Oleh Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA., CIRR.
Transformasi pariwisata Bali harus dilakukan secara menyeluruh dan tegas, bukan sekadar memperbaiki tampilan luar. Bali wajib membatasi jumlah wisatawan, menata ulang distribusi destinasi, memperkuat penegakan zona hijau, serta menerapkan pajak lingkungan dan insentif bagi pelaku wisata lestari.
Semua pihak pemerintah, industri, komunitas harus bergerak bersama tanpa saling menyalahkan. Hanya lewat perubahan radikal dan kolaboratif, Bali mampu kembali menjadi simbol destinasi dunia yang indah, adil, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Gerakan transformasi ini memberi peluang bagi akademisi dan pemangku kebijakan untuk membangun model pariwisata berbasis keberlanjutan, riset, dan keadilan sosial, menjadi teladan destinasi Asia di masa depan.
Bali sedang berada di ambang krisis identitas: destinasi yang dulu diagung-agungkan sebagai ‘pulau surga’ kini hanya menjadi ‘pabrik turis massal’ yang mencengkeram sumber daya tanpa ampun.
Pemerintah dan elite pariwisata terlalu lama terbuai angka kunjungan dan pemasukan, lupa bahwa keberlanjutan ekologi dan budaya adalah pondasinya.
Penumpukan wisatawan di spot-spot elitis seperti Canggu, Seminyak, atau Kuta membuat Bali bagaikan “tiket masuk ke demonstrasi kehancuran lingkungan”: polusi plastik, macet parah, air tanah menipis, dan benturan sosial makin nyata, namun aksi tegas hampir tak pernah terdengar selain retorika.
Jika ingin menyelamatkan masa depan pariwisata, Bali harus “berani menolak wisatawan berlebih” dengan kebijakan kuota, pembatasan pembangunan, dan pajak lingkungan progresif. Sudah saatnya Bali berhenti jadi ‘korban kapitalisme turisme’ dan menegaskan dirinya sebagai destinasi dengan prinsip carrying capacity yang tegas; jika tidak, maka pulau ini akan segera digeser dari peta ikon wisata dunia oleh destinasi yang lebih visioner.
10 Destinasi Terbaik di Asia Versi Readers’ Choice Awards 2025 & Total Scorenya: Pulau terbaik di Asia 2025 menurut Condé Nast Traveler, lengkap dengan total skor perolehan yang jadi bahan evaluasi Bali.
Dinamika kompetisi keindahan pulau-pulau di Asia tahun 2025 dan menjadi refleksi mendalam tentang posisi Bali yang kini tertinggal. Tahun ini, panggung keindahan pulau Asia diguncang oleh kemenangan Phu Quoc, Vietnam, dengan total skor menakjubkan 94,6.
Keindahan alami, tata kelola pariwisata yang progresif, dan peningkatan fasilitas menempatkan Phu Quoc sebagai magnet wisatawan Asia dan dunia, menggeser dominasi Bali yang selama ini menjadi ikon pariwisata tropis dunia. Tradisi juara yang dulu disandang Bali kini berpindah ke pulau-pulau yang lebih visioner dalam menjaga keseimbangan alam dan budaya.
Langkawi (92,1) di Malaysia dan Koh Samui (91,4) di Thailand menampilkan daya tarik gaya hidup berkelanjutan, sementara Palawan (91,0) di Filipina dan Jeju (90,7) di Korea Selatan mempersembahkan perpaduan eksotisme dan keramahan lokal yang luar biasa.
Bali, yang tahun-tahun sebelumnya selalu nomor satu, harus puas di peringkat keenam dengan skor 89,8 pertanda jelas bahwa transformasi pengelolaan destinasi menjadi prasyarat jika ingin merebut kembali kejayaan.
Masalah Tata Kelola dan Overtourism Bali: Fakta di lapangan memperkuat argumen bahwa Bali terjerembab dalam jebakan overtourism, tercermin dari lonjakan wisatawan pascapandemi (6,3 juta internasional di 2024, naik 19,4%) dan terus meningkat tajam pada 2025.
