Banner Bawah

Krisis Budaya Baca Pejabat Publik: Ancaman Bagi Kualitas Kebijakan

Admin - atnews

2025-10-09
Bagikan :
Dokumentasi dari - Krisis Budaya Baca Pejabat Publik: Ancaman Bagi Kualitas Kebijakan
Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama (ist/Atnews)

Oleh Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, M.A., Rektor Universitas Dhyana Pura
 
“Rendahnya budaya baca di kalangan pejabat publik mencerminkan masalah serius dalam sistem politik dan birokrasi Indonesia. Banyak pemimpin kesulitan memahami dokumen hukum, data, dan laporan kebijakan, sehingga keputusan yang lahir sering dangkal. Seleksi pemimpin lebih mengutamakan popularitas dan jaringan daripada kapasitas intelektual. 

Untuk mengatasinya, diperlukan reformasi rekrutmen berbasis literasi, pelatihan analisis kebijakan, penguatan literasi digital, dan keterlibatan aktif publik serta media. Literasi harus menjadi tolok ukur utama kepemimpinan agar kebijakan berlandaskan pemahaman mendalam dan tanggung jawab nyata terhadap rakyat”.

Pejabat publik di Indonesia adalah orang yang ditunjuk atau dipilih untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik, baik melalui penunjukan administratif maupun hasil pemilu. Kategori pejabat publik mencakup pejabat eksekutif seperti Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, bupati, dan wali kota; pejabat legislatif seperti anggota DPR, DPD, dan DPRD; pejabat yudikatif seperti hakim agung dan hakim konstitusi; serta pejabat lain yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. 

Selain itu, termasuk juga pimpinan dan anggota lembaga negara serta pejabat di lembaga publik lain yang tugas dan kewenangannya berkaitan dengan pelayanan kepentingan umum (Pasal 1: 8 UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik).
Wakil Ketua DPRD Pasangkayu baru-baru ini viral karena tidak bisa membaca UUD 1945 dengan lancar di acara resmi, menjadi simbol masalah besar di birokrasi dan politik Indonesia (kabarindonesia.id). 

Video yang tersebar menyingkap lemahnya budaya baca di kalangan pejabat. Fenomena ini bukan hal baru di Papua, 90 persen kepala desa tidak bisa baca-tulis, sehingga dana desa pun sering kacau (bskdn.kemendagri.go.id). Gubernur Riau pernah gagap baca Pancasila, dan anggota legislatif lain juga sering viral saat membaca UU atau berpidato resmi dengan terbata (beritajatim.com).

Sejauh ini, kasus semacam itu lebih sering tercatat di luar Bali dan belum ada kasus yang ramai diberitakan atau dibahas luas di media mengenai kejadian serupa oleh pejabat Bali. Kesalahan yang paling banyak terjadi adalah kesalahan dalam mengucapan salam lintas agama. Setelah ditelusuri penyebab utama kesalahan pengucapan salam lintas agama oleh pejabat terletak pada persilangan antara aspek teologis, sosio-budaya, tekanan politis, dan minimnya edukasi atau standar formal yang baku. Kurangnya pelatihan atau standarisasi pengucapan salam lintas agama bagi pejabat publik menjadi penyebab langsung munculnya kesalahan baik dari segi bahasa, istilah, maupun urutan penyampaiannya.

Sering kali juga tidak ada panduan resmi, sehingga masing-masing pejabat berimprovisasi sesuai pemahaman pribadi.

Banyak pejabat sulit mencerna dokumen hukum dan data penting, sehingga kebijakan yang lahir sering dangkal. Masalah ini akhirnya tak hanya soal satu-dua individu, tapi rusaknya sistem mulai dari proses rekrutmen sampai budaya politik permisif yang menyepelekan kapasitas intelektual. Budaya baca di Indonesia memang rendah, bahkan di kalangan elit. Banyak pejabat hanya membaca secara seremonial, bukan kebiasaan sehari-hari. Dalam dunia politik, modal, jaringan, dan popularitas lebih penting daripada kualitas berpikir dan membaca.

Era digital memperparah: pejabat reaktif terhadap isu viral, namun malas mendalami laporan kebijakan. Kurangnya literasi digital membuat mereka mudah termakan dan menyebarkan berita bohong. Tidak adanya tekanan dari publik dan media, serta budaya politik yang toleran terhadap kualitas rendah, membuat membaca belum dianggap sebagai prestise atau kewajiban. Banyak lembaga hanya mengandalkan ringkasan dari staf, sehingga para pejabat sering tidak memahami secara mendalam laporan yang harusnya mereka kaji sendiri.

Jika sistem ini tidak segera berubah, negeri ini akan terus diurus mereka yang malas membaca dan minim literasi. Diperlukan perubahan radikal: literasi harus menjadi syarat utama pemimpin, bukan sekadar formalitas, agar kebijakan negeri benar-benar lahir dari nalar yang segar dan tanggung jawab terhadap rakyat nyata. 

Kasus “gagap baca” di kalangan pejabat adalah alarm keras bahwa budaya baca harus jadi fondasi perubahan agar bangsa ini benar-benar merdeka dalam berpikir dan bertindak.

Solusi Menuju Pejabat Publik Melek Literasi: Perubahan harus dilakukan secara berlapis, dari individu sampai sistem institusi. Beberapa solusi berikut layak dipertimbangkan untuk jangka pendek maupun panjang:
1) Mereformasi Persyaratan Rekrutmen: Pejabat publik, baik di tingkat desa hingga pusat, harus melewati ujian literasi minimal: kemampuan membaca dan memahami teks konstitusi, serta dokumen penting negara. Tes ini bisa diterapkan secara terbuka dalam seleksi calon perangkat desa, legislatif, hingga eksekutif.
2) Pelatihan Literasi Khusus Pejabat: Pemerintah harus menyelenggarakan pelatihan keterampilan membaca, analisis kebijakan, dan literasi digital secara rutin bagi pejabat aktif. Sertifikasi keterampilan ini menjadi syarat mutlak bagi promosi jabatan.
3) Menciptakan Budaya Membaca di Lembaga Publik: Tiap lembaga wajib punya klub baca, diskusi buku, serta mendorong pejabat untuk rutin mengulas buku yang mereka baca. Integrasi literasi dalam agenda lembaga merupakan strategi jitu untuk menularkan pentingnya membaca bagi pengambilan kebijakan.
4) Keterlibatan Publik dan Media: Masyarakat harus aktif mengawasi dan menuntut keterbukaan rekam jejak literasi pejabat. Media juga harus menyorot bukan hanya kisah kontroversial, tetapi juga memperlihatkan pentingnya pejabat yang gemar membaca untuk membangun opini publik bahwa literasi adalah nilai, bukan sekadar tambahan hiasan.
5) Penguatan Literasi Digital dan Verifikasi Informasi: Dalam era informasi yang serba cepat, pelatihan literasi digital bagi pejabat publik jadi keniscayaan. Pejabat harus dipersiapkan untuk bisa membedakan fakta, opini, dan hoaks agar keputusan yang diambil tetap berpijak pada data yang valid.
6) Kolaborasi Sinergis antara Pemerintah, Akademisi dan Masyarakat: Program literasi publik tak hanya tugas pemerintah, tetapi harus melibatkan universitas, komunitas, serta organisasi masyarakat sipil, untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya budaya literasi dalam menciptakan pejabat yang benar-benar mumpuni.

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab? Pertama dan terutama, tanggung jawab utama ada pada para pejabat itu sendiri. Sebagai penerima mandat rakyat, mereka wajib mengembangkan kapasitas diri dan tidak bersembunyi di balik alasan teknis atau budaya.

Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab membuat kebijakan yang mendukung penguatan literasi pejabat secara sistematis dan berkelanjutan. Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus bekerja sama merumuskan standar minimum literasi pejabat sekaligus memperkuat kontrol publik terhadap kualitas pemimpin di semua tingkatan.

Sementara itu, masyarakat juga perlu mengambil peran dengan lebih kritis terhadap proses rekrutmen dan evaluasi pemimpin. Media berperan sebagai mitra strategis melalui pemberitaan, kontrol sosial dan edukasi publik tentang pentingnya pejabat yang literat.

Kasus viral seperti Wakil Ketua DPRD Pasangkayu yang gagal membaca UUD 1945 bukan sekadar tontonan media, melainkan refleksi buruk yang harus memicu perubahan sistemik. Memilih pemimpin tidak bisa hanya berdasar popularitas atau kedekatan. Harus ada komitmen bersama untuk membumikan budaya literasi mulai dari ruang kelas, perpustakaan, kantor pemerintahan, hingga bilik TPS. Hanya dengan pejabat publik yang melek literasi, bangsa ini bisa melangkah pasti menuju masa depan yang lebih cerdas dan berkeadilan. (*)
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : ASN Pemprov Contoh Apel Berbusana Adat Bali

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

ADVERTISING JAGIR
Official Youtube Channel

#Atnews #Jagir #SegerDumunTunas

ADVERTISING JAGIR Official Youtube Channel #Atnews #Jagir #SegerDumunTunas

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif