Oleh Wayan Windia
Di Paris, di Gedung UNESCO, saya diminta memperkenalkan konsep subak, medio Mei ybl. Tentang bagaimana subak yang menjadi warisan budaya dunia (WBD), mengartur dirinya. Hal itu berkait dengan konperensi internasional tentang air, untuk memperingati hari air dunia. Atas pertanyaan moderator, pada awal pembahasan tentang subak di Bali, saya menerangkan tentang apa itu subak, apa konsep subak, dan yang terakhir bagaimana kondisi Subak Jatiluwih, yang menjadi WBD. Saya menerangkan kondisi kawasan Subak Jatiluwih yang terakhir, sampai dengan dibangunnya lapangan untuk pendaratan hilkopter (helipad) di kawasan itu. Sampai-sampai pihak Ditjen Kebudayaan turun tangan, memberikan peringatan kepada Pemkab Tabanan.
Untuk itu, saya meminta pihak UNESCO segera turun ke Bali, dan menilai apakah management plan yang ada dalam bendel usulan ke UNESCO sudah dilaksanakan atau tidak. Atas saran tsb, pihak moderator langsung meminta kepada Ketua Pusat Warisan Dunia Unit Asia dan Pasifik, untuk merespon usulan saya tersebut. Dr. Feng Jing yang hadir dalam sidang itu langsung manggut-manggut. Kemudian ia segera keluar sidang, mungkin untuk memproses situasi yang berkembang dalam sidang tsb. Sebelum sidang dimulai, Dr. Jing sempat menyalami saya, dan memperkenalkan diri. Mungkin karena kulit saya sawo matang, maka ia yakin bahwa saya dari Indonesia. Ia masih muda dan memperkenalkan dirinya dari Malaysia. Tapi saya yakin ia pasti keturunan China. Itu terlihat dari kulitnya yang putih, dan matanya yang agak sipit.
Dalam perjalanan kembali dari Paris ke Denpasar (Bali), saya masih terngiang dengan diskusi dalam sesi itu. Kemudian masih terbayang alih fungsi lahan yang ada di kawasan Subak Jatiluwih, dan gambar-gambarnya saya tayangkan dalam sidang tsb. Gambar bulldozer yang menghancurkan kawasan sawah di sana. Katanya untuk lahan parkir publik, agar publik tidak parkir di jalanan, yang menyebabkan macet. Tetapi kemudian ternyata lahan parkir itu adalah untuk parkir sebuah restoran. Terakhir, saya menampilkan gambar helikopter yang sedang mendarat di kawasan itu. Saya yakin bahwa perkembangan yang kini terjadi di Subak Jatiluwih, adalah karena keberadaan Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (BP-DTW) Jatiluwih. Pihak BP DTW mengelola kawasan ini sebagai daerah DTW, bukan sebagai daerah WBD. Apa bedanya BP-DTW dan BP-WBD ? BP-DTW ideologinya adalah mementingkan uang dalam jangka pendek, dan tidak perduli pada kelestarian dan keberlanjutan. Kalau BP-WBD, ideologinya adalah mementingkan kelestarian dan keberlanjutan dalam jangka pendek, dan uang akan datang secara berkelanjutan di masa depan. Selanjutnya BP-DTW mengutamakan kuantitas wisatawan, tetapi BP-WBD mengutamakan kualitas wisatawan.
Dalam hal ini saya berkeyakinan bahwa kalau Subak WBD Jatiluwih dikelola dengan konsep WBD, maka kawasan ini akan menghasilkan uang yang berlipat-lipat dalam jangka panjang. Misalnya, dengan pembatasan wisatawan yang berkunjung (agar sesuai kapasitas), dan mengembangkan home stay di kawasan perkampungan (sesuai saran dari pemonev UNESCO tahun 2014). Sekarang sudah mulai ada trend pembatasan wisatawan untuk mengunjungi kawasan tertentu. Misalnya, mulai tanggal 1 Juni 2019, wisatawan yang diijinkan mengunjungi Tembok Besar China, dibatasi hanya 65.000 orang per hari. Tapi bayarannya ditingkatkan. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menjaga kelestarian tembok tsb. Tetapi fee yang masuk tidak berkurang. Selanjutnya mulai tahun ini, dua pulau di kawasan gugusan Pulau Komodo ditutup untuk wisatawan. Kemudian, kabarnya wisatawan yang diijinkan masuk ke Negara Buthan hanya satu juta orang per tahun. Sehingga wisatawan harus antre di Bangkok untuk bisa masuk Buthan. Tetapi bayarannya sangat mahal. Kamar-kamar hotel di sana juga sangat mahal. Tetapi tokh wisatawan tetap antre. Karena mereka tetap antusias untuk menyaksikan alam orisinal di kawasan itu, yang mungkin tidak ada duanya di dunia lain.
Setelah sampai di Denpasar (Bali), saya sibuk menerima order wartawan untuk wawancara. Tetapi saya tetap hanya menyatakan bahwa nantikan saja kunjungan monev dari pihak UNESCO, untuk melihat kawasan WBD di Bali. Kemudian bercerita kepada kawan-kawan di kampus tentang situasi sidang di Gedung UNESCO, Paris. Saya bersyukur, akhirnya DPRD Tabanan tergerak untuk menyaksikan kawasan itu dengan mata-kepala sendiri. Tetapi dari laporan pers, saya melihat bahwa begitu sidak DPRD Tabanan diadakan, maka helipad langsung lenyap. “Seperti helipad knock down” demikian kata teman-teman. Saya baca komentar pihak DPRD Tabanan, bahwa tidak ada pelanggaran di kawasan itu. Lho, mungkin pihak DPRD Tabanan perlu melihat Perda Jalur Hijau di kawasan itu, dan surat edaran bupati Tabanan. Kemudian chek, ada pelanggaran atau tidak.
Ricuh tentang kawasan WBD di Bali telah mendorong pihak Kantor Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengadakan rapat koordinasi (akhir Mei ybl). Saya diundang, bupati Tabanan dan staf hadir, termasuk pajabat teras di Jakarta. Hadir sekitar 37 orang. Di sana Bupati Tabanan mengatakan bahwa helipad sudah dihancurkan, dan beberapa bangunan yang melanggar sudah dihancurkan. “Saya tidak tahu tentang pembangunan helipad tsb” katanya. Tetapi laporan-laporan yang saya terima, tetap saja di sana tidak ada perubahan. Memang cukup sulit melawan kapitalis, kecuali dengan idealisme.
Dalam rakor itu Bupati Tabanan juga mengatakan bahwa porsi fee wisatawan di Jatiluwih yang masuk ke Pemda Tabanan, hanya 20 persen. Tetapi dari berbagai karya ilmiah yang saya uji di kampus menginfomasikan bahwa, porsi fee yang masuk ke Pemda Tabanan adalah 45%. Subak Jatiluwih hanya mendapatkan tujuh persen dari total fee yang masuk. Dalam surat-surat usulan yang saya ajukan ke Pemkab Tabanan saya usulkan agar subak mendapatkan 50% dari total fee. Subak agar tidak hanya ditempatkan sebagai obyek, tetapi sebagai subyek dalam pengelolaan kawasan WBD tsb. Usulan itu selaras dengan lima program prioritas yang ada dalam bendel pengajuan usulan ke UNESCO. Tetapi kita lihat saja nanti, apa yang akan terjadi.
*) Penulis adalah Ketua Pusat Penelitian Subak Univ. Udayana.