Namun, distribusi turis terlalu terpusat di kawasan tertentu, sementara kemacetan, eksploitasi air, dan limbah plastik makin parah. Pembangunan ilegal vila dan guesthouse tanpa kontrol, kehadiran usaha asing yang memperparah kebocoran ekonomi, serta lemahnya pengawasan dan penegakan aturan hanya mempercepat degradasi destinasi, bukan memperbaikinya.
Perlu Perubahan Radikal: Solusi tambal sulam tidak lagi cukup. Bali harus “membatasi turis secara tegas”, mendorong diversifikasi destinasi, memperkuat tata kelola lingkungan, mengefektifkan penegakan hukum zonasi, dan mengadopsi pajak lingkungan serta sistem insentif bagi pariwisata lestari.
Hanya dengan cara radikal seperti ini, Bali akan mampu mengangkat kembali reputasinya sekaligus memberi teladan untuk destinasi lain di Asia. Kejadian ini bisa menjadi momentum penting bagi akademisi, pengambil keputusan, dan praktisi pariwisata Bali untuk mendorong advokasi tata kelola berbasis “carrying capacity”, menata ulang sistem insentif, serta menjadikan riset kebijakan sebagai landasan inovasi destinasi berkelanjutan.
Pengetahuan dan analisis kritis akan menjadi alat perubahan yang nyata bagi Bali dan pulau-pulau lain yang mulai menghadapi ancaman overtourism yang sama.
Bali tak lagi Istimewa: Fakta di atas menunjukkan bahwa Bali tidak lagi punya kemewahan untuk sekadar berbenah tanpa keberanian mengambil keputusan radikal. Di era ketika setiap detik puluhan ribu wisatawan 'dihisap' ke pusat-pusat turisme elit, pulau ini justru kian kehilangan identitasnya sebagai surga budaya dan alam tropis. Pulau Dewata sedang di ambang menjadi 'korban kapitalisme pariwisata', di mana keuntungan jangka pendek lebih diprioritaskan daripada keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan masyarakat asli.
Pembatasan tegas terhadap jumlah wisatawan melalui kuota, sistem reservasi digital di destinasi padat, dan pajak lingkungan progresif adalah keniscayaan, bukan sekadar opsi. Pemerintah dan pelaku industri harus menghentikan ekspansi bebas pembangunan, menegakkan hukum terhadap vila dan guesthouse ilegal, serta mengalihkan konsentrasi wisatawan ke wilayah Bali Utara, Timur, dan Barat melalui insentif dan pengembangan infrastruktur.
Investasi pendapatan pariwisata pada pengelolaan limbah dan air wajib dipercepat, sambil menguatkan sistem desa wisata berbasis komunitas. Pendekatan “carrying capacity” mesti menjadi prinsip utama, bukan jargon yang hanya terdengar baik di seminar-seminar. Jangan semua urusan diserahkan kepada masyarakat. Masyarakat kita sudah terlalu sibuk dengan dirinya untuk merebut sesuap nasi dan kebutuhan lainnya yang tidak akan dipenuhi oleh pemerintah.
Kesadaran dan edukasi wisatawan, penegakan aturan perilaku di area publik, serta pengawasan transportasi dan pelayanan pariwisata yang adil bagi warga lokal harus dijalankan konsisten jika Bali tak ingin semakin terpuruk di tengah kompetisi Asia yang makin dinamis.
Jika Bali ingin tetap relevan dan pantas menyandang identitas “Pulau Dewata”, pulau ini harus menjadi pelopor regulasi pariwisata berbasis keberlanjutan, bukan pengikut tren overdevelopment yang merusak miliknya sendiri.
Momentum transformasi dan advokasi kritis ini mesti dijadikan peluang bagi akademisi, pengambil keputusan, dan praktisi pariwisata Bali untuk membangun aliansi reformis, memperkuat basis penelitian kebijakan, serta menjadikan praktik berkeadilan dan inovasi tata kelola sebagai standar baru.
Jika berhasil, Bali bukan hanya mampu menyelamatkan dirinya, tetapi juga memberi inspirasi dan model utama bagi destinasi lain di Indonesia, bahkan Asia, dalam menghadapi tantangan overtourism dan erosi identitas.
*) Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA., CIRR., Guru Besar Bidang Manajemen Bisnis Pariwisata, dan Rektor Universitas Dhyana Pura, Badung, Bali.