Polemik Ruang Publik Disewa Hotel, Wakil Ketua II DPRD Badung Desak BPKAD Buka Dokumen Kontrak Penyewaan untuk Diverifikasi secara Terbuka
Admin - atnews
2025-10-13
Bagikan :
Wakil Ketua II DPRD BaduWakil Ketua II DPRD Badung, I Made Wijaya, I Made Wijaya (ist/Atnews)
Badung (Atnews) - Isu penyewaan ruang publik di Kabupaten Badung kembali menuai perhatian serius. Praktik penyewaan lahan publik kepada pihak swasta, khususnya di kawasan pesisir yang kini dimanfaatkan oleh Hotel Sakala di Tanjung Benoa, menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan hilangnya akses ke area pantai yang seharusnya terbuka untuk umum.
Dalam percakapan melalui pesan WhatsApp bersama awak media, Wakil Ketua II DPRD Badung, I Made Wijaya, SE., yang juga Bendesa Adat Tanjung Benoa menyampaikan pandangan tegasnya mengenai perlunya transparansi dan keterlibatan otoritas adat dalam setiap kebijakan penyewaan ruang publik.
Menurutnya, pantai dan kawasan publik bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas dan ruang hidup masyarakat adat yang harus dijaga bersama.
Ia menilai, tindakan pihak hotel yang menanam pohon dan memasang pembatas di area publik telah membatasi akses masyarakat ke pantai dan menimbulkan ketidaknyamanan di tengah warga.
"Kami tidak menolak investasi. Namun pemerintah harus melibatkan desa adat dan masyarakat dalam setiap keputusan yang menyangkut ruang publik. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal hak dan identitas masyarakat adat," tegasnya.
Made Wijaya juga menyoroti pentingnya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah daerah dan otoritas adat agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan kesalahpahaman di lapangan.
Transparansi, menurutnya, menjadi kunci agar publik memahami dasar hukum dari setiap kerja sama atau perjanjian penyewaan yang dilakukan pemerintah.
Pada kesempatan tersebut, Made Wijaya mendesak agar Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Badung membuka dokumen kontrak penyewaan untuk diverifikasi secara terbuka.
Made Wijaya juga meminta pihak Hotel Sakala menunjukkan bukti legalitas hak sewa yang mereka miliki sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum kepada masyarakat.
Dengan demikian, pihaknya juga sebagai Bendesa Adat Tanjung Benoa mengirim surat kepada Management Hotel The Sakala dengan Nomor: 95/PDP-TB/X/2025 pada tanggal 10 Oktober 2025.
Surat yang dilayangkan ke pihak Hotel RlThe Sakala untuk meminta surat perjanjiannya dengan Pemda Badung (BPKAD).
"Kami ingin tahu apa dasar hukum mereka menutup akses dan menanam pohon di area publik. Kalau memang disewa resmi, tentu harus ada batas dan ketentuan yang jelas," tambahnya.
Made Wijaya menegaskan kembali pentingnya kehadiran desa adat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan ruang publik. Pemerintah daerah diharapkan lebih terbuka dan menghormati peran adat sebagai mitra dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan, investasi, dan hak masyarakat.
Menurut Made Wijaya, ruang publik tidak boleh dikuasai sepihak oleh pihak swasta. Untuk itu, Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tetap menjamin akses masyarakat dan menghormati hak-hak tradisional yang telah ada jauh sebelum adanya investasi modern. (WIG/001)