Oleh Wayan Windia
Kasus berkait dengan wisatawan China, dengan fenomena Bali “dijual” murah, sudah menjadi viral. Hal ini terjadi, karena (i) kebijakan pemerintah yang silau pada kuantitas wisatawan; (ii) masyarakat Bali, khususnya dari golongan kaum migran yang manja, terlanjur keenakan berada dalam zone nyaman, takut menurun kenyamanan hidupnya, dan tidak memiliki tanggung jawab pada lingkungan serta kebudayaan Bali; dan (iii) kaum kapitalis yang terlanjur menguasai Pulau Bali. Sementara itu, to be or not to be, masyarakat desa adat di Bali, tetap saja terpanggil untuk memelihara kebudayaannya, dengan berbagai kegiatan ritual yang sesak. Terasa fenomena ini tidak adil. Tetapi filsafat orang Bali memang cendrung tidak terlalu silau pada efesiensi, tetapi lebih mengutamakan konsep efektivitas.
Berkait dengan fenomena kasus wisatawan China itu, maka saat ini muncul kembali wacana agar wisatawan yang datang ke Bali seharusnya adalah wisatawan yang berkualitas. Bukan wisatawan dalam kuantitas. Bukan wisatawan kelas sandal jepit. Bukan wisatawan yang datang ke Bali hanya kencing dan berak. Makan sepenuh-penuhnya pada saat breakfirst, sehingga tidak perlu lagi makan siang dan makan malam (Bali : makan dengan sistem napis).
Lalu apakah sejatinya wisatawan yang berkualitas itu? Saya sudah sempat berdiskusi dengan tokoh pariwisata Bali, Bagus Sudibya tentang hal ini. Tetapi menurut saya harus ada azas manfaat. Wisatawan berkualitas seharusnya didefinisikan sebagai wisatawan yang memberi manfaat kepada manusia Bali, memberi manfaat bagi alam Bali, dan memberi manfaat bagi kebudayaan Bali. Wisatawan yang datang ke Bali jangan hanya untuk kencing dan berak. Pengeluarannya justru kembali 100 persen ke negara asalnya. Lalu Kemenpar membangga-banggakan kedatangan jumlah wisatawan. Lalu untuk apa? Pengeluaran yang diperlukan Kemenpar untuk mendatangkan wisatawan ke Indonesia ratusan trilyun rupiah jumlahnya. Jangan-jangan kita rugi. Karena belum tentu income yang didatangkan bisa seimbang. Apa lagi Kemenpar tetap ngotot untuk bebas visa bagi lebih dari 50 negara di dunia. Hampir 5 trilyun kita rugi akibat dari kebijakan bebas visa itu. Sementara wisatawan yang datang ke Bali banyak akhirnya yang berlaku kriminal, berbisnis, dll. Maka lengkaplah sudah derita pulau ini. “Sudah jatuh ditimpa tangga pula” demikian kata pepetah klasik.
Padahal di China yang dibanggakan justru adalah wisatawan domestik. Desa warisan dunia Tongli di China Tengah, setiap hari kedatangan seratusan bus wisatawan domestik yang datang dari seluruh penjuru negeri. Bayangkan berapa juta yuan uang rakyat RRT berputar di negaranya sendiri. Tidak ada uang yang “lari” ke luar kawasan. Paling-paling wisatawan yang agak banyak berkunjung dari luar adalah dari Vietnam. Di Tongli juga tidak diijinkan para investor kapitalis untuk menggusur penduduk lokal. Pemerintah meng up-grade rumah penduduk lokal untuk menjadi homestay yang bertaraf internasional. Makanan, minuman, jajanan, dan buah-buahan yang disajikan semuanya produk lokal. Dapatkah kita belajar tentang pariwisata dari RRT? Kita berharap setelah Pak Wagub Cok Ace kembali dari RRT untuk urusan kasus wisatawan China ini, maka akan ada perubahan kebijakan kepariwisataan (wisatawan China) di Bali.
Tetapi rasanya sangat susah. Karena Bali sudah berada dalam cengkraman kaum kapitalis di bidang pariwisata. Alam Bali, manusia Bali, dan kebudayaan Bali sudah terlanjur mengalami proses transformasi yang sulit. Pemerintah dan rakyat Bali sudah tidak bisa berkutik. Kenaikan harga listrik, pengenaan pajak pengambilan air sumur dalam, dan berbagai kewajiban yang (akan) dibebankan kepada hotel internasional, penuh dengan gesekan dan friksi. Hal itu terjadi, karena kita terlanjur men-dewa-kan jumlah wisatawan, terlanjur silau pada PAD, income per kapita, PDRB, dll. Kita melupakan indeks kebahagiaan manusia, “kebahagiaan” alam, dan melupakan keberlanjutan kebudayaan Bali. Padahal ketiga elemen itulah yang merupakan sendi dari pembangunan (kepariwisataan) di Bali. Bali akan rusak dan akan hancur kalau ketiga sendi pembangunan itu tidak mendapatkan perhatian.
Itulah sebabnya kita harus memiliki ukuran normatif dari wisatawan dan pariwisata yang berkualitas. Ukurannya harus memberi manfaat bagi alam, manusia, dan kebudayaan Bali. Hal ini juga sesuai dengan teori Prof. Koentjaraningrat tentang dimensi atau wujud kebudayaan. Selanjutnya patut dicatat bahwa pada tahun 2020 yad, pariwisata Bali sudah mencapai umur 100 tahun. Perlu dikaji, apa yang terjadi sekarang setelah 100 tahun pariwisata Bali. Oleh karenanya, sesuai dengan konsep waktu yang lalu, waktu kini, dan waktu yang akan datang, maka perlu dirumuskan wajah pariwisata Bali dan wajah Pulau Bali 100 tahun yad. Wisatawan yang datang ke Bali harus wisatawan yang berkualitas. Mungkin refrensi yang sangat klasik adalah situasi suasana Bali dan suasana pariwisata Bali sebelum tahun 1970-an. Tetapi sang “waktu” tidak bisa kembali. Waktu akan terus maju ke depan. Tetapi kita harus belajar dari waktu kini, dan waktu yang lalu.
Pertama-tama yang harus dilakukan adalah untuk “mengalahkan” kapitalisme di sector pariwisata. Kemenangan akan datang kalau kaum legislator dan eksekutor bersatu padu dalam satu jalur. Buat regulasi yang tegas dan dengan hukum yang tegas, tidak pandang bulu. Kendalikan pembangunan hotel kapitalis dalam pembangunan pariwisata, rakyat Bali (khususnya kaum migran) harus siap diajak untuk berkurang kenikmatan hidupnya, dan berdayakan rakyat miskin (petani dan subak). Memang susah bergerak maju untuk orang miskin, kalau sudah dibelit kapitalis. (*)