Oleh I Gede Sutarya
Pada minggu ini, umat Hindu di India merayakan Diwali. Diwali ini dirayakan di seluruh dunia karena diaspora India yang menyebar ke seluruh dunia. Umat Hindu internasional di luar etnis India juga merayakan Diwali pada berbagai negara karena guru-guru mereka berasal dari India. Di tengah perayaan Diwali tersebut, kenapa umat Hindu etnis Indonesia tidak merayakan Diwali?
Diwali sebenarnya merupakan perayaan tahun baru Wikrama atau Wikrama Samwat yang kini sudah memasuki 2082. Perayaan ini jatuh pada Bulan Asvina-Kartika (Oktober-Nopember) di mana pada Suklapaksa (paro terang) 1 Kartika merupakan tahun baru. Perayaan Diwali dimulai dua hari sebelum Amasya (Tilem/Bulan Mati).
Perayaan ini berlangsung selama lima hari untuk memuja Panca Dewata, yang biasa dilakukan umat Hindu. Karena itu, perayaan ini berakhir pada Suklapaksa 2 Kartika.
Perayaan cahaya ini dimuat dalam purana-purana Hindu seperti Skanda Purana dan purana-purana yang lainnya sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Mitologi yang melandasi Diwali ini berbeda-beda di India. Di India utara, mitologinya berasal dari kembalinya Shri Rama ke Ayodhya, sedangkan di India tengah berdasarkan mitologi kemenangan Shri Krishna melawan raksana Narakasura. Diwali di India hampir dirayakan seluruh masyarakat India (terutama India utara dan tengah) yang menganut berbagai agama seperti Buddha, Jaina dan Sikh dengan berbagai versinya.
Beberapa sumber menyebutkan masyarakat India selatan dan Timur, masih relatif baru merayakan Diwali. Orang-orang India selatan dan timur merayakan Diwali tetapi tidak semeriah orang-orang India utara karena mereka tidak merayakan Diwali secara tradisi. Komunikasi budaya pada era modern ini yang menyebabkan mereka mengenal perayaan Diwali secara lebih merata di seluruh India, sebab mereka menggunakan tahun yang berbeda dengan India utara.
Umat Hindu etnis Indonesia tidak merayakan Diwali, dapat ditelusuri dari pengaruh-pengaruh India selatan dan timur ini. Prasasti-prasasti awal Hindu di Indonesia (4-7 Masehi) menunjukkan persebaran orang-orang Pandya dan Chola (Tamil Nadu sekarang) ke Indonesia. Prasasti-prasasti yang menggunakan tahun selalu merujuk Tahun Saka.
Karena itu, umat Hindu etnis Indonesia memiliki tahun baru yang berbeda, yaitu Tahun Baru Saka yang jatuh pada Suklapaksa 1 Caitra, yang dirayakan pada sekitar Maret-April.
Perayaan Tahun Baru Saka atau yang disebut perayaan Chaitra ditemukan keterangannya pada Nagarakertagama, sehingga dapat dijelaskan bahwa Majapahit pada abad ke-13 – 15 Masehi merayakan Tahun Baru Saka pada bulan Chaitra.
Karena itu, umat Hindu etnis Indonesia berasal dari tradisi agama Hindu yang berbeda dengan asal-usul perayaan Diwali yang berasal dari India utara.
Perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma di Indonesia seperti makna Diwali lebih mengikuti perayaan Nawaratri yang lebih populer di India tengah dan selatan seperti Mumba.
Perayaan ini di India dilakukan setahun dua kali pada sekitar Maret dan September mengikuti kalender Lunar-solar. Di Indonesia (Bali) lebih dikenal Galungan-Kuningan yang dilakukan dua kali setahun dengan menggunakan Kalender Wuku yang merupakan asli Nusantara.
Fokus pemujaan Nawaratri dan Galungan sama yaitu pemujaan terhadap Durga, sebab Galungan berasal dari mitologi cerita Jayakusunu yang mendapatkan perintah dari Dewi Durga untuk merayakan Galungan. Peninggalan ini menunjukkan perbedaan asal-usul umat Hindu etnis Indonesia dengan asal-usul perayaan Diwali. Karena itu, umat Hindu etnis Indonesia tidak merayakan Diwali.
Perbedaan tradisi ini biasa dalam tradisi Hindu, sebab Hindu menaungi berbagai etnis di India dan luar India. India sendiri memiliki berbagai tradisi yang berbeda pada setiap bagian India. Indonesia juga memiliki banyak tradisi Hindu, seperti tradisi Bali, Kaharingan, Batak Karo dan Jawa.
Karena itu, Hindu sudah terbiasa berada dalam perbedaan, sebab telah menemukan kebijaksanaan dalam perjalanan tradisi yang panjang. Kalau ada yang bertanya kenapa Hindu berbeda tradisi sesama Hindu maka jawabannya adalah begitulah Hindu yang berbeda dengan agama-agama lainnya.
*) Prof.Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag, Guru Besar Pariwisata Spiritual dan Religious Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar