaborasi antar daerah pun dilakukan dengan menyalurkan sampah ke TPST di luar Denpasar untuk mengurangi beban TPA, serta usulan proyek insinerator dan waste-to-energy sudah mulai diajukan di tingkat provinsi.

Namun, sejumlah hal masih belum optimal, seperti kapasitas dan modernisasi TPS3R/TPST yang belum merata di seluruh Bali, terbatasnya insentif ekonomi formal seperti pengurangan pajak atau subsidi untuk sektor perhotelan yang berhasil mengelola sampah organik, serta implementasi teknologi pengolahan skala besar yang masih dalam tahap perencanaan. Upaya membangun sistem ekonomi sirkular lintas sektor dari hulu ke hilir juga belum berjalan secara massif, sehingga percepatan dan optimalisasi di berbagai aspek masih sangat diperlukan agar pengelolaan sampah di Bali benar-benar efektif dan berkelanjutan.

Penutupan TPA Suwung menjadi momentum krusial bagi Bali untuk melakukan aksi nyata yang mungkin bersifat percobaan dalam pengelolaan limbah. 

Kondisi darurat ini menuntut pemerintah dan masyarakat agar berinovasi dan bergerak cepat melalui pembangunan infrastruktur baru, penegakan hukum tegas, edukasi publik yang masif, serta adopsi teknologi pengelolaan sampah yang modern untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pariwisata dan keberlanjutan lingkungan. Jika tantangan besar ini berhasil diatasi secara kolaboratif, Bali berpotensi bangkit sebagai model pulau wisata hijau dan menerapkan sistem ekonomi sirkular bertaraf global. Sebaliknya, jika reformasi berjalan stagnan, ancaman krisis sampah akan terus membayangi dan berisiko menggerus reputasi dan masa depan gemilang Pulau Dewata. 

*) Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA., CIRR., Dosen Bidang Manajemen Bisnis Pariwisata, dan Rektor Universitas Dhyana Pura, Badung, Bali.
 
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Ketum Dharma Pertiwi Kunjungi Museum Mahatma Gandhi di India

Terpopuler

13 Bangunan Pariwisata di WBD Jatiluwih yang Diakui UNESCO, Satpol Pasangi PP Line Langgar Aturan Tata Ruang, LSD dan LP2B 

13 Bangunan Pariwisata di WBD Jatiluwih yang Diakui UNESCO, Satpol Pasangi PP Line Langgar Aturan Tata Ruang, LSD dan LP2B 

Komisi Informasi Bali: Proyek Gunakan Anggaran Negara Wajib Dipublikasikan

Komisi Informasi Bali: Proyek Gunakan Anggaran Negara Wajib Dipublikasikan

Pimpinan DPRD Bali; Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

Pimpinan DPRD Bali; Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

GPS: Investor Asing Abal-Abal & Modus Magnum, Bahaya PMA Fiktif di Bali

GPS: Investor Asing Abal-Abal & Modus Magnum, Bahaya PMA Fiktif di Bali

Usut Tuntas 'Proyek Siluman' di Mangrove Tahura Ngurah Rai Denpasar

Usut Tuntas 'Proyek Siluman' di Mangrove Tahura Ngurah Rai Denpasar

Nelayan Belum Kembali Dari Laut, Tim SAR Gabungan Lakukan Pencarian

Nelayan Belum Kembali Dari Laut, Tim SAR Gabungan Lakukan Pencarian