Oleh Wayan Windia
Malam itu (1/8) Pak Frans dan istrinya Prof. Suli tampak sangat sumringah, kangen, dan mesra. “Saya foto mesra dulu ya dengan suami ...” kata Prof. Suli, dalam sebuah pesta kebun, di rumahnya yang indah dan sangat luas, di Jalan Hayam Huruk, Denpasar. Luasnya sekitar 1,6 hektar. Pesta malam itu adalah untuk menghormat kalangan pelatih Senam AWS3, yang tergabung dalam Inti Klub Bali Sehat (IKBS). Seterusnya dalam rangka membangun koperasi untuk kalangan pelatih Senam AWS3. “Pelatih senam itu bekerja dengan sukarela. Banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kita harus perhatikan kesejahteraannya melalui koperasi” kata Pak Frans. Sejatinya, nama lengkapnya adalah Dr.Ir. Frans Bambang Siswanto, MM. Namun dikenal luas dengan panggilan Pak Frans.
Dalam pertemuan itu, Pak Frans berpidato tentang pengalaman hidupnya, ketika masih menjadi mahasiswa di FT Unud. Kemudian menikah dengan Anastasia Sulistyawati (kini : Prof.Dr.Ir.Anastasia Sulistyawati, MS,MM, MMis, PhD, DTh, D.Ag). Lalu bersepakat untuk membantu kaum miskin yang ditampung di berbagai yayasan. Hingga saat ini, Pak Frans dan Prof. Suli secara rutin membantu 17 yayasan di Bali. Pada saat Pak Frans berpidato, beliau menyampaikan kata “pamit” kepada hadirin, karena akan melakukan operasi jantung di Malaysia. Ternyata kata “pamit” malam itu mengandung makna “takdir”. Siapa yang dapat menduga bahwa kepergian Pak Frans yang segar bugar ke Malaysia, lalu pulang dalam keadaan almarhum? Kehidupan manusia memang penuh misteri.
KEBAJIKAN DI SORGA
Setelah pesta malam itu selesai, saya sempat menjabat tangan Pak Frans. “Sehat ya pak…” kata saya. “Ya sehat” katanya. “Saya sebetulnya tidak apa-apa. Baik-baik saja. Tetapi teman saya yang dokter ahli jantung menyarankan saya untuk operasi klep jantung. Kelainan klep jantung itu sudah saya bawa sejak kecil” katanya lagi. Tetapi tampaknya Tuhan YME berkehendak lain. Dalam usia 73 tahun Pak Frans dipanggil Tuhan secara mendadak, mungkin untuk melanjutkan kewajiban kebajikan di Sorga.
Kewajiban kebajikan yang dilakukan di dunia fana sudah dikenal luas di masyarakat. Membantu segala aspek kehidupan masyarakat. Melalui Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Pak Frans juga memberikan sumbangsih yang luas. Saya pernah membaca di sebuah majalah bahwa Dr. Frans termasuk orang terkaya No. 146 di Indonesia. Meskipun demikian, Pak Frans bukanlah seseorang yang suka berfoya-foya. Pada suatu ketika saya diundang makan siang di rumahnya yang anggun itu. Ketika saya mengambil nasi, ada terjatuh beberapa butir nasi di meja. Pak Frans dengan cekatan mengambilnya. Saya mengira akan dibuang di tempat sampah, atau ditaruh di piring nasi saya. Ternyata tidak. Nasi itu segera dimakannya. Beliau sama sekali tidak menoleh saya, sebagai pertanda marah. Kalem saja, dan segera duduk di meja makan, lalu mengambilkan lauk-pauk untuk piring saya. Wah saya malu setengah mati. Ketika saya berkomentar terhadap peristiwa nasi itu, Pak Frans dengan kalem mengatakan “ya, kalau sekian butir kali sekian juta orang, berapa ton nasi itu hilang percuma”katanya. Mungkin Pak Frans ingin memberi tahu saya, bahwa hidup ini harus prihatin, tetapi tidak boleh kikir.
HIDUP HARUS BER-NILAI
Salah satu sikap Pak Frans yang ditunjukkan kepada saya adalah bahwa hidup ini harus ber-nilai. “Hidup ini hanya sekali, dan untuk itu harus ber-nilai”katanya. Tampaknya filsafat hidup itulah yang menuntun tindakan Pak Frans dalam keseharian sosialitanya. Dimana-mana, tak segan-segan Pak Frans memberikan sumbangan yang tinggi. Sumbangannya diberikan untuk berbagai kegiatan kelompok, agama, suku, dan ras. Itulah sebabnya, Pak Frans dipanggil sebagai pengusaha yang nasionalistis. Beliau tak henti-hentinya memikirkan nasib orang lain, dan memikirkan nasib bangsanya. Tatkala terjadi peristiwa reformasi tahun 1998, Pak Frans membangun komunitas sosial, untuk mengantisipasi agar kericuhan tidak merembet hingga ke Bali. Usaha yang dilakukan ternyata sukses.
Sebagai orang tehnik sipil, Pak Frans memang terbukti sangat teliti, detail, dan tegas. Bicaranya sistimatis, lugas, dan tidak pandang bulu. Langsung to the point. Tidak ada diplomasi. Yang salah ya salah dan yang benar ya benar. Begitu Pak Frans sudah mengambil keputusan tentang pilihan yang dianggap benar, maka Pak Frans akan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan ikhlas. “Kita harus bertanggung jawab penuh terhadap apa yang kita katakan, agar kita ber-nilai”katanya.
Terhadap semua karyawannya, Pak Frans juga tanpa tedeng aling-aling. Tegas dan keras. Tetapi kesejahteraan kaaryawannya tentu saja sangat diperhatikan terlebih dahulu. “Karyawanlah yang membuat kita begini ini. Makanya nasib mereka harus diperhatikan”katanya lagi. Itulah sebabnya karyawan-karyawannya sangat segan. Pada suatu ketika, saya diajak Pak Frans meninjau Kampus Politeknik Internasional Bali (PIB) di Pantai Nyanyi, Kediri, Tabanan. Tanpa basa-basi, Pak Frans langsung berkeliling mengadakan peninjauan kawasan. Kalau ada yang tidak beres, maka Pak Frans tidak segan-segan berteriak memberikan komando perbaikan. Karyawannya hanya berani mengatakan “siap pak….siap pak..”. Setelah inspeksi selesai, Pak Frans berbisik kepada saya. “Harus begitu Pak Windia. Pimpinan harus tegas. Bahkan hanya dengan mendengar berita kedatangan kita saja, maka para karyawan sudah menganggap hal itu sebagai sebuah kontrol” katanya.
Kini Pak Frans sudah tiada. Kita mengenal Pak Frans sebagai seorang yang loyar, loyal, konsisten, sosial, bertanggung jawab, dan merawat pertemanan dengan hati. Pak Frans sering menelpun saya berjam-jam, untuk urusan sosial dan politik-kebangsaan. Memikirkan nasib veteran. Sering mengundang saya makan malam atau makan siang. Saat ini sudah tidak ada lagi dering telpun di pagi hari, untuk ngobrol berjam-jam. Dan pesta malam itu, adalah pesta yang terakhir bersama Pak Frans. Selamat Jalan Pak Frans. Merdeka……