Oleh Jro Gde Sudibya
Keren, upaya konservasi Terumbu Karang di krisis iklim dewasa ini, bentuk nyata kepedulian masyarakat pencinta lingkungan, dimana penegakan etika lingkungan menjadi wajib dan penting, kalau manusia tidak ingin menderita berkepanjangan dan kemudian punah. Merujuk pendapat Sekjen PBB Antonio Guterres yang mengatakan: "krisis iklim mengantar manusia menuju jalan tol neraka iklim".
Peringatan ini memberikan signal, jika komunitas manusia terus abai terhadap kelestarian alam, kepunahan bumi beserta penghuninya menjadi persoalan waktu saja (as a maters of time).
Peringatan yang sangat relevan terhadap penyelamatan lingkungan alam Bali, pasca SEPTEMBER KELABU, merujuk Banjir Bandang yang menerjang Bali 10 September 2025. Upaya normalisisasi sungai menjadi kebutuhan yang mendesak, tampaknya tidak dilakukan dalam prilaku kekuasaan yang "memuja" pencitraan.
Buleleng, nama otentiknya Den Bukit, punya garis pantai dan Bukit terpanjang di Bali, upaya konservasi Terumbu Karang merupakan "momenth of truth" untuk penyelamatan lingkungan, dan mendorong lebih jauh setiap upaya peningkatan kegiatan ekonomi yang bersahabat dengan lingkungan (environmental friendly eco tourism).
Menyejarah, Desa Bondalem dalam sejarahnya berasal dari kosa kata otentik Kebon Dalem, wilayah hutan pesisir pantai di bawah Alas Metaun, di bagian Barat Tejakula (insan-insan manusia "bersinar) tempat berburu raja Sri Aji Jayapangus, raja besar Bali di era Bali Mula.
Mewariskan sistem keyakinan, pemujaan Tuhan dengan simbol (ampura) Ida Bhatari Ratu Ayu Mas Subandar, cakti Tuhan penguasa laut dan pengaturan Kesahbadaran (pelabuhan laut). Sistem keyakinan yang lestari sampai kini, bisa disimak dalam banyak "jejer kemiri pura" tidak saja di kawasan pantai Bali, dan juga di kawasan utama mandala perdesaan Bali Pegunungan.
*) Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan lingkungan.