Suasta; Pemprov Bali Ragu, Investor "Duluan Terbang" daripada Pesawat Bandara Bali Utara
Admin - atnews
2025-11-12
Bagikan :
Pengamat Kebijakan Publik Putu Suasta (ist/Atnews)
Denpasar (Atnews) – Polemik pembangunan Bandara Internasional Bali Utara kembali terus diperbincangkan publik. Proyek strategis tersebut telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 itu justru terhambat oleh kebingungan birokrasi di tingkat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.
Plt. Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, Nusakti Yasa Weda, menyebut bahwa Perpres 12/2025 tidak secara eksplisit menetapkan lokasi pembangunan bandara baru. Menurutnya, penentuan lokasi masih harus mengikuti kajian teknis dan aturan perundangan yang berlaku, termasuk standar International Civil Aviation Organisation (ICAO).
Namun, pernyataan tersebut langsung menuai kritik tajam. Pengamat Kebijakan Publik Putu Suasta yang juga Pendiri LSM JARRAK dan Yayasan Wisnu menilai pernyataan itu menunjukkan lemahnya kemampuan Pemprov Bali memahami dokumen kebijakan nasional.
“Perpres 12/2025 sudah jelas mencantumkan pembangunan Bandara Internasional Bali Baru/Bali Utara. Tidak ada ruang tafsir baru yang membuka kemungkinan pemindahan lokasi,” tegasnya.
Suasta menekankan bahwa dalam semangat perencanaan nasional, proyek ini merupakan simbol pemerataan pembangunan antara Bali Selatan yang padat dan maju dengan Bali Utara yang tertinggal secara infrastruktur.
“Bappenas sudah mengunci arah pembangunan kewilayahan. Kalau Pemprov masih menafsir ulang, itu sama saja melawan semangat Perpres,” ujarnya.
Pernyataan Nusakti yang menyebut lokasi bandara masih bersifat “arahan” dinilai menimbulkan ketidakpastian baru. “Ini bisa merusak kepercayaan investor,” lanjut Suasta. “Kita bicara proyek bernilai triliunan rupiah. Siapa yang mau menanamkan modal kalau arah kebijakannya kabur?," tanyanya.
Padahal, sejak 2020 sejumlah investor dari Kanada dan Tiongkok sudah menyatakan minat membangun bandara di wilayah Kubutambahan, Buleleng. Studi geoteknik dan survei lahan juga pernah dilakukan. Namun tarik-menarik kepentingan di tingkat daerah membuat proyek tersebut tak kunjung terealisasi.
Dalam Lampiran IV Perpres 12/2025, arah pembangunan kewilayahan Bali sudah disusun secara komprehensif. Dokumen itu mencantumkan proyek bandara baru, tol konektivitas, dan penguatan jaringan transportasi massal sebagai bagian integral dari koridor pembangunan Bali Utara.
“Kalau pejabat bilang belum ada lokasi, artinya mereka tidak memahami makna ‘arah kewilayahan’ dalam kebijakan nasional,” sindir Suasta.
Selama dua dekade terakhir, pembangunan di Bali memang cenderung terkonsentrasi di selatan — Denpasar, Badung, dan Gianyar — yang menyumbang sekitar 87% PDRB Bali. Sementara Bali Utara hanya menyumbang 8%. Karena itu, bandara baru di utara bukan hanya soal infrastruktur, tetapi langkah pemerataan ekonomi dan sosial.
Ketidakpastian sikap Pemprov Bali kini menimbulkan pertanyaan serius di publik: apakah pemerintah daerah benar-benar memahami posisi strategis proyek nasional ini, atau justru terjebak dalam tarik-menarik politik?
Suasta menutup komentarnya dengan peringatan keras: “Jika Pemprov Bali terus bersikap ragu, maka yang lebih dulu terbang bukan pesawat, tapi investor dan kepercayaan publik. Bandara Bali Baru seharusnya menjadi simbol keadilan wilayah, bukan korban kebingungan birokrasi.” (GAB/001)