Banner Bawah

Angka Pengangguran Tinggi, Kampus Bukan Kambing Hitam Tapi Ekosistem Kerja yang Tertidur Pulas

Admin - atnews

2025-10-16
Bagikan :
Dokumentasi dari - Angka Pengangguran Tinggi, Kampus Bukan Kambing Hitam Tapi Ekosistem Kerja yang Tertidur Pulas
Ilustrasi (ist/Atnews)

Oleh Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA., MOS., CIRR., Rektor Universitas Dhyana Pura, Badung, Bali
 
Tak kuliahpun mereka mungkin tetap menjadi pengagguran karena peluang pekerjaan memang sangat terbatas bahkan tidak tersedia lagi. Perguruan tinggi tak pantas dijadikan kambing hitam atas melonjaknya pengangguran lulusan, karena kurikulum dan uji kompetensi mereka sudah memenuhi KKNI dan SN-DIKTI, bahkan disusun bersama industri dan asosiasi profesi untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. 

Ironinya, kegagalan lulusan terserap bukan karena lemahnya kompetensi, melainkan karena ekonomi yang mandek dan lapangan kerja yang stagnan. Negeri ini bukan kekurangan SDM terampil, tetapi kekurangan ruang untuk menyalurkan kompetensi mereka akibat minimnya inovasi, investasi, dan kebijakan yang justru menumpuk regulasi tanpa membuka kesempatan. Jika pemerintah serius ingin menekan pengangguran, bukan kampus yang harus dirombak, melainkan ekosistem kerja yang harus dibangunkan dari tidur panjang birokrasi.
 
Melihat dengan kacamata yang benar: Dimensi kacamata masyarakat biasa, melihat telah terdapat ketimpangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi yang terus membanjiri bursa kerja dan keterbatasan lapangan pekerjaan layaknya paradoks besar yang melanda Indonesia hari ini. Gambaran ketimpangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dan peluang kerja yang sangat terbatas menjadi potret satir sekaligus alarm sosial yang menggedor nurani: ribuan, bahkan jutaan anak muda, telah berjuang sejak dini, mendaki mimpi melalui jalur pendidikan tinggi, hanya untuk menemukan realitas pahit tempat kerja yang memungkinkan bagi mereka justru semakin sempit.​

Generasi kita di Balik Statistik: Di balik angka statistik ada kisah manusia: mahasiswa yang berjuang merantau, orang tua yang menaruh harapan, barisan pemuda yang bekerja keras demi gelar. Pada tahun 2025, Indonesia memiliki sekitar 1,85 juta lulusan sarjana baru setiap tahunnya, namun lebih dari satu juta sarjana terjerembab dalam status pengangguran, menjadi bagian dari 7,28 juta total pengangguran nasional. Mereka bukan sekadar deretan angka di tabel BPS, melainkan generasi yang dipenuhi keresahan, cemas menghadapi masa depan, dan terpaksa menelan kenyataan bahwa ‘ijazah’ bukanlah jaminan pasti untuk memperoleh pekerjaan.​

Apakah Kita Sedang “Membodohi” Harapan Anak Bangsa?: Sungguh ironis, di era kampanye “Indonesia Emas 2045,” ratusan ribu lulusan universitas justru terjebak dalam limbo pencarian kerja tanpa ujung. Kampus menjadi pabrik ijazah, mencetak lulusan dalam volume yang tak pernah dibayangkan generasi sebelumnya, tapi tanpa ‘saringan’ yang jelas di dunia kerja. Cita-cita mulia Pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa terancam berubah jadi “kecerdasan semu” yang tak terpakai, jika ribuan sarjana akhirnya terlempar menjadi driver transportasi online, penjaja di warung kopi, bahkan masuk dalam lingkaran pengangguran terdidik yang menghabiskan waktu di rumah.​

Apa yang Salah dengan Sistem?: Peningkatan pengangguran lulusan perguruan tinggi bukan semata kesalahan kampus, sebab kurikulum dan uji kompetensi sudah berstandar KKNI dan SN-DIKTI, disusun bersama industri dan asosiasi profesi. Namun, realitasnya, lapangan kerja yang sesuai bidang keilmuan sangat terbatas; banyak lulusan akhirnya terpaksa bekerja di sektor yang tak relevan dengan jurusannya dan secara tidak adil dicap tidak kompeten. Peringatan ini bukan keluhan ini tuntutan moral bagi pemerintah dan dunia pendidikan untuk jujur mengevaluasi diri. 

Data BPS Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka lulusan perguruan tinggi mencapai 6,23 persen, lebih tinggi dari lulusan SMA, sementara 80 persen lulusan bekerja di luar bidang studinya. Ini menunjukkan bahwa persoalan bukan pada mutu lulusan, melainkan pada stagnasi industri, minimnya dialog kampus–industri, serta magang yang sering sekadar formalitas tanpa pembinaan nyata. Negara harus berhenti menyalahkan perguruan tinggi dan mulai membuka jalan bagi tumbuhnya industri baru, inovasi, dan lapangan kerja yang benar-benar relevan bagi generasi terdidik.

