Banner Bawah

GWK Simbol Penjaga Keseimbangan Alam dan Pengabdian Tanpa Henti

Artaya - atnews

2021-07-26
Bagikan :
Dokumentasi dari - GWK Simbol Penjaga Keseimbangan Alam dan Pengabdian Tanpa Henti
Slider 1

Bandung (Atnews) - Nyoman Nuarta, Penggagas Garuda Wisnu Kencana (GWK)  mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa (HC) sebagai cultureupreneur dalam Bidang Ilmu Seni Rupa (patung) pada Peringatan 101 Tahun Pendidikan Teknik di Indonesia (PTTI), Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, Sabtu (3/7).
Gelar itu diperoleh atas jasanya di bidang kesenirupaan, khususnya atas mahakarya GWK dan telah memenangkan sayembara desain istana negara untuk Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur yang digelar oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Nuarta menjelaskan kepada Atnews, Senin (26/7) konsep pembangunan dipilih wujud Patung GWK secara fisik merupakan representasi dari karya etnik Indonesia yang sudah ada sejak jaman kerajaan dulu. 
Patung setinggi 121 meter yang diresmikan Presiden Joko Widodo di kawasan GWK Cultural Park, Bukit Ungasan, Kabupaten Badung, Bali, Sabtu (22/9/2018). Presiden Jokowi menyebut GWK sebagai mahakarya anak bangsa. Hal tersebut membuktikan sebagai bangsa besar  bukan hanya mewarisi karya besar dari peradaban masa lalu yang sangat indah seperti Candi Borobudur, Prambanan, tapi di era kini bangsa Indoneisa bisa berkreasi untuk melahirkan mahakarya yg membanggakan dan dikagumi dunia.
Material tembaga untuk pembuatan patung Garuda Wisnu menghabiskan 3.000 ton tembaga atau setara dengan 2,5 hektar lempengan tembaga. Patung tersebut sekaligus menjadi patung terbesar dan paling unik yang dibuat oleh manusia karena dengan memadukan seni, teknologi dan science.
Patung ini sangat populer dan oleh para pengrajin Bali dibuat sebagai barang cinderamata yang dibuat dari berbagai material dan ukuran karenanya patung ini menjadi sangat terkenal di seluruh dunia. 
Patung ini sangat kompak dan elegan, memiliki makna simbolik dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semesta atau ekosistem, dan juga berakar dari nilai-nilai simbolik dari kisah perjalanan Wisnu menunggang Garuda menuju Amerta (kebajikan yang hakiki). 
Wisnu sebagai simbol kekuatan pemelihara alam semesta, penjaga keseimbangan ekosistem, kini merupakan tumpuan penyelamat dari kondisi ketidakseimbangan ekosistem global yang kian memburuk sebagai akibat kesalahan peradaban umat manusia yang mengabaikan masalah lingkungan. 
Sedangkan Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu yang menyimbolkan pengabdian tanpa pamrih dalam menuju kehidupan yang lebih baik dan mulia.
Relevansi yang perlu ditegakkan dijaman mutahir ini, Garuda sebagai kendaraan Dewa Wisnu menyimbolkan satu pengabdian tanpa pamrih yang berjalan tiada henti hingga tujuan akhir tercapai. 
Dalam rangkaian peradaban umat manusia abad ini dan mendatang, kondisi dilematis terlihat semakin memburuk, yang diwarnai dengan berbagai konflik kepentingan.
Sebagaimana kegelisahan umat manusia masa kini, karena masalah terganggunya ekosistem, tata hubungan kemanusiaan yang kian memburuk, melemahnya makna keselarasan hidup, maka Garuda Wisnu dapat dijadikan simbol peringatan bagi peradaban umat manusia masa kini.
Program GWK akan memanifestasikan filosofi di atas dengan menggalang perekat tata hubungan bangsa-bangsa melalui budaya, dimana budaya dapat disiratkan sebagai kendaraan Garuda yang terus berdaya upaya tanpa pamrih, terus bergerak menggapai cita-cita kemakmuran, aman tentram dalam peradaban umat manusia yang membahagiakan serta menekan resiko negatif terhadap lingkungan alam semesta.
Ceritera Garuda Wisnu bersumber dari ceritera Sang Garuda yang terdapat di dalam Adiparwa itihasa Mahabrata yang isi ringkasannya sebagai berikut :
Bhagawan Kacyapa mempunyai dua orang istri yang bernama Sang Kadru dan Sang Winata. Sang Kadru berputra seribu ekor ular naga dan sang Winata berputra sang Aruna atau Sempati dan Sang Garuda. Sang Aruna sejak lahir telah menjadi kendaraan Dewa Surya.
Pada suatu ketika Sang Kadru bertaruhan dengan Sang Winata mengenai warna kuda Ucchaisrawa yang konon bisa terbang secepat pikiran. 
Di dalam taruhan itu disebutkan barang siapa dari mereka yang kalah, dia harus menjadi budak dari yang menang. Di dalam taruhan Sang Kadru menebak warna kuda itu hitam sedangkan Sang Winata menebak warna kuda itu putih.
