Oleh Wayan Suyadnya
Masih soal Banjir Pagerwesi, 10 September 2025. Saat itu bukan sekadar air yang tumpah dari langit. Ia tampaknya datang membawa misi — menelanjangi kebohongan yang berakar di tanah Bali.
Setelah air surut, lumpur menyingkap lembaran-lembaran dosa: seratus enam sertifikat ditemukan beririsan dengan Tahura — hutan yang seharusnya suci, tercoreng oleh kapling dan kertas negara.
Dari seratus enam itu, sebelas berada tepat di dalam Tahura. Ada 28 are, ada 60, bahkan ada yang menjulur 70 are lebih. Ukuran keserakahan ternyata bisa diukur dengan hektar.
Pansus TRAP DPRD Bali sudah menyerahkannya ke kejaksaan dan kepolisian. Dua lembaga yang katanya penegak hukum — kini di hadapan cermin: apakah mereka akan menegakkan hukum, atau menegakkan kepentingan?
Paradoksnya, semua orang tahu: membongkar kasus ini tidak sulit. Semua tanah punya riwayat, semua sertifikat punya jejak. Maka itu, jika tak terbongkar, mudah diduga ada yang bermain-main.
Dalam penerbitan sertifikat ada nama pemohon, ada pejabat pengukur, ada tanggal, ada tanda tangan. Ada waktu di mana kesalahan mulai diberi nomor.
Tapi kebenaran di Bali sering kali tersesat di lorong yang dipenuhi kepentingan. Yang canggih bukan alatnya, tapi caranya menghapus jejak.
Lalu muncul pertanyaan yang menyayat: apakah tanah seluas itu untuk rumah tinggal, atau untuk menanam kekuasaan? Apakah sertifikat di atas hutan itu hasil kesalahan teknis, atau kesengajaan yang dibungkus prosedur?
Banjir Pagerwesi membongkar bukan hanya Tahura, bukan hanya GWK, tapi juga nurani yang mulai lapuk.
Lihatlah Tukad Ayung — dulu hutan resapannya 100 persen, kini tinggal 3.
Ke mana yang 97 persen? Mungkin sudah menjadi villa, resort, atau tanah berpagar tinggi dengan plang nama baru.
Air yang dulu menetes lembut di akar kini kehilangan rumah, lalu mengamuk. Banjir Pagerwesi merenggut 18 nyawa, empat masih hilang. Mereka bukan korban alam — mereka korban kelalaian.
Delapan belas jiwa itu kini menatap pejabat di Bangli, Badung, Gianyar, dan Denpasar. Mereka menunggu tindakan. Kalau diam, air akan kembali datang, lebih besar, lebih hitam, lebih pendendam.
Karena di tanah yang menukar hutan dengan sertifikat, karma tidak datang perlahan — ia datang seperti arus, menggulung, menenggelamkan, menghapus nama.
Inilah paradoksnya: Hutan yang seharusnya melindungi kini dijual, air yang seharusnya memberi hidup kini menjemput maut, dan manusia yang seharusnya belajar dari banjir, malah menunggu banjir berikutnya.
BMKG selalu mengingatkan agar waspada banjir ROB setiap purnama. Agar kewaspadaan tidak menjadi trauma, maka tak ada pilihan selain membongkar segala keserahan dan mengembalikan keharmonisan semesta. (*)