Oleh Wayan Windia
Denpasar, 9/6 (Atnews) - Kita mengenal banyak sekali hari-hari (libur) nasional di Indonesia. Kalau kita memandang dari konsep pemikiran Barat, pasti fenomena ini dianggap sebagai “tidak a efesien”. Karena kita harus apel, harus ini, dan harus itu. Namun sebaliknya, fenomena ini akan sangat efektif untuk membangun kesadaran bangsa. Bahwa bangsa ini dahulu, dibangun dengan tetesan darah. Peristiwa demi peristiwa harus dilalui oleh bangsa ini, hingga akhirnya mencapai Indonesia Merdeka.
Tidak banyak bangsa-bangsa di dunia, yang mengalami perjuangan yang sangat berat dan sangat panjang, untuk memenangkan perang kemerdekaan bangsanya. Hanya Indonesia di Asia Tenggara, Vietnam di Asia Timur, dan Aljazair di Afrika Utara.
Semua peristiwa nasional yang dialami bangsa ini, telah membangun kesadaran para pendiri bangsa, untuk bersatu. Itulah kekuatan yang paling agung dari bangsa yang plural ini. Yakni, persatuan dan kesatuan, perasaan yang sama sebagai suatu bangsa, dan orang-orangnya banyak yang nekat.
Mengapa disebut nekat ? Karena tidak masuk akal, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang hanya bersenjatakan keris, tombak, dan bambu runcing; lalu mengangkat senjata, bertempur, dan memenangkan perang. Justru melawan tentara yang baru saja memenangkan Perang Dunia Kedua.
Dalam suasana persatuan dan kesatuan itulah, Pancasila sebagai dasar negara dicetuskan dan disetujui. Negara telah mengakui Bung Karno (Presiden RI pertama) sebagai penggali Pancasila, dan menyatakan tanggal 1 Juni sebagai Hari Libur Nasional.
Sudah menjadi wacana umum bahwa tanpa rasa persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa, tidak mungkin Pancasila dan juga UUD 1945 dapat disetujui sebagai suatu konsensus nasional. Tampaknya juga tidak mungkin Bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa nasional.
Kemudian muncul Pak Harto, yang terlibat babak-belur dalam perjuangan Indonesia merdeka. Menjadi ajudan Panglima Besar Sudirman, dan memimpin serangan umum, untuk menguasai Yogyakarta. Kemudian Pak Harto menjadi Presiden RI yang kedua. Pak Harto sebagai seorang militer berpengalaman, tampaknya sudah melihat gejala-gejala negatif, yang berkait dengan dasar negara Pancasila.
Lalu Pancasila dipertahankan dengan ketat. Yakni dengan mengharuskan semua ormas dan orpol berdasarkan Pancasila. Diadakan Penataran P4. Orang-orang yang anti Pancasila terpaksa harus menyingkir dari bumi Indonesia. Diantaranya lari ke Malaysia. Abu Bakar Basjir adalah satu diantaranya.
Era reformasi telah membalikkan bandulan politik (meminjam istilah Jendral TB Simatupang) berubah 100 persen.
Orang-orang mulai mendewakan HAM, demokrasi, individualisme, dll. Pendewaan inilah yang kemudian dikhawatirkan sebagai bagian dari bahaya proxy war bagi bangsa ini, ditengah-tengah arus globalisasi yang tak terperikan. Ditengah-tengah suasana inilah, saat ini kita telah dihadapkan pada suasana politik yang menegangkan. Karena ada kekhawatiran ketegangan politik telah ditunggangi unsur yang ingin mengubah NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Kenapa itu bisa terjadi? Karena kita ragu-ragu dan tidak konsisten dengan kebenaran dari Pancasila. Seharusnya kita tegas, bahwa Pancasila harus menjadi landasan dasar dan filsafat dari semua ormas dan orpol di Indonesia.
Kenapa? Karena Pancasila adalah dasar Negara dan falsafah Negara. Bagi yang tidak setuju harus mencari Negara lain yang landasannya disetujui. Jangan mengubah landasan Negara NKRI yang sudah menjadi konsensus nasional. Bung Karno yang melahirkan Pancasila dan Pak Harto yang konsisten dan dengan keras mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, kini telah melewati hari-hari kekuasaannya.
Bung Karno dan Pak Harto pasti paham, bahwa betapa pentingnya Pancasila dan UUD 1945 untuk mempersatukan sebuah bangsa dalam wadah NKRI. Karena beliau lahir dari haribaan perang dan revolusi Indonesia.
Kini, dengan adanya ketegangan politik yang keras, barulah kita tersadar kembali, betapa bangsa ini harus dalam wadah NKRI. Harus dengan dasar Pancasila dan UUD 1945. Barulah kini kita tersadar bahwa betapa bangsa ini sangat plural. Setiap gerakan, sangat rawan ditunggangi oleh analisir “kiri” atau “kanan” (meminjam istilah di Era Orde Baru).
Oleh karenanya, para pemimpin bangsa Indonesia harus sepenuhnya sadar tentang pluralisme bangsa ini. Bayangkan, hanya dengan satu-dua kalimat dari Ahok, bisa menyebabkan bumi politik di Indonesia bergetar. Bola politik di Indonesia bisa mengalir kemana-mana. Untunglah kebajikan para pendiri bangsa ini, masih sangat kuat mengalir kepada darah keturunannya.
Aksi yang menjurus pada perpecahan bangsa, dengan cepat dan dengan keras direspon oleh elemen bangsa. Berbagai elemen bangsa yang dulu berjasa pada kemerdekaan bangsa ini, dengan spontan “turun” untuk kembali meneriakkan pentingnya Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Dalam suasana seperti ini tampaknya wajar kalau kita kembali bercermin, betapa pentingnya warisan dan peranan Bung Karno dan Pak Harto. Wajar kalau kedua tokoh ini ditetapkan sebagai Bapak Bangsa. Jangan dulu yang lain. Merdeka….
*) Wayan Windia, Ketua Umum Angkatan 45 Prov. Bali.