Oleh Prof. Dr. I Made Suwitra, SH.,MH
Sebelum ada MDA sebagai lembaga yang disebut “Pesikian Desa Adat” dibentuk lembaga yang dikenal dengan “Majelis Pembina Lembaga Adat” (MPLA) yang mempunyai tugas pokok melakukan pembinaan untuk pemberdayaan Desa Adat yang otonom dan otohton dalam menjalankan tata kelola pemerintahannya di di bawah payung Perda 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi Dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Yang dibina tidak hanya desa adat tetapi juga subak.
Bentuk pembinaan yang dilakukan antara lain melalui kegiatan “lomba” Desa Adat dan Subak dengan menggunakan spirit dalam falsafah Tri Hitakarana sebagai standar penilaian yang didalamnya ada kegiatan penyuratan awig, penataan organisasi dan tata Kelola. Jadi Kesan yang diwariskan oleh lembaga MPLA dengan kearifan yang dimiliki perangkat dan personalnya adalah “pembinaan dan fasilitasi” bukan sebagai lembaga pemutus karena mengakui dan menghormati otonomi asli desa adat sebagai Persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeenschappen).
Permasalahan berupa konflik baik antar lembaga, antar krama atau individu, krama atau individu dengan desa adat sebagai dampak modernisasi dan perkembangan pemikiran yang lebih maju dalam masyarakat merupakan gejala sosial.
MPLA kemudian diganti dengan Majelis Desa Pakraman (MDP) dibawah payung hukum Perda 3 tahun 2001 jo Perda 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman dengan pertimbangan, bahwa MPLA dianggap bentukan Pemerintah Daerah (Provinsi) sehingga dianggap tidak relevan dengan sifat otonomi desa adat dengan misi sebagai lembaga di luar pemerintah dengan tugas utama pemberdayaan desa adat berhadapan para outsider sehingga muncul konsep dualitas dalam sistem pemerintahan desa dari akademisi (alm. Prof. Parimarta) dalam upaya memberikan posisi yang equal dalam fungsi penyelenggaraan pemerintahan desa masing-masing antara Desa Adat dengan Desa Dinas dalam konsep “Koeksistensi” dengan memerhatikan kondisi sebelumnya bahwa desa adat seolah berada dibawah desa dinas terutama pada saat menerima bantuan dana dari pemerintah. Permasalahan konflik batas desa, tanah druwe desa sebagai ulayat desa, penerapan sanksi terutama kasepekang juga menjadi fenomena yang melengkapi dalam penyelenggaraan tata Kelola pemerintahan desa adat.
Diterbitkannya Perda 4 tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali yang menggantikan Perda 3/2001 jo Perda 3/2003 yang dilandasi Visi “Penguatan Desa Adat” dan membangun komitmen mendudukkan Desa Adat sebagai desa otonom. Tetapi apa yang terjadi dan dirasakan di Desa Adat dalam perjalanannya setelah ada Majelis Desa Adat (MDA) menggantikan MDP. MDA ditegaskan “dibentuk” Desa Adat, sebagai persatuan (“pasikian”) Desa Adat dan “mitra” pemerintah. Oleh karena itu perlu dipertanyakan hakikat dari makna “pernyataan: dibentuk desa adat, pasikian, dan mitra”, yang menjadi bagian dari rumusan ketentuan dalam Perda 4/2019. Namun yang jelas telah terjadi berbagai fenomena yang dirasakan “mengintervensi otonomi desa adat” seperti dalam “ngadegang Bendesa Adat” di berbagai Kabupaten di Bali, seperti yang sedang viral saat ini, yaitu di Desa Selat Bangli. Walaupun telah berulang kali dinyatakan, bahwa MDA bukan atasan desa adat, tetapi dari berbagai tindakan yang telah dilakukan dalam kenyataannya masih sangat kontradiktif, karena dari kasus sengketa dalam “ngadegang bendesa”, justru model intervensi inilah yang terjadi, sehingga SK Bendesa Adat yang diterbitkan MDA dapat dinyatakan tidak koheren dan koresponden dengan “awig-awig desa adat” karena telah menimbulkan konflik, bahkan ada yang sampai ke peradilan negara.
Kondisi ini mengindikasikan, bahwa telah terjadi tafsir yang keliru dan sesat pikir dalam memaknai hakikat otonomi asli yang dimiliki desa adat sebagai Persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeenschappen). Pemaknaan yang keliru dan kesesatan dalam berpikir ini dapat terjadi jika ada interpretasisi bahwa “desa adat dianggap telah menyerahkan sebagian kekuasannya kepada MDA”.
Walaupun pernyataan ini ada dalam anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangga MDA, jika bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, seperti UUD NRI tahun 1945 dan aturan organik lainnya, maka tidak mengikat dan tidak berlaku. Jadi dapat dinterpretasikan bahwa telah terjadi modus dalam menyusun AD/ART MDA. Oleh karena itu apa yang disampaikan oleh Bendesa Batuyang ke DPRD Bali sangat relevan dan beralasan.
