Oleh : Drs.IB.Putu Sudiarta,S.Pd.,M.Si
Melihat kondisi yang memprihatinkan Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan dan merefleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan. Keterampilan membaca berperan penting dalam kehidupan kita karena pengetahuan diperoleh melalui membaca.
Oleh karena itu, keterampilan membaca ini harus dikuasai peserta didik dengan baik sejak dini. Di era digital, ketika teknologi digital diintegrasikan ke dalam pembelajaran, pelatihan literasi digital hendaknya diintegrasikan pula dengan pengembangan karakter guru agar kian mumpuni. Integrasi teknologi digital ke dalam pemelajaran adalah metode pemajuan pendidikan secara cepat.
Perkembangan teknologi merupakan senjata menghadapi perubahan zaman dengan percaya diri. Untuk itu kita butuh guru yang cakap pedagogis,sosial,dan kognitifnya sebagai navigator teknologi di sekolah. Guru yang mahir berteknologi bisa mengoptimalkan teknologi tidak hanya sebagai sarana berkomunikasi tetapi juga menunjang pengayaan pemahaman, pengasahan kreativitas dan pengembangkan potensi siswa.
Mengutip sambutan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad dalam Panduan Gerakan Literasi Sekolah Dasar/GLS bahwa dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Assosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the International Association for the Evaluation of Educational Achievement) dalam Progress in Internasional Reading Literacy Study(PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Selain itu, PIRLS berkolaborasi dengan Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) menguji kemampuan matematika dan sains peserta didik sejak tahun 2011.
Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD-Organization for Economic Coorporation and Development) dalam Programme for International Student Assessment(PISA). Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan, dan merefleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan.
Dalam PIRLS 2011 International Results in Reading, Indonesia menduduki peringkat ke 45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA,2012). Sementara itu, uji leterasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada posisi ke-64 dengan skor 396 dengan skor rata-rata OECD 496 (OECD,2013). Dari jumlah peserta sebanyak 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Data PIRLS dan PISA itu, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah.
Pertanyaannya, ada apa dengan kegiatan pendidikan membaca/ literasi di negeri kita ? apa saja faktor-faktor penyebabnya yang menjadi kendali dalam hal itu? Rendahnya keterampilan tersebut membuktikan bahwa proses pendidikan belum mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan. Praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah selama ini juga memperlihatkan bahwa sekolah belum berfungsi sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan semua warganya sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Untuk mengembangkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.23 Tahun 2015.
Salah satu kegiatan dalam gerakan tersebut adalah "kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai". Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai lebih baik.
Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional dan global yang disampaikan sesuai tahapan peserta didik.Terobosan GLS ini mengajak semuanya terlibat, melibatkan semua pemangku kepentingan dibidang pendidikan, mulai dari tingkat Pusat, provinsi, kabupaten /kota, hingga ke satuan pendidikan (sekolah) sebagai pelaksana yang paling bawah dalam kegiatan GLS tersebut.
Disamping itu, Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen sangat penting dalam GLS.
Sebagai bagian dari pelaksana GLS ini, guru memiliki peran strategis dengan arahan kepala sekolah kretaif dan inovatifnya, menjadikan GLS sebagai prosesi yang mengantarkan peserta didik ke masa depan yang lebih cemerlang dan cerdas melalui GLS ini. Melalui gerakan yang dilaksanakan bertajuk GEMESWA adalah Gerakan Membaca Setiap Waktu yang dikelola oleh seluruh guru baik guru kelas, wali kelas maupun guru mata pelajaran (mapel).
Namun yang perlu dicermati adalah adanya penghilangan sistem pembelajaran membaca pada kelas bawah kelas 1,2,3. Mestinya, pembelajaran Calistung (baca- tulis- hitung) masih tetap diberikan kepada peserta didik satu semester pertama di kelas awal, sebab sebagai tindaklanjut dari tidak diajarkannya membaca di TK sehingga di Sekolah Dasar wajib diberikan prosesi pembelajaran membaca sehingga daya mampu dan komptensi keterbacaannya mulai tergarap.
Namun yang terjadi karena kurikulum yang ada sekarang menutup prosesi itu dan guru diharuskan menuntaskan semua materi yang harus dijejalkan kepada anak-anak peserta didik di kelas rendah sehingga hasilnya sangat jauh dari harapan setelah dilakukan penilaian tengah semester/PTS. Banyak anak-anak yang belum bisa menjawab pertanyaan karena mereka tidak bisa membaca, jangankan menjawab pertanyaan, membaca saja mereka belum mahir dan belum terampil dalam memetakan kata-kata menjadi kalimat yang dituangkan dalam soal -soal/test yang dibuat ditingkat Kecamatan/kab/kota oleh Tim pembuat soal.
Dan kalau seperti ini wajarlah peringkat kita masih rendah baik diukur dari tingkat nasional maupun internasional. Sebab,kurikulum yang dijadikan referenasi guru lebih mementingkan sisi ilmu pengetahuannya dari pada keterampilan dasar untuk memahami pengetahuan selanjutnya. Artinya kemampuan dan keterampilan membaca anak yang secara wajar harus dimulai dari awal, diajarkan, dilatih dibimbing, kemampuan anak-anak didik membaca yang diajarkan secara terstruktur, mulai dari merangkai huruf-huruf (konsonan- vokal) menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, kemudian merangkai kata-kata menjadi kalimat, dan kumpulan kalimat- kalimat menjadi alinea.ini yang belum dan sudah mulai dihilangkan dalam pembelajaran digantikan dengan materi-materi yang bagi anak-anak sangat berat.
Secara psikhologis akan menggangu perkembangan anak-didik kita, sebab materi yang belum waktunya sudah dipaksakan kepada anak didik kita. semoga ada kemauan untuk melakukan revisi kebijakan pendidikan oleh para pengambil kebijakan. Hal itu bisa dilkakukan dengan melakukan revisi Kurikulum Nasional/KURNAS/ Tim kurnas melakukan revisi pembelajaran di kelas rendah di seluruh Indonesia bahkan hal itu bisa disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing serta MBS/manajemen berbasis sekolah /otonomi sekolah menjadi rujukan dalam mengelola sekolahnya.(Ibs/02)