Oleh Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama
“Seorang guru besar yang menjabat rektor PTS sedang gelisah melihat ruang kuliah kian sepi, laporan penerimaan mahasiswa terus menurun, sementara Generasi Z berbondong-bondong memilih bootcamp dan sertifikasi singkat yang lebih cepat memberi pekerjaan dibanding empat tahun kuliah, di saat biaya operasional kampus naik, akreditasi ditekan, PTN makin agresif merebut pasar lewat berbagai jalur masuk, dan ia terjepit di tengah: mempertahankan marwah akademik, menyelamatkan nasib dosen dan tenaga kependidikan, sekaligus mencari cara agar kampusnya tidak pelan-pelan mati dalam sunyi”.
Perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia memasuki era keemasan yang sangat unik: era di mana ruang kelas lebih sering ngobrol dengan laba-laba daripada dengan mahasiswa, dan spanduk penerimaan mahasiswa baru punya masa kerja lebih lama daripada banyak dosen kontrak. Ribuan institusi yang dulu lahir dengan mimpi mulia mencerdaskan anak bangsa, kini berlatih ilmu baru: seni bertahan hidup dengan jumlah mahasiswa yang kian menyusut. Krisis PTS sudah naik pangkat dari “isu akademik” menjadi tontonan publik tahunan, lengkap dengan drama spanduk diskon SPP dan janji “pasti lulus, asal daftar”.
Permasalahan besar PTS hari ini sesungguhnya sederhana: dunia berubah, tapi banyak kampus bersikeras hidup di masa lalu. Teknologi melesat, generasi berganti, industri berubah wajah; namun sebagian kampus masih sibuk mempersoalkan panjangnya rambut mahasiswa dan warna sepatu, seakan itulah kunci daya saing global. Di tengah revolusi digital, masih ada yang bangga karena akhirnya punya LCD projector di tiap kelas, seolah itu sudah setara dengan platform belajar daring kelas dunia.
Teknologi sebenarnya sudah dengan sopan menawarkan bantuan. Platform seperti Coursera, edX, dan berbagai sertifikasi profesional internasional membuka pintu belajar yang fleksibel, murah, dan praktis. Mahasiswa bisa belajar data science dari ahli kelas dunia sambil pakai sandal jepit di kamar kos, tanpa harus bayar biaya gedung, biaya almamater, dan biaya “pengembangan kampus” yang entah mengembangkan apa. Namun di banyak PTS, teknologi masih dianggap “tambahan”, bukan “tulang punggung”. Kuliah daring dipahami sebagai: memindahkan ceramah tiga jam ke Zoom, ditambah absensi lewat chat. Transformasi digital dipersempit menjadi pembelian aplikasi presensi sidik jari yang sering ngadat.
Lalu datang Generasi Z, makhluk digital yang lahir dengan jempol sudah terlatih untuk scroll, swipe, dan skip. Mereka menghitung hidup memakai rumus time-to-value: seberapa cepat sebuah kegiatan menghasilkan manfaat nyata. Ketika diberi pilihan antara: empat tahun kuliah dengan kemungkinan menganggur, atau enam bulan bootcamp dengan peluang kerja, banyak yang dengan santai mengucapkan terima kasih dan memilih pintu kedua.
Di mata mereka, kuliah S1 yang panjang, teoritis, penuh tugas copy-paste dari internet, terasa seperti seri drama yang terlalu banyak filler. Sementara sertifikasi singkat berbahasa Inggris, dengan label Google atau Amazon, tampak jauh lebih “keren” daripada SK Rektor tentang perubahan kurikulum yang tak terbaca.
Industri pun tidak mau ketinggalan dalam komedi besar ini. Dunia kerja sudah terang-terangan bilang: “Bawa skill, bukan hanya ijazah.” Banyak perusahaan tidak lagi terlalu peduli gelar, selama pelamar bisa menunjukkan portofolio dan kompetensi nyata. Namun jargon Link and Match tetap berkibar gagah di berbagai dokumen, seminar, dan backdrop acara penandatanganan MoU.
Kampus dan industri berfoto bersama, saling tukar plakat, lalu kembali ke rutinitas lama: kampus mengajar teori, industri merekrut lulusan yang harus dilatih ulang dari nol. Link and Match berubah menjadi Like and Watch: saling menyukai postingan di media sosial, sambil menonton ketidaknyambungan tumbuh subur.
Sementara itu, data bercerita tanpa basa-basi. Indonesia memiliki ribuan PTS, tetapi sebagian di antaranya kosong nyaris seperti museum pendidikan tinggi. Sejak 2021, pertumbuhan mahasiswa mandek, sementara jumlah kampus sudah terlanjur banyak, seperti minimarket di tiap tikungan. Pada 2023, ratusan PTS tercatat tidak menerima mahasiswa baru; mungkin bukan karena tidak mau, tapi karena tidak ada yang datang. Bonus demografi yang digadang sebagai berkah justru berubah menjadi plot twist: proporsi penduduk usia kuliah menurun, dan mereka yang masih ada memilih jalur lain di luar tembok kampus.
