Oleh Dr Gede Sedana
Sejak lebih dari 1.000 tahun lalu subak telah menunjukkan eksistensinya di dalam melalukan pengelolaan usahatani tanaman pangan di Provinsi Bali, khususnya di lahan sawah. Keberadaan subak telah diakui oleh pemerintah melalui Perda Provinsi Bali Nomor 9 tahun 2012 tentang Subak, yang menyebutkan bahwa subak merupakan suatu organisasi petani pengelola air irigasi yang bersifat sosio teknis religius, dalam suatu kawasan sawah tertentu, mendapatkan air irigasi dari suatu sumber tertentu, mengelola pura subak, dan bersifat otonom. Bahkan negara pun sangat mengakui dan menghormati hak-hak tradisional subak.
Subak sebagai suatu sistem mempunyai filosofi Tri Hita Karana (THK) yang dijadikan dasar dan pedoman di dalam pengelolaan irigasi dan pertanian. Filosofi ini tumbuh dan berkembang berdasarkan pada nilai-nilai budaya masyarakat petani dan lingkungannya.
Implementasi THK pada sistem subak telah diyakini memiliki makna yang kuat mengenai prinsip keharmonisan dan keseimbangan di dalam proses interaksi antara para petani di dalam satu subak dan juga dengan subak lainnya, hubungan dengan lingkungan alamnya dan hubungannya dengan Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa. Secara umum, filosofi THK yang terdiri dari Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan mengandung nilai-nilai universal seperti yang terkandung juga dalam Pancasila. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai yang telah ada pada sistem subak telah teradopsi pada nilai-nilai Pancasila.
Misalnya, telah diketahui bahwa nilai ketuhanan pada sistem subak tercermin dari artefaknya, yaitu bangunan pura (pelinggih) atau tempat suci untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan atau melakukan yadnya.
Pada sistem subak, tempat suci bagi petani anggota subak yang berkenaan dengan pelaksanaan aktivitas irigasi dan pertanian terdiri dari tempat suci pada tingkat individu petani, tingkat subak, tingkat antar subak dan tingkat provinsi. Bahkan telah diketahui juga bahwa salah satu syarat adanya subak adalah keberadaan tempat suci. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegiatan ritual keagamaan dalam satu musim tanam padi intensitasnya reltif tinggi, yaitu sekitar 15 kali kegiatan ritual. Kegiatan ritual keagamaan merupakan salah satu pemersatu para anggota subak selain air dan elemen lainnya. Ini berarti bahwa nilai-nilai ketuhanan yang terkadung Pancasila telah dilaksanakan oleh subak sejak lama, jauh sebelum negeri ini merdeka.
Sila kedua Pancasila juga telah ada pada sistem subak sejak dahulu, yaitu adanya rasa kebersamaan, tenggang rasa, dan saling menghargai di antara para petani anggotanya. Salah satu kegiatan kebersamaan dan tenggang rasa pada sistem subak adalah pelaksanaan sistem pinjam-meminjam air irigasi antar petani atau antar sub-subak (tempek, banjaran, lanyahan) guna mengatasi keterbatasan air irigasi pada musim kemarau.
Nilai persatuan di dalam sistem subak ditunjukkan oleh kegiatan tolong-menolong atau saling membantu dan gotong royong di antara para petani yang bertujuan untuk menjaga rasa persatuan dan kebersamaan mereka di dalam organisasinya.
Sementara itu, nilai kerakyatan pada sistem subak terlihat pada cara pengambilan keputusan yang selalu didasarkan pada musyawarah dan kemufakatan para anggotanya sehingga menjadi konsensus bersama. Nilai keadilan pada sistem subak tercermin dari cara pendistribusian dan pengalokasian air irigasi kepada seluruh anggota subak yang telah dipandang adil. Alokasi air irigasi menggunakan teknik tradisional dan memberikan hasil yang efektif. Beberapa sebutan lokal terhadap cara alokasi air pada sistem subak yaitu sistem tektek, nyari, depuk dan sebutan lainnya.
Penerapan nilai-nilai subak yang juga ditemukan pada sila-sila Pancasila, diharapkan dapat mewujudkan tujuan subak seperti pemeliharaan dan pelestarian subak, peningkatan kesejahteraan para petani anggota, pengaturan irigasi dan tata tanaman, perlindungan dan pengayoman petani; dan pemeliharaan serta perbaikan jaringan irigasi di tingkat usahatani.
*) Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA, Rektor Dwijendra University, Ketua HKTI Buleleng dan Wakil Ketua Perhepi Bali.