Oleh Wayan Windia
Bulan lalu, PNS mendapatkan hadiah THR. Bulan ini PNS mendapatkan gajih ke-13. Enak benar menjadi PNS. Padahal kerjanya hanya masuk kantor dan absen. Kemudian melayani tamu yang datang dengan segala urusannya. Kalau ingin urusan cepat selesai, bilang saja data yang dicari tidak ada, dan suruh konsumen tersebut pergi ke kantor lain. Kalau pergi-pergi dapat uang SPJ. Kalau ada kegiatan lain di luar masuk kantor, dapat lagi honorarium. Itulah sebabnya, orang-orang membludak ingin menjadi PNS. Masuk sekolah dan kuliah, setelah tamat inginnya menjadi PNS. Antre berkilo-kilo meter untuk testing menjadi PNS. Kalau tidak dapat menjadi PNS, lalu berusaha menjadi pegawai kontrak. Agar berhasil, harus mampu main kasak-kusuk politik. Kenapa harus begitu? Karena kerjanya gampang, gengsi tinggi, tidak keluar keringat, dan kerja santai. Pagi-pagi harus segera mandi-gosok gigi-keramas-memakai sepatu, lalu naik sepeda motor dengan sikap yang “gagah”. Di kantor, ngobrol, ngopi dan jajan dengan ngebon di warung terdekat, dengan jaminan gajih. Kalau gajihnya habis atau minus di awal bulan berkutnya, lalu ngomel-ngomel. Kalau tidak dapat insentif pada saat hari raya, lalu ngomel-ngomel. Demikian kira-kira profil kebanyakan PNS kita. Gajih/kontrak-nya diatur dan diamankan dengan standar UMR.
Lalu, bandingkanlah dengan petani. Kalau ia bekerja untuk satu hektar sawah dan menanam padi, pendapatannya hanya Rp. 15 juta per musim. Atau sekitar Rp. 3,5 juta per bulan. Padahal rata-rata mereka bekerja hanya untuk 0,30 ha sawah. Dengan demikian pendapatan petani kita rata-rata Rp.1,1 juta/bulan. Jauh di bawah UMR. Resiko bertani sangat luar biasa. Belum tentu apa yang ditanam, bisa menghasilkan. Slogan petani itu kira-kira begini. “Pengeluarannya sudah pasti, tapi pendapatannya belum tentu”. Harga beras dikendalikan pemerintah. Kalau harganya tinggi, pemerintah segera import. Sepertinya, kita tidak tega kalau petani mendapatkan pendapatan yang tinggi dan menjadi kaya. Kalau harga hasil pertanian tinggi, kaum politikus ribut dan pemerintah takut. Lalu, petani yang harus menjadi korban. Begitulah nasib petani. Sudah miskin, jelek, kurus, hitam, koreng, butuhne ngelenteng, tetapi mereka harus siap berkorban menjadi bamper inflasi.
Belum lagi berkait dengan masalah pajak. Kalau PNS, pajak yang harus dibayar tergantung dari penghasilannya. Bahkan pajak penghasilannya dibayar oleh pemerintah. Tetapi petani, besaran pajak (PBB) yang harus dibayar, tergantung dari nilai lahan sawahnya. Bukan dari penghasilannya. Kalau lahan sawahnya di lokasi yang strategis dan nilai sawahnya tinggi, maka pajak (PBB) yang harus dibayar juga sangat tinggi. Saya mendapat laporan bahwa di Denpasar Barat, petani yang memiliki lahan sawah 0,70 ha, harus menbayar pajak (PBB) sebesar Rp. 40 juta. Ini adalah fakta yang sangat tidak adil. Oleh karenanya UU tentang pajak PBB harus segera diubah. Lahan sawah yang masih diperuntukkan sebagai sawah produktif, seharusnya bebas pajak PBB.
Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau sawah di Bali (dan juga di Indonesia pada umumnya) berkurang dengan sangat deras. Sawah berkurang sekitar 1,5% per tahun. Petani berkurang sekitar 2% per tahun. Siapa yang tahan sebagai petani? Petani menjadi pekerjaan alternatif terakhir. Pada saat panen harga prosuksinya (outputnya) turun, dan pada saat akan menanam harga saprotannya (inputnya) naik. Di Subak Jatiluwih, yang sawahnya dimanfaatkan untuk wisata oleh BP DTW Jatiluwih, subak hanya mendapatkan fee 7% dari total fee. Sebagian besar diambil oleh Pemda Tabanan dan pengelola. Begitu lemahnya posisi petani kita. Tidak punya power sama sekali. Pada saatnya nanti, kalau petani di Subak Jatiluwih memasang seng, seperti di kawasan Ceking-Gianyar, maka keributan pasti akan terjadi. Atau kalau nanti di Bali sudah tidak ada subak, dan tidak ada petani, maka pastilah kebudayaan Bali dan juga ekonomi Bali akan goyah dan akhirnya hancur.
Semua orang sudah paham, bahwa semua orang harus makan dan minum, agar bisa bertahan hidup. Kuncinya ada pada petani dan sektor pertanian. Meski kita semuanya paham, tetapi tindakan kita selalu me-marginalkan petani dan pertanian. Pada saatnya nanti, mungkin saja kita punya banyak uang dan devisa, tetapi tidak ada beras dan produksi pertanian yang bisa di makan dan bisa dibeli di pasar dan pasar dunia. Mungkin pada saat itu baru ada kesadaran tentang pentingnya pertanian. Kalangan inteljen sudah lama meramalkan bahwa Negara Barat dan Negara Timur akan “menyerbu” negara-negara di khatulistiwa, untuk mendapatkan bahan makanan. Karena di sana sudah tidak ada makanan, dan negara di kawasan khatulistiwa masih menyimpan potensi makanan. Nanti, perang yang akan terjadi adalah karena alasan makanan.
Ciri-cirinya sudah mulai tampak menonjol. Awal tahun lalu, terjadi kelangkaan cabai di Indonesia. Kita semua ribut-ribut. Pemerintah sangat galau. Semua pejabat turun tangan. Kemudian enam bulan kemudian terjadi kelangkaan garam. Ribut-ribut terjadi sangat deras. Saling menyalahkan atar pejabat negara, dll. Bayangkanlah, hanya karena cabai dan garam saja kita sudah sangat ribut dan khawatir. Apalagi nanti kalau kita kelangkaan bahan makanan. Apa kira-kira yang akan terjadi ?. Oleh karenanya, petani dan sektor pertanian jangan dilupakan. Berikan “gajih ke-13” kepada petani. Petani dan nelayan adalah populasi yang paling miskin. Kerak kemiskinan ada di sana. Mampukah kita melihatnya dengan hati?
*) Penulis adalah Ketua Pusat Penelitian Subak, Univ. Udayana.