Denpasar (Atnews) - Peneliti dan Pemerhati Lingkungan Bali Dr Ketut Gede Dharma Putra menyoroti fasilitas pengolahan sampah di Bali masih buruk.
Meskipun telah terbit Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai dan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
"Coba kita lihat di lapangan sekarang penggunaan tas plastik dan styrofoam semakin marak karena peraturan gubernur tidak diikuti dengan penegakan hukum, sehingga dianggap himbauan saja," kata Dharma Putra usai menjadi narasumber ASEAN-Norwegian Cooperation Project on Local Capacity Building for Reducing Plastic Pollution in the ASEAN Region (ASEANO) di Denpasar, Selasa (30/11).
Oleh karena kondisi TPA Suwung nyaris overