Soroti Wana Kerthi, GPS Sayangkan APBD Minim untuk Kehutanan, Minta Hutan Seluruh Bali Diprioritaskan Dipulihkan
Admin - atnews
2025-10-09
Bagikan :
Advokat Gede Pasek Suardika (ist/Atnews)
Denpasar (Atnews) - Advokat Gede Pasek Suardika (GPS) yang juga Mantan DPR dan DPD RI Dapil Bali ikut menyoroti program Wana Kerthi pasca Bali terkena banjir bandang, Rabu (10/9).
Salah satu dari hulu yang harus dikerjakan secara serius jika benar Sad Kerthi sebagai program andalan maka harus dimulai dari Wana Kerthi.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif mengatakan, saat ini hutan DAS Ayung tersisa sekitar 1.500 hektare yang masih ditumbuhi pepohonan, atau sekitar 3 persen dari total luas sekitar 49.500 hektare hutan.
Kondisi itupun membuat Gubernur Bali Wayan Koster merasa kaget sebagaimana ungkapan Menteri LH Hanif Faisol.
Ia juga menambahkan, dari total 49.500 hektar lahan, setidaknya 30 persen perlu ditanami kembali sebagai kawasan hutan. Selain itu, perlu dipadukan dengan perkebunan bernilai ekonomis sesuai tipologi masyarakat.
"Ya hutan Bali harus diperbaiki total. Karena dari sana hulunya. Pemerintah harus berani melakukan. Pengembalian fungsi hutan apapun risikonya. Itu hulu dari semua masalah manusia saat ini di Bali," tegas GPS di Denpasar, Kamis (9/10).
Begitu juga, tindakan nyata dari penegakan hukum tidak pandang bulu, pemulihan dan penghutanan kembali hingga pendidikan bangun kesadaran.
Diharapkan, tanami pohon - pohon yang bisa menahan air dan cepat besar. Jangan yang bernilai ekonomis. Alihkan pekerjaan warga yang nyawen dengan pekerjaan lain dan babat kebun - kebun ilegal yang terus bertambah setiap tahun ganti dengan pohon - pohon isi hutan.
"Pecat semua petugas kehutanan yang kong kali kong selama ini," tegasnya.
Setelah itu lepasliarkan binatang - binatang buas dan bangun ekosistem rantai makanan alami.
Semua itu, perlu disiapkan dalam APBD dan sekaligus minta bantuan di APBN. "Sayangnya saya dengar anggaran di APBD untuk kehutanan sangat sedikit. Yaah kadang semangat di slogan tidak sejalan dengan kenyataan dalam kebijakan," bebernya.
GPS juga menambahkan, program Wana Kerthi terkhusus penataan hutan - hutan lindung akan mulai dianggarkan di tahun 2026 mendatang.
Hal itu disampaikan Gubernur Bali Wayan Koster menanggapi pernyataan pihaknya di medsos dan dimuat diberbagai media massa soal kebijakan Wana Kerthi.
Dalam komunikasi langsung dengan Gubernur via WA Call, Koster menjelaskan tahap awal akan dimulai dari DAS Tukad Badung, Tukad Ayung, Tukad mati dan lainnya.
Selain itu, Koster mengatakan akan mengajak partisipasi masyarakat untuk bergotong - royong menyelamatkan hutan di Bali.
"Saya juga menyampaikan agar hutan-hutan di seluruh Bali harus diprioritaskan segera dipulihkan. Sebab itu hulu dari semua permasalahan di Bali," ungkapnya.
Dari ancaman bencana, suplai air bersih, suplai air pertanian, suplai air untuk pariwisata termasuk peningkatan kualitas oksigen, penyelamatan habitat ekosistem alam dan lainnya.
Bahkan untuk daerah daerah kritis bisa meniru Thailand dimana batu dari aneka buah buahan di waktu yang tepat menjelang musim hujan dan saat musim hujan di taburkan sebanyak mungkin di daerah daerah tandus. Sehingga berpotensi tumbuh dan mampu bertahan karena tumbuhan awal masih disuplai makanan dari batu buah tersebut sebelum tembus akar.
Kemudian di daerah daerah hutan program penanaman bibit pohon diusahakan tidak bernilai ekonomi tinggi tetapi memiliki fungsi menyerap air kedalam tanah.
Di sisi lain tentu diperlukan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum di Bali untuk menangkapi perusak hutan sekaligus oknum pejabat yang terlibat.
Sebab saat ini Bali sudah darurat hutan sehat. "Percayalah hutan rusak maka kehidupan manusia penghuni pulau Bali ini juga akan selalu dalam ancaman bencana. Ayo peduli hutan agar hidup lebih nyaman dan tenang," ungkapnya.
Sementara itu, Pemerhati Lingkungan IGN Wiranatha mengatakan salah satu parameter dalam menjaga keseimbangan ekologis dan fungsi "daya dukung" lingkungan, secara ideal perlu ditopang oleh kawasan lindung minimal 30 persen dari luas wilayah.
Ketegasan penetapan dan penerapan kawasan lindung di Bali menjadi suatu yang sangat esensial, walaupun dalam kondisi dilematis ditengah pesatnya dinamika pembangunan.
Hal itu mengingat posisi dan keadaan geografis Pulau Bali yang dari segi neraca air termasuk daerah kritis air, dan dari segi bentang alam sebagian besar daerahnya bergelombang hingga bergunung yang rentan longsor, banjir dan kekeringan.
Bila pihaknya telusuri 'political will' yang termuat dalam Perda RTRWP Bali dari periode ke periode terkait rencana pengembangan kawasan lindung.
Dalam Perda RTRWP Bali No 16/2009 yakni: 1) Rencana pengembangan kawasan lindung yang dapat dipetakan seluas 31,2 persen; 2) Data tersebut berasal dari kawasan hutan yang sebagai kawasan lindung sekitar 21 persen; 3) Dan di luar kawasan hutan sebagai kawasan lindung sekitar 10 persen.
Perda RTRWP Bali No 3/2020 yakni 1) Rencana kawasan peruntukan lindung yang dapat dipetakan seluas 23,09 persen; 2) Data tersebut berasal dari kawasan hutan yg sebagai kawasan lindung sekitar 21 persen; 3) Dan di luar kawasan hutan sebagai kawasan lindung sekitar 2 perse
Perda RTRWP Bali No 2/2023 yakni 1) Dalam Perda ini tidak disebut secara tegas persentase rencana pengembangan kawasan lindung yang dapat dipetakan; 2) Kawasan lindung yang sudah pasti datanya berasal dari kawasan hutan sekitar 21 persen terdiri dari hutan lindung sekitar 17 ℅ dan kawasan hutan konservasi sekitar 4 ℅ yaknu Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya (Tahura); 3) Kawasan lindung diluar kawasan hutan seperti wilayah DAS (sempadan sungai dan sempadan jurang), daerah resapan air, jalur hijau, ruang terbuka hijau, sempadan pantai dan lainnya belum tegas disebut luasnya.
Dari kebijakan tersebut tercermin adanya penurunan dan ketidaktegasan dalam menyikapi keberadaan kawasan lindung untuk menjaga keseimbangan ekologis dan fungsi "daya dukung" lingkungan dalam pengendalian dan penyelamatan lingkungan di Bali.
"Kawasan lindung di Bali sudah saatnya dipikirkan kembali secara kuantitas dan kualitas fungsinya," kata Wiranatha di Dnepasar, Kamis (9/10).
Tidak cukup mengandalkan kawasan lindung yang hanya berasal dari dalam kawasan hutan tanpa dibarengi penegasan di luar kawasan hutan.
Oleh karena, dalam kawasan hutan sudah mulai adanya sentuhan budidaya perhutanan sosial dan jenis kerjasama pemanfaatan lainnya.
Memperhatikan keberadaan kawasan lindung terkait bencana banjir yang terjadi di Bali pada 10 September 2025 dan terlepas dari faktor alam, suatu pertanda belum optimalnya pengelolaan DAS.
Padahal dua institusi pusat yang ada di daerah sebagai "pendamping penjaga DAS" yakni BWS Bali-Penida (Kementerian PUPR) dan BPDAS Unda-Anyar Bali (Kementerian Kehutanan) se-olah-olah tidak mampu berbuat banyak dan/atau karena mungkin Pemerintah Daerah Prov/Kab/Kota selaku tuan rumah "pemilik DAS" tidak tegas menerapkan sempadan sungai, sempadan jurang, daerah resapan air dll pada DAS sebagai kawasan lindung.
"Semoga menjadi perhatian bersama para pengambil kebijakan, rahayu," pungkasnya. (GAB/001)