Setelah Sang Kadru pulang diapun menceritakan hal ihwal mereka bertaruh kepada putra- putranya para ular naga itu. Ular naga itu lalu menjelaskan kepada ibunya bahwa warna kuda Ucchaisrawa itu memang betul-betul putih. Sanga Kadru lalu meminta kepada semua puteranya untuk mencari upaya agar dia tidak jadi budak Sang Winata.
Para Ular Naga lalu pergi ke tempat kuda itu berdiam, dan semua dari mereka menyemburkan bisa (wisa) mereka ke tubuh si kuda sehingga berubahlah warna kuda itu menjadi hitam.
Besoknya Sang Kadru dan Sang Winata mendatangi tampat kuda itu dan ternyata warnanya hitam. Sang Winata kalah. Sejak itu Sang Winata menjadi pelayan Sang Kadru dan mendapat tugas menggembalakan ular-ular naga yang nakal-nakal itu. 
Setelah Sang Garuda lahir dan mengetahui bahwa ibunya menjadi budak para naga, maka Sang Garuda mohon agar dia diperkenankan menggantikan tugas ibunya sebagai penggembala, Sang Winata setuju.
Demikianlah akhirnya sejak pagi sampai malam pekerjaan Sang Garuda hanya melayani kepentingan ular naga itu saja.
Lama-lama Sang Garuda merasa bosan dan ingin bebas. Sang Garuda bertanya kepada para ular naga, apakah ada cara agar dia bisa bebas dari perbudakan ? Ular naga mengatakan bahwa Sang Garuda bisa bebas dari tugas kalau dia bisa mencarikan “Tirta Amertha” yang disimpan oleh Dewa Wisnu di Swargaloka. Sang Garuda lalu pergi ke swarga.
Setelah memerangi para Dewa akhirnya Sang Garuda berhadapan dengan Dewa Wisnu. Dewa Wisnu menanyakan untuk apa dan untuk siapa dia mencari Tirtha Amerta ? Sang Garuda menjelaskan bahwa dia mencari Tirtha Amerta untuk membebaskan dirinya dan ibunya dari perbudakan para naga. 
Dewa Wisnu berjanji akan memberikan tirtha itu kepada Sang Garuda bila dia bersedia menjadi kendaraan Dewa Wisnu.
Sang Garuda pun sepakat, maka sejak itu Sang Garuda menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Dia beranggapan lebih baik menjadi kendaraan dewa daripada budak ular naga.
Sedangkan makna konstekstual Garuda-Wisnu di GWK Cultural Park, isu tentang persoalan lingkungan yang menjalar ke seluruh belahan bumi ini tampaknya demikian krusial dan berdampak global, sehingga Badan Dunia PBB memandang perlu adanya penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi serta berbagai aksi dan aktivitas lainnya guna menyatukan persepsi dalam mengantisipasi masalah yang lebih parah. 
Efek dari problema lingkungan itu sangat mempengaruhi perilaku situasi dan kondisi bumi ini yang pada akhirnya berdampak serius pada siklus ekosistem dan eksistensi manusia. 
Mesti diakui, biang keladi munculnya fenomena berbagai penyimpangan serta problema pelik yang ditimbulkan oleh masalah lingkungan itu sebenarnya paling banyak bersumber pada sikap dan perilaku manusia sendiri.
Jauh sebelum problema lingkungan ini mengusik biota dan habitat manusia, telah ada langkah- langkah preventif dalam memandu sikap dan perilaku manusia baik melalui agama, filsafat, dan kebudayaan yang tujuannya sudah pasti agar manusia di bumi ini menjadi beradab dan lebih bijaksana dalam mengambil suatu keputusan. 
Seperti tradisi yang telah mengakar pada komunitas Hindu di Bali yang mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana dalam aktivitas hariannya sebagai acuan sekaligus pedoman atau penuntun ke jalan hidup yang harmonis, serasi, selaras dan seimbang. Salah satunya melalui pembedahan atau penafsiran dari tinjauan filsafat-agama-kebudayaan terhadap substansi kisah Adiparwa menyangkut (1) keberadaan Tuhan dan ciptaannya, (2) ajaran budi pekerti tentang hubungan proporsional antara orang tua dan putra yang dilahirkan, lebih luas lagi tentang pengabdian rakyat terhadap tanah airnya, serta (3) hubungan kausal efek antara lingkungan alam semesta dan manusia serta sesama makhluk hidup lainnya.
Mengacu pada fragmen di atas, figur Wisnu merupakan sebuah ilustrasi tentang manifestasi Kemahaagungan Tuhan ketika memelihara dan merawat ciptaannya. 
Secara tersirat ditegaskan bahwa Wisnu adalah pemilik Amerta yang berwujud air sebagai sumber kesuburan yang terkait erat dengan kemakmuran dan kehidupan jagat raya dengan segala isinya. 
Fakta menunjukkan bahwa air merupakan kebutuhan primer bagi semua makhluk hidup karena didalamnya terkandung berbagai mineral yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan berkembang. 
