BANGLI, 5/4 (Atnews) -- Pulau Bali memang tersohor dengan keunikan adat dan budayanya . Walau kita memasuki era globalisasi yang dibarengi dengan adanya pergeseran prilaku , namun eksistensi adat dan budaya Bali tetap terjaga dengan baik.
Buktinya tradisi yang dimiliki Desa Pengotan, Bangli, dimana warga Desa Pengotan mengenal tradisi kawin massal dan sampai saat ini masih terjaga seperti yang dilaksanakan Jumat (05/04) yang diikuti 17 pasang penganten.
Selain itu, berbagai tradisi unik lainnya juga dimiliki desa yang merupakan salah satu desa Bali Mula (Bali kuna).
Bendesa Adat Pengotan Jro Wayan Kopok saat dikonfirmasi menjelaskan untuk nikah massal hari ini Jumat (05/04/2019). Tradisi kawin massal (Nganten bareng-bareng) biasa dilaksanakan dua kali dalam setahun yakni pada sasih Kapat dan sasih Kedasa .
“Kalau tidak ada pesebelan atau kekeran desa, biasanya tradisi kita lakukan setiap sasih kapat dan sasih kedasa,” jelasnya.
Tradisi kawin massal dipusatkan di Pura Penataran Agung Desa Pengotan. Setiap peserta hanya dibebani biaya upacara sesuai kebutuhan saja.
Tentu dibandingkan dengan pelaksanaan upacara perkawinan yang dilakukan secara pribadi biayanya bisa ratusan kali lipat.
“Tradisi kawin massal ini juga bisa menghemat biaya,” kata Kopok.
Ditanya soal sarana upakara, kata Kopok, sedikit beda dengan pesta pernikahan di Bali pada umumnya. Dimana, untuk desa lain umumnya memakai babi untuk ulam banten (sesaji) namun untuk di Desa Pengotan menggunakan sapi cula (sapi jantan yang telah dikebiri),sebagai sarana utama bahan upacara pernikahan yang mana di desa ini disebut dengan ngaturang pekandelan yang dihaturkan di Pura Bale Agung.
“Kalau dulu setiap mempelai membawa seekor sapi cula. Namun seiring berjalanya waktu ,kini telah disederhanakan menjadi seekor sapi untuk semua mempelai dengan cara urunan,” katanya.
Kata Kopok , untuk runutan jalannya upacara , pagi harinya diawali dilaksanakan musyawarah. Siapa-siapa saja yang ikut upacara ini dan kesiapan yang sudah dilakukan masing-masing peserta.
Selanjutnya baru sapi dipotong dan ditaruh di bale-bale di Pura Bale Agung.
Kemudian pengantin dengan menggunakan pakaian adat Bali Kuno khas Desa Pengotan, berjejer di sisi pura untuk melangsungkan upacara pembersihan diri atau byakala.
Prosesi ini dipimpin oleh Jero Dalang Jebut. Lanjutnya suasana bahagia tampak terpancar dari wajah seluruh mempelai.
Sesekali sorak sorai warga terdengar riuh saat masing-masing mempelai dipersilakan masuk ke areal jeroan pura dengan menggandeng pasangannya masing-masing. Setelah semua pengantin diupacarai baru mereka masuk ke pura Bale Agung untuk berkumpul di bale pertemuan yang oleh warga Pangotan disebut bale jejaitan. Pengantin pria duduk disebelah selatan dan pengantin wanita duduk dibagian utara. Disana para pengantin, harus mengunyah daun sirih layaknya para orang tua jaman dulu.
Usai di bale jejaitan baru pengantin melangsungkan prosesi mepamit di semanggen yang terletak di timur Bale Agung. Baru sehabis itu dilangsungkan prosesi di Bale Agung. Saat prosesi di Bale Agung pengantin wanita membawa damar kurung dan diserahkan kepada dulu desa (pemuka adat). Sedangkan pengantin pria mendampingi didekatnya.
Dijelaskan juga, selama tiga hari setelah upacara pengantin tidak diperbolehkan lagi keluar rumah karena sedang puasa dan selanjutnya dilaksanakan upacara tipat bantal, dimana yang pria membawa banten upacara kepihak perempuan.
Ungkap Kopok tradisi kawin massal wajib diikuti oleh seluruh warga yang ingin membina kehidupan berumah tangga. Sebab, sesuai awig di desa setempat, bagi warga yang melanggar bisa dikenakan sanksi. Jika ada warga yang berani kumpul kebo, hingga membuat sang wanita hamil di luar nikah, kena sanksi adat. Berupa denda Rp 45 ribu perbulan, dengan perincian setiap rerainan seperti purnama, tilem dan anggara kasih kena Rp 15 ribu. Selain itu warga yang melanggar juga terkena sanksi moral, bila ada warga yang sudah melakukan perkawinan diluar tradisi kawin massal, maka selama itu juga dilarang masuk ke wilayah desa pekraman Pengotan.” tegasnya. Anggi/ika).