Ketimpangan Itu Nyata: Lihatlah bagaimana satu sisi timbangan sarat oleh lulusan universitas yang berdesakan seolah berebut sekeping harapan. Di sisi lain, lapangan pekerjaan yang diburu jutaan lulusan terasa stagnan, bahkan menyusut dihantam gelombang PHK dan disrupsi teknologi. Lebih menyakitkan lagi, Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lain soal proporsi penduduk sarjana: hanya sekitar 10–18% penduduk muda yang memiliki gelar perguruan tinggi, jauh di bawah Korea Selatan yang mencapai 69%. 

Namun ironi besarnya, semakin tinggi pendidikan, semakin gelap harapan kerja: lulusan tinggi justru rentan menganggur.​

Dendangan Pahit di Era Serba Digital: Arus digitalisasi dan kemajuan teknologi menyebabkan banyak pekerjaan konvensional lenyap atau tergantikan oleh mesin dan AI. Banyak sarjana terjebak pada “mismatch” kompetensi tak sesuai permintaan industri, keterbatasan soft skill, minim jejaring, dan kegagalan kampus untuk menjadi inkubator talenta masa depan.​ Ketimpangan ini berdampak pada kegelisahan sosial yang barangkali telah kita rasakan. Mulai dari frustrasi, depresi, hingga ketidakpercayaan pada janji pendidikan. Pada akhirnya, banyak anak muda merasa “ditipu harapan” oleh sistem yang terlalu asyik berlomba-lomba membangun gedung kampus, tapi melupakan substansi: menciptakan manusia-manusia merdeka dan berdaya saing.

Harapan Tak Boleh Mati: Ketimpangan ini wajib menyulut perubahan memprovokasi pemerintah, kampus, pelaku industri, bahkan mahasiswa sendiri untuk membentuk ekosistem yang lebih inklusif dan adaptif. Kampus harus bertransformasi menjadi laboratorium inovasi, bukan sekadar pencetak ijazah. Kurikulum harus adaptif mengintegrasikan magang, mentoring, hingga inkubasi bisnis berbasis teknologi dan kebutuhan riil industri.​ Pemerintah perlu memperkuat kebijakan link-and-match, membuka lebih banyak jalur pendidikan vokasi serta investasi wirausaha muda.​ Mahasiswa perlu berani bangkit, membangun skill dan jejaring, menjemput peluang daripada menunggu.​

Penciptaan Ekosistem Pendidikan dengan Hilirisasi Tenaga Kerja yang Siap Kerja: Serangkaian saran dan rekomendasi ini menjadi panggilan moral sekaligus arah strategis bagi seluruh pemangku kepentingan dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.

Pemerintah dan pembuat kebijakan perlu membangun kebijakan link and match nasional yang berbasis data kebutuhan tenaga kerja di tiap wilayah, mendorong investasi industri baru serta ekonomi digital, memberikan insentif bagi perusahaan mitra kampus, dan mengembangkan sistem tracer study nasional terpadu untuk menilai efektivitas pendidikan tinggi terhadap dunia kerja. 

Perguruan tinggi dan asosiasi pendidikan dituntut bertransformasi dari sekadar production center menjadi innovation hub yang melatih mahasiswa berkreasi, berinovasi, dan mandiri melalui kurikulum adaptif berbasis proyek, kewirausahaan, serta kolaborasi aktif dengan industri, pemerintah daerah, dan alumni. 

Dunia industri dan dunia usaha diharapkan ikut berperan aktif dalam penyusunan kurikulum, membuka peluang magang dan sertifikasi, serta melahirkan model rekrutmen berbasis kompetensi dan potensi inovasi yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman. 

Sementara itu, mahasiswa dan lulusan perlu membangun mental self-agency, memperkuat soft skill, jejaring, dan literasi digital, serta memupuk keberanian untuk menciptakan nilai dan peluang sendiri. Hanya melalui sinergi keempat elemen inilah ekosistem pendidikan tinggi Indonesia dapat bergerak menuju arah yang inklusif, adaptif, dan berdaya saing, menjadikan generasi muda bukan sekadar pencari kerja, tetapi pencipta masa depan Indonesia Emas 2045. (*)
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Hari Amal Bhakti Ke-73, STAH Dorong Kualitas ASN dan Mahasiswa

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

POM MIGO KAORI

POM MIGO KAORI

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Gandhi Jayanthi, Tujuh Dosa Sosial, Ekspresi Masyarakat di Titik Nadir Etika dan Moralitas

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Perlindungan Sapi, Selamatkan Lingkungan

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif

Pemuliaan Sapi, Pendekatan Teologi, Bukti Empirik dari Pendekatan Induktif