Oleh Wayan Windia
Penerbangan ke Singapore selama 2,5 jam, lalu transit sebentar, kemudian terbang lagi ke Paris selama 14 jam, bukanlah pekerjaan yang tidak melelahkan. Apalagi harus duduk dalam penerbangan kelas ekonomi. Umur saya sudah 70 tahun. Tetapi karena saya tetap semangat, maka saya menjalani penerbangan itu dengan membanggakan. Adalah suatu kehormatan diundang untuk berbicara di Gedung Markas UNESCO, membahas tentang sistem subak di Bali. Karena justru UNESCO-lah sebelumnya yang mengakui subak di Bali sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD).
Sebelumnya saya menduga, bahwa puncak karier saya sebagai pembicara tentang subak sudah berakhir, setelah saya mempresentasikan nilai-nilai subak dalam forum World Cultural Forum (WCF) dua tahun yl. Tetapi ternyata Tuhan masih memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pembahasan saya tentang subak di Markas Besar UNESCO di Paris, Perancis. Meskipun sangu yang diberikan UNESCO pas-pasan, tetapi saya tetap bangga. Karena saya mendapat bantuan spontan dari kolega-kolega saya di Bali, yang mendukung perjuangan saya melestarikan subak. Saya kira, tidak banyak ilmuwan yang mendapat kesempatan diundang untuk berbicara di Gedung UNESCO.
Mendarat di Bandara Jenderal Charles D Gul pada pagi hari yang sangat dingin. Lalu harus siap ikut antrean yang sangat panjang untuk lewat pintu imigrasi. Hampir satu jam harus berdiri mengikuti antrean. Ya, hampir sama saja dengan antrean di Indonesia. Dulu kita ribut-ribut di Bali, karena para turis dianggap kelelahan dalam antrean imigrasi, setelah melalui perjalanan belasan jam dari Eropa. Tokh di sana juga sama saja. Kita jangan terlalu memanjakan turis-lah. Biasa-biasa saja-lah. Kalau mereka sudah memutuskan untuk datang ke Bali, pasti mereka sudah paham dan siap menghadapi segala hambatan. Jangan sampai kita sangat memanjakan turis, lalu rakyat kita di pedesaan masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Dalam perjalanan dari bandara ke Kota Paris, saya lihat gedung-gedungnya biasa-biasa saja. Banyak yang sudah tua. Saya pikir, pembangunan kita di Indonesia tidak kalah dengan di Perancis. Hanya saja di kota Paris, banyak sekali ada bangunan-bangunan kuno dan antik. Termasuk Menara Eifel. Itu tidak lain disebabkan karena Paris (Perancis) memiliki sejarah yang sangat panjang. Jauh lebih panjang dari sejarah pembangunan kita di Indonesia. Kita harus mengenyam penjajahan selama 350 tahun dari bangsa Eropa.
TENTANG TAS PLASTIK
Tentang penggunaan tas plastik, tampaknya kita di Bali lebih maju dengan di Paris. Di sana, kalau kita membeli makanan, pisang, atau souvenir, pasti dibungkus dengan tas kresek (plastik). Tapi saya masih taat dengan budaya tanpa tas plastik, seperti halnya di Bali. Saya tolak bungkusan tas plastik tsb. “No plastic bag please” kata saya. Mereka manggut-manggut saja ketika saya menolak tas plastik-nya. “Oh, thank you” katanya. Di jalan Boulevard Jenderal Garibaldi di mana saya menginap, saya tidak ragu merangkul semua makanan yang saya beli tanpa tas.
Di jalan protokol itu, saya menyaksikan satu-dua orang glandangan yang tidur di tepi toko, dengan pakaian tebal dan berlapis. “Ah, sama saja dengan di negara kita” demikian saya menggerutu dalam hati. Saya perhatikan gelandangan itu berlama-lama, ternyata tidak ada yang memberi sedekah. Semua orang acuh saja. Saya pikir, kapan mereka bisa mendapat uang untuk kepentingan hidupnya? Bahkan gelandangan juga ada di pinggir Gedung UNESCO. Mereka dua orang, semuanya perempuan. Mereka silih berganti tidur atau duduk dengan menengadahkan tangannya. Saya perhatikan wajahnya, ternyata keduanya cantik-cantik. Masih muda. Umurnya sekitar 26 tahun. Mungkin mereka itu keturunan aljasair. Saya pikir, kalau saja mereka agak berpendidikan, dan bisa berhias sekedarnya, mereka bisa menjadi bintang film. Memang wajahnya cantik, klasik dan melankolis. Tapi demikianlah kalau Takdir menghendaki. Semua kita berjalan di atas karma yang dahulu diperbuat oleh leluhur kita yang ber-reinkarnasi. Saya saksikan di markas UNESCO, tidak ada orang yang secantik pengemis/ gelandangan itu. Matanya sayu, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam, dan kulitnya putih-gading. Tapi saya tidak melihat bentuk tubuh pengemis itu, karena mereka duduk. Hanya melihat wajahnya saja.
PRESENTASI DI GEDUNG UNESCO
Agak lama saya mempersiapkan power point yang akan saya presentasikan. Kemudian berlatih presentasi, agar bahasa Inggeris saya terlihat agak fasih. Termasuk setelah tiba di Paris, sehari sebelum saya harus naik podium, saya masih berlatih dengan tekun. Tetapi karena memulai sidang pada pagi hari-nya sangat telat, dan presentasi para menteri yang diundang dalam sidang itu agak lama waktunya, maka sidang-sidang selanjutnya juga molor. Saya yang dapat presentasi pada sore hari, juga sangat telat memulai sidangnya. Karenanya, waktu yang masih tersedia menjadi sangat terbatas.
Panitia dan moderator menyatakan bahwa saya tidak perlu memaparkan power point. Cukup menampilkan maksimal lima gambar yang paling urgen. Lalu moderator yang bertanya-tanya kepada saya tentang sistem subak di Bali, hingga diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Hanya tiga pertanyaan saja. Waktu sudah habis hampir 15 menit. Lalu diganti oleh presentator yang lainnya. Pertanyaan moderator yang terakhir adalah kenapa subak yang bersifat tangible (dapat dilihat) lalu dianggap memiliki nilai-nilai yang bersifat intangible (tidak dapat dilihat).
Atas pertanyaan itu saya katakan bahwa hamparan sawah di Bali yang dikelola subak, bukan hanya sekedar sawah. Di belakang pemandangan sawah itu, ada berbagai ritual yang dilaksanakan oleh petani, sebagai bagian dari penerapan filsafat Tri Hita Karana. Itulah sebabnya UNESCO mengakui subak di Bali sebagai warisan dunia, dengan judul : Subak as Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy.
*) Penulis adalah Ketua Pusat Penelitian Subak Univ. Udayana.