Karangasem, 12/10 (Atnews) - Ketua Umum Badan Independent Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) Bali Komang Gede Subudi memantau kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang galian C yang tidak terkontrol memasuki lereng Gunung Agung di Karangasem, Sabtu (12/10).
Hal itu sungguh disayangkan yang berani memperkosa (merusak) bumi pertiwi kawasan yang sangat disucikan oleh Umat Hindu di daerah ini.
Oleh karena, dalam kawasan itu ada Pura Besakih yang merupakan tempat pemujaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) terbesar di Indonesia, Pura Penataran Agung (Sebudi, Sibetan dan Bhuana Giri).
Selain itu, hutan gunung juga sebagai sumber mata air untuk kebutuhan masyarakat Karangasem dan Klungkung.
“Merusak hutan sama dengan merusak sumber air, merusak air sama dengan merusak kehidupan,” ujarnya.
Namun belakangan ini, hutan Gunung Agung terbukti mengalami kebakaran berkelanjutan dalam rentang waktu yang lama, sungguh memprihatikan.
Padahal hutan di Gunung Agung bagi masyarakat Pulau Bali sebagai penghasil oksigen.
Minimnya kontrol itu akan menimbulkan korban jiwa seperti meninggalnya dua pekerja Galian C Rendang Karangasem hari Selasa (17/9) lalu.
Untuk itu, diperlukan perhatian dan tanggungjawab bersama antara, pemerintah, masyarakat dan penegak hukum.
Dengan adanya langkah-langkah kongkrit untuk menghentikan semua hal buruk.
Pemerintah mengatur regulasi dalam melindungi dan melestarikan kawasan itu serta menyiapkan program-program nyata untuk lingkungan.
Sedangkan masyarakat mengikuti aturan-aturan tersebut dengan baik demi kelangsungan hidup masa depan Bali.
Sementara itu, penegak hukum harus responsif terhadap kejadian-kejadian yang cendrung bisa membahayakan.
Aktivitas galian C yang kurang terkontrol tersebut telah merusak hutan seperti terjadi di kawasan Desa Sebudi maupun Desa Bhuana Giri.
Dalam bayangannya ketika hujan lebat dimungkinkan terjadi longsor besar yang merugikan semua pihak.
Begitu pula merusak fasilitas umum lainnya dari kegagalan kontrol terhadap aktivitas galian tersebut.
Apalagi dirinya merasa miris aktivitas tambang di pinggir jalan raya yang membahayakan pengguna jalan. Termasuk jalannya rusak parah dan berlubang.
“Saya prihatin melihat kiri dan kanan jalan ada penambang besar-besaran dengan kedalaman di luar batas toleransi,” tegasnya.
Subudi mengajak setiap insan menurunkan ego masing-masing dalam menjaga alam lingkungan Bali yang akan diwariskan kepada anak cucu dikemudian hari.
Mengingat Bali sebagai Pulau Dewata yang penduduknya berbudaya tinggi dengan memegang prinsip “Tri Hita Karana” atau tiga hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungan.
Keunggulan Bali itu patut dijaga agar tetap menjadi tujuan wisata dunia dari berbagi negara.
Selain itu, Gunung Agung kembali erupsi Tahun 2017 hingga kini masih berstatus Siaga (Level III) setelah meletus pada tahun 1963.
Hal itu menandakan keseimbangan alam Bali mulai bermasalah.
Untuk itu, pihaknya mengharapkan agar masyarakat Bali tetap eling (mengingat) dan sadar menjaga Bali yang kecil, indah dan dijuluki Pulau Seribu Pura tetap dijaga kelestariannya demi kebaikan bersama.
“Menjaga lingkungan berarti menghormati ibu pertiwi,” tutupnya.(ART/02)