Oleh Pande Mangku Rata
Korupsi sudah lama menjadi penyakit kronis bangsa ini. Ia bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak tatanan sosial, politik, dan moral masyarakat. Semua kegaduhan yang kita saksikan hari ini sesungguhnya berakar pada satu masalah utama: korupsi yang menjalar tanpa kendali.
Korupsi yang Menjadi Kebiasaan
Awalnya, praktik korupsi dilakukan oleh segelintir pejabat yang memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi. Namun karena tidak tersentuh hukum, bahkan hukum bisa “diatur”, perilaku ini menular ke pejabat lain—baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun aparat penegak hukum.
Dalam waktu singkat, korupsi bukan lagi dianggap kejahatan luar biasa, melainkan hal yang “biasa”.
Masyarakat pun tanpa sadar turut melegitimasi dengan istilah yang meremehkan: “uang rokok”, “uang dengar”, “uang pelicin”, “sekadar angpao”. Dari sini korupsi bertransformasi menjadi budaya, bahkan ritual, yang seolah wajib ada dalam setiap kebijakan dan keputusan.
Celah Jadi Rebutan, Konflik Tak Terelakkan
Ketika korupsi telah membudaya, setiap celah pekerjaan bukan lagi dilihat sebagai ruang pengabdian, melainkan peluang. Semakin besar celahnya, semakin keras rebutannya. Di sinilah lahir konflik, gesekan, dan intrik.
Para “pemabuk korupsi” ini saling sikut. Saat kepentingan mereka berbenturan, kekuasaan dimainkan untuk memenangkan agenda pribadi. Demi mengalihkan perhatian, isu digeser: dari kasus tambang, lalu pajak, berganti ke isu DPR berjoget ria, ke polisi yang tak profesional, hingga kerusuhan sosial. Masyarakat pun dibingungkan dengan tumpang tindih informasi, antara fakta dan hoaks.
Kegaduhan yang Ditunggangi
Dalam setiap kegaduhan, selalu ada yang mencari panggung. Ada yang menunggangi isu demi kepentingan politik, ada pula yang menjadikannya batu loncatan. Ironisnya, dalam upaya penyelesaian kegaduhan pun masih terbuka peluang baru bagi praktik korupsi dan kolusi.
Maka benarlah, korupsi adalah biang kerok kegaduhan bangsa. Ia akar dari masalah sosial, ekonomi, politik, hingga keamanan.
Jalan Keluar: Pendidikan Anti-Korupsi Sejak Dini
Jika bangsa ini ingin sungguh-sungguh berbenah, pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan dengan penindakan hukum. Perlu revolusi budaya melalui pendidikan. Anti-korupsi harus diajarkan sejak dini, bahkan menjadi bagian kurikulum sekolah. Dengan begitu, generasi penerus bangsa tumbuh dengan karakter integritas, kejujuran, dan tanggung jawab.
Hanya dengan cara itu kita bisa berharap masa depan Indonesia terbebas dari kegaduhan akibat korupsi.
*) Pande Mangku Rata, Pengiat Anti Korupsi Bali