Banner Bawah

Kuningan, dari Drama menuju Aksi Nyata

Admin - atnews

2025-11-27
Bagikan :
Dokumentasi dari - Kuningan, dari Drama menuju Aksi Nyata
I Gede Sutarya (ist/Atnews)

Oleh I Gede Sutarya
Hari raya Kuningan (29/11) merupakan perayaan kemenangan dharma pada hari kesepuluh atau Wijayadasami. Pada hari ini, diaturkan simbol-simbol kemenangan yang semua berwarna kuning (keemasan). Contohnya mengaturkan tamiang yang merupakan simbol pertahanan diri. 

Banten tebog merupakan bentuk-bentuk bunga yang merupakan penyambutan kemenangan, yang juga merupakan simbol yoni, tempat lingga ditancapkan sebagai simbol tercapainya segala tujuan. 

Karena itu, kuningan penuh dengan simbol-simbol kemenangan.

Kemenangan, secara historis, tak pernah terjadi pada masyarakat Bali. Sejarah awal mencatat kemenangan Warmadewa atas Bali pada 835 Masehi. Warmadewa berasal dari Sriwijaya (Kedah, Malaysia sekarang). 

Karena itu, prasasti-prasasti Bali kuno menggunakan Bahasa Melayu Kuno (Yumu Pakatau). Perseteruan Sriwijaya dengan Medang (Jawa Timur) berimbas ke Bali sehingga Dharmawangsa kemudian menaklukkan Bali pada abad ke-10 Masehi dan menempatkan Gunapriya Dharmayanti sebagai raja. 

Berikutnya Kediri mengambil Bali pada abad ke-12 Masehi. Singasari kemudian mengambil kekuasaan Bali pada abad ke 13 Masehi, yang dilanjutkan dengan Majapahit. 

Majapahit menancapkan kakinya di Bali dengan menetapkan pejabat-pejabat Jawa (Keluarga Arya) di Bali, sebab Bali tak mau tunduk dengan mudah terhadap Majapahit. 

Sejarah ini menunjukkan bahwa Bali tak pernah mencatat kemenangan.

Sejarah ini yang menyebabkan orang-orang pegunungan tak mau merayakan Galungan dan Kuningan, sebab perayaan ini dikaitkan dengan kemenangan Jawa terhadap Bali yang ditulis dalam Usana Jawa dan Usana Bali. 

Orang-orang pegunungan menolak kebudayaan Jawa, dan juga menolak brahmana Jawa, sehingga orang-orang pegunungan menggunakan pemangku sebagai pemimpin segala upacara. Pertentangan ini berlangsung sampai awal-awal terbentuknya Parisada tahun 1960-an. Parisada yang kemudian mempopulerkan Galungan dan Kuningan bagi orang-orang pegunungan.

Hal ini yang menyebabkan pertanyaan besar muncul yaitu Bali merayakan kemenangan siapa? Atau Bali hanya merayakan drama kemenangan, tetapi kenyataannya tak pernah menang. Tragis memang masyarakat pulau ini, sebab setelah Majapahit, penguasa Jawa saling berebut kuasa di Bali, yang kemudian menjadi pintu bagi penguasaan kolonial Belanda di Bali. 

Kolonial menjadi pintu bagi privatisasi tanah dan penguasaan asing terhadap sumber-sumber daya Bali, yang kemudian berlanjut pada era republik yang juga memudahkan investasi asing.

Saat ini, tanah-tanah Bali di daerah wisata, sebagian telah beralih dan orang-orang Bali sebagai buruhnya dengan upah murah, sebab upah murah adalah persyaratan kemudahan investasi asing. 

Apa yang terjadi di Bali, saat ini, adalah rentetan dari kekalahan-kekalahan yang panjang, sehingga kisahnya hampir menjadi kisah orang-orang yang kalah. Kisah itu mengemuka di daerah-daerah pariwisata yang makmur seperti Pecatu, Nusa Dua dan Serangan. 

Kisah-kisah ini muncul karena peralihan tanah-tanah Bali yang awalnya menguntungkan, dan kemudian menjadi masalah marginalisasi.

Marginalisasi seperti ini dari dulu selalu dihibur dengan drama, sebab hanya drama yang bisa memberikan harapan palsu terhadap kemenangan. 

Drama Galungan dan Kuningan, memberikan harapan kemenangan Dharma atas Adharma. Drama harapan ini membuat orang Bali malas untuk berbuat, sebab ada harapan dalam drama bahwa penyelamat akan datang. 

Pada konteks ini, agama menjadi candu masyarakat, yang membuat masyarakat malas berjuang dan hanya menggantungkan harapan.

Candu ini, bahkan dibiayai pemerintah melalui bantuan sosial (Bansos), sebab hanya dengan memberikan candu maka masyarakat tidak akan melakukan perjuangan nyata. Hal ini sebenarnya merupakan cara-cara lama dalam mengendalikan masyarakat, sebab upacara sangat efektif untuk membangun kemalasan masyarakat. 

Upacara seolah-olah dibuat menjadi jalan keluar atas semua masalah, padahal tanpa usaha nyata tak akan ada hasil yang memadai (usaha ta larapana).

Hal ini menjadi renungan bersama, apakah hari kemenangan hanya akan menjadi sekedar drama atau perlu lanjutan aksi nyata? Pembebasan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan memerlukan usaha-usaha nyata. 

Karena itu, program-program pemerintah harus didorong mengatasi hal-hal seperti itu, dan modal-modal masyarakat harus diarahkan fokus mengatasi hal-hal itu. Tanpa usaha yang nyata seperti itu, tak ada harapan Bali akan mencapai kemenangan, walaupun setiap 210 hari merayakan hari kemenangan. Selamat merenung.
 
*) Prof.Dr. I Gede Sutarya, SST.Par.,M.Ag adalah guru besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Wagub Cok Ace Minta  Anggota PHRI Bali Implementasikan  Pergub 

Terpopuler

KJPP Bungkam, Tanah Seluas 1,8 Hektar Seharga Rp 13,4 M Dinilai Rp 4,7 M di Tanah Proyek PKB Klungkung

KJPP Bungkam, Tanah Seluas 1,8 Hektar Seharga Rp 13,4 M Dinilai Rp 4,7 M di Tanah Proyek PKB Klungkung

BNPB Selesaikan Talud Darurat untuk Perlindungan Warga Ketitang Wetan, Kabupaten Pati

BNPB Selesaikan Talud Darurat untuk Perlindungan Warga Ketitang Wetan, Kabupaten Pati

Pimpinan DPRD Badung; Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

Pimpinan DPRD Badung; Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

Kemenpar–Kemenkes Perkuat Sinergi Kembangkan Wisata Kesehatan Indonesia

Kemenpar–Kemenkes Perkuat Sinergi Kembangkan Wisata Kesehatan Indonesia

Tahun 2026 APBD Badung Ditetapkan Rp 12,1 Triliyun lebih

Tahun 2026 APBD Badung Ditetapkan Rp 12,1 Triliyun lebih

Prodi HI FISIP UNSRI Gelar Career Coaching, Upaya Memperkuat Daya Saing Global Mahasiswa

Prodi HI FISIP UNSRI Gelar Career Coaching, Upaya Memperkuat Daya Saing Global Mahasiswa