Jadi, Wisnu merupakan pusat kendali siklus kehidupan alam semesta. Keterbatasan jangkauan nalar manusia dalam menyentuh Kemahaagungan Tuhan itu oleh komunitas Hindu dipersonifikasikan dengan atribut Dewa Wisnu dan sejumlah nama lainnya yang bisa ditemukan dalam berbagai cerita yang bertemakan falsafah Wisnu guna mengacu objek yang sama yakni Kemahakuasaan Tuhan.
Sedangkan sosok Garuda sebagai kendaraan Wisnu ditafsirkan sebagai simbol kesetiaan dan pengabdian yang disertai pengorbanan tulus kepada Sang Penguasa dalam upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup (environmental) alam semesta (ibu pertiwi) tersebut. 
Selain itu, dapat juga ditafsirkan sebagai “kebebasan atau kemerdekaan” berimprovisasi berkreasi, dan apresiasi dalam berbudaya khususnya dalam aktivitas berkesenian, serta simbol pembebasan dari bentuk-bentuk pembelengguan dan perampasan hak-hak azasi setiap makhluk hidup.
Hal menarik yang perlu diketahui, mata air suci Parahyangan Somaka Giri GWK Cultural Park.
Menurut persepsi metafisika komunitas Hindu Bali, Tuhan bersemayam di tempat yang paling suci atau paling tinggi atau paling utama atau paling mulia yang dalam bahasa Bali disebut “kaja” atau “ka-adi-an”(diadopsi dari bahasa Jawa Kuna dan bahasa. Sanskerta "adi" yang berarti utama). 
Sehingga tempat-tempat suci utama di Bali yang disebut Kahyangan Jagat umumnya berada di gunung atau dataran tinggi. 
Demikian pula, bagian parahyangan (salah satu aspek dalam Tri Hita Karana) rumah maupun desa biasanya dipilihkan lokasi yang paling utama yang telah diatur dalam ketentuan landscaping arsitektur tradisional Bali (Asta Bumi dan Asta Kosala-kosali).
GWK Cultural Park berada di hamparan bukit kapur yang tandus dan berangin kencang. Hanya jenis tumbuhan tertentu yang bisa beradaptasi dan bertahan dengan situasi dan kondisi ekstrem geografis alam di sini, sehingga relevan dengan mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk sekitarnya sebagai peternak sapi. 
Akan tetapi, ada sebuah tempat yang memiliki getaran magis dan menebarkan gelombang spiritual suci. Lokasi itu ditetapkan sebagai tempat yang paling utama dan diberi nama Parahyangan Somaka Giri. 
Di sini terdapat sebuah mata air yang historisnya sejak dulu diyakini oleh masyarakat sekitarnya sebagai anugerah yang memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan bermacam penyakit dan memohon hujan pada musim paceklik sehingga tumbuhan tertentu sebagai sumber pakan ternak yang menjadi tumpuan mereka bisa tetap tumbuh subur. 
Berbeda dengan keberadaan sebuah oase umumnya, keberadaan mata air suci yang ada di Parahyangan Somaka Giri ini masih menjadi misteri sebab belum ada penelitian ilmiah guna menjelaskan tentang asal-usul keberadaan mata air tersebut beserta kandungan kimiawi dan biologi terhadap mineral airnya sebagai daya penyembuh, juga prediksi tentang kapan mata air itu ada dan dari mana sumbernya, serta mengapa bisa tetap aktif dan terus mengalir meskipun banyak orang setiap saat datang untuk mengambilnya. 
Kian hari tempat suci ini semakin banyak dikunjungi baik oleh masyarakat dari berbagai pelosok di Bali maupun dari luar Bali bahkan dari luar negeri hanya untuk mendapatkan air suci tersebut dan ada pula yang datang khusus untuk bermeditasi yang konon semua itu untuk kepentingan terapi kesehatan. 
Meskipun untuk maksud tersebut mereka harus mengeluarkan biaya untuk "pejati", sesajen, dan "dana punia",  kiranya ini merupakan isyarat bahwa Dewa Wisnu yang maha pemurah telah mengulurkan anugerah-Nya bagi GWK Cultural Park dalam memberikan harapan dan nafas kehidupan yang lebih baik. (GAB/ART/001)

Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Sertijab, Kabasarnas Launching Buku  "Bekerja dengan Hati"

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Undangan

Undangan

Gubernur Bali: Yayasan Kebaktian Proklamasi Harus Mampu Bangun Generasi Muda Bersaing Global

Gubernur Bali: Yayasan Kebaktian Proklamasi Harus Mampu Bangun Generasi Muda Bersaing Global

DPN PERADI SAI Mengangkat 64 Calon Advokat di Pengadilan Tinggi Denpasar, Diharapkan Advokat Baru Kuasi Teknologi

DPN PERADI SAI Mengangkat 64 Calon Advokat di Pengadilan Tinggi Denpasar, Diharapkan Advokat Baru Kuasi Teknologi

Danantara Dukung Pembanguan Waste to Energy di Bali, KMHDI Bali: Harus Lulus Uji Emisi

Danantara Dukung Pembanguan Waste to Energy di Bali, KMHDI Bali: Harus Lulus Uji Emisi