Dari sisi rumah tangga, keputusan kuliah sekarang lebih mirip negosiasi kredit motor daripada mimpi akademik. Biaya kuliah naik jauh lebih cepat daripada gaji, sementara inflasi ikut nimbrung meramaikan meja makan. SPP PTS yang belasan juta per semester bersaing ketat dengan cicilan rumah, kendaraan, dan kebutuhan hidup dasar. Wajar jika banyak orang tua akhirnya berkata: “Kuliah nanti saja, yang penting sekarang anak bisa kerja dulu.” Gelar sarjana turun kasta dari “tiket mobilitas sosial” menjadi “opsi kalau kondisi membaik”.
Di tengah semua itu, kualitas dan legitimasi PTS ikut memainkan peran komikalnya sendiri. Hanya sebagian kecil yang berakreditasi tinggi, sementara ratusan hingga ribuan lainnya bergantung pada status akreditasi yang membuat calon mahasiswa harus rajin bertanya “ini kampus beneran aman tidak?” Teori legitimasi institusional menjelaskan lingkaran setan ini dengan rapi, tetapi di lapangan, lingkaran itu rasanya lebih mirip spiral ke bawah: sedikit mahasiswa, sedikit uang, sedikit perbaikan, semakin sedikit mahasiswa, dan seterusnya. Pada akhirnya, ada kampus yang benar-benar ditutup pemerintah, bukan karena inovasi, tetapi karena dianggap terlalu kreatif dalam urusan ijazah dan tata kelola.
Negara, tentu saja, hadir. Tetapi lebih mirip sebagai orang tua yang sangat bangga pada satu anak (PTN), sementara anak-anak lainnya (PTS) diminta mandiri sejak dini. PTN mendapat anggaran, fasilitas, dan prestise, lalu diberi keleluasaan membuka berbagai jalur penerimaan mahasiswa. PTS diminta bersaing secara “sehat” memperebutkan sisa pasar. Ketika kemudian PTS berteriak kekurangan mahasiswa, jawabannya sering berupa imbauan, lokakarya, atau surat edaran. Baru ketika polemik memuncak, muncul kebijakan pembatasan penerimaan mahasiswa baru PTN sampai bulan tertentu, sebagai bentuk keadilan yang datang terlambat.
Namun di atas panggung satire ini, masih ada ruang harapan, meski kadang bentuknya mirip utopia. Bayangan PTS ideal digambarkan sebagai kampus industri yang lincah, digital, relevan, dan dekat dengan masyarakat. Di brosur dan Rencana Strategis, konsep co-teaching, project-based learning, apprenticeship, dan teaching factory berbaris rapi, lengkap dengan diagram panah yang meyakinkan. Di lapangan, implementasinya sering mentok di beberapa mata kuliah praktikum dan tugas kelompok yang berakhir menjadi presentasi PowerPoint. Tapi setidaknya, imajinasi itu sudah ada di atas kertas.
Digitalisasi kampus pun kerap dipromosikan sebagai jalan keselamatan. Website diperbarui, media sosial dihidupkan, dan sistem informasi akademik diganti versi terbaru. Namun pertanyaannya tetap sama: apakah ini benar-benar mengubah cara belajar dan mengajar, atau hanya mempercantik wajah birokrasi? Kecerdasan buatan digadang-gadang bisa membantu analisis pembelajaran, tetapi sering kali baru dimanfaatkan sebatas fitur auto-correct dan plagiarisme checker.
Pada akhirnya, satire terbesar mungkin justru ini: di atas kertas, semua pihak sepakat bahwa PTS penting untuk pemerataan akses pendidikan tinggi, inovasi, dan pembangunan daerah. Namun dalam praktik, banyak PTS dibiarkan berjalan pincang sendirian, sambil tetap diminta memenuhi standar akreditasi yang kian rumit. PTS diminta kreatif, adaptif, inovatif, tetapi jarang diberi ekosistem yang benar-benar mendukung keberlanjutan mereka.
Mungkin suatu hari nanti, ketika beberapa PTS benar-benar tutup, baru akan diadakan seminar nasional bertema “Mengapa PTS Kolaps dan Apa Pelajarannya?” lengkap dengan keynote speaker yang mengutip data PDDikti dan BPS dengan penuh keprihatinan. Sementara itu, hari ini, spanduk penerimaan mahasiswa baru masih berkibar di pinggir jalan, menunggu tatapan singkat dari calon mahasiswa yang sudah lebih dulu mendaftar bootcamp online lewat ponsel mereka. Di titik inilah, PTS harus memutuskan: ingin tetap menjadi objek satire, atau bertransformasi serius sehingga kelak bisa tertawa terakhir. (*)