Jika SK Bendesa dimanfaatkan oleh MDA sebagai dasar pencairan dana bantuan dari Pemerintah (Daerah), juga dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk intervensi, karena Desa Adat dipaksa untuk menerima SK Bendesa walaupun tidak sesuai dengan awig-awig desa adat, Sementara hakikat dana bantuan Pemerintah (Daerah) adalah menjadi “Hak” dari Desa Adat disatu sisi dan “Kewajiban” dari Pemerintah (Daerah) dalam “penguatan” keuangan desa adat dengan mengingat, bahwa Bali dalam berbagai perspektif tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Desa Adat sebagai pusat pembinaan kebudayaan Bali dan sekaligus sebagai benteng mempertahankan nilai komunal dan magis religious alam Bali yang berlandaskan falsafah Tri Hitakarana.
Oleh karena itu perlu ada kebaharuan paradigma dalam mengoeksitensikan kepatutan dalam desa adat yang sudah diputuskan dalam paruman desa untuk diadministrasikan oleh hukum negara (hanya bentuk pencatatan) oleh Dinas Pemajuan Masyarakat Adat sebagai pengganti SK MDA. Selain itu juga untuk menghindari adanya kontradiksi dalam memosisikan MDA dengan Desa Adat, dimana MDA yang dibentuk Desa Adat justru yang menerbitkan SK Bendesa Adat, sehingga berimplikasi terhadap posisi Desa Adat yang seolah sebagai “bawahan” MDA.
Kontradiksi akan lebih ditampakkan apabila ada SK MDA yang menganulir hasil paruman desa adat. Yang diperlukan adalah mengembalikan pada legal substance, yaitu awig-awig desa adat dalam konsep “justice as fairness” dengan memerhatikan hak yang sama kepada krama desa, sesuai mekanisme berupa proses dan prosedur dalam konteks kultur hukum tanpa diintervensi kepentingan kelompok atau kekuasaan. Sehingga pelaksanaan demokrasi di desa oleh krama desa adat akan dapat dijalankan sesuai dengan otonominya.
Permasalahan yang ada di desa adat wajib diselesaikan oleh desa adat karena otonominya, sementara posisi MDA adalah dalam pengayoman, pembinaan adat istidat serta memberi saran, usul dan pertimbangan dalam bidang adat, dan hukum adat. Dengan pembinaan, saran, usul, dan pertimbangan diharapkan setiap permasalahan/sengketa adat di desa adat dapat diselesaikan sesuai dengan 3 (tigas) asas kerja dalam hukum adat, yaitu: laras, rukun dan patut, sehingga penegakan awig-awig melalui sanksi adat tidak melanggar hukum negara, seperti pada kasus kasepekang Desa Pemogan, Busungbiu dan Desa Ped Nusa Penida. Pertanyaannya adalah sudahkah MDA melakukan tugas fungsi ini? Seluruh fenomena dalam desa adat terutama sengketa di desa adat terutama sengekata dalam “ngadegang bendesa” menjadi isu sentral yang perlu dicermati secara “patut” dengan harapan tidak terjadi dan meluas di desa adat lainnya sebagai akibat adanya kekeliruan dalam penerapan hukum oleh struktur hukum yang ada di MDA, sehingga tidak berimplikasi menjadi usulan atau aspirasi untuk “pembubaran” MDA.
Model intervensi lainya, adalah adanya penyeragaman atau unifikasi terhadap model atau bentuk “kepengurusan di Desa Adat”. Sementara ciri utama dari hukum adat adalah “perbedaan”. Oleh karena itu oleh Koesnoe disebut dengan desa, kala dan patra, yang relavan dengan istilah desa mawacara. Anehnya model kepengurusan Desa Adat ini juga dipergunakan sebagai dasar dalam pencairan dana bentuan desa adat yang pada hakikatnya menjadi hak dari desa adat. Artinya apabila model kepengurusan desa adat belum sesuai dengan model yang ditetapkan MDA, bantuan dana desa adat belum dapat dicairkan.
Apakah dengan berbagai fenomena sengketa adat seperti dalam ngadegang bendesa di beberapa desa adat ini sampai saat mengindikasikan bahwa keberadaan MDA belum berhasil dalam melakukan tugas fungsinya untuk penguatan Desa Adat? hanya desa adat yang tahu dan dapat merasakan, bukan dari pernyataan tapi dari bukti nyata.
Oleh karena itu diperlukan semacan tracer kepada seluruh prajuru desa adat, beberapa tokoh adat, dan krama desa adat yang representatif. Atau untuk pengenalan awal dapat direferensi hasil kajian/penelitian Tata Kelola Desa Desa Adat Tahun 2024 yang dimiliki Brida Provinsi Bali sebagai data sekunder.
Semoga fenomena tentang sengketa yang ada dan perlawanan dari desa adat dapat dijadikan referensi untuk berbenah dalam konteks legal system. Jujur itu hebat untuk mengakui dan menghormati desa adat sebagai masyarakat hukum adat, memiliki otonomi asli yang mampu berkoeksistensi dengan hukum dan struktur negara.
*) Prof. Dr. I Made Suwitra, SH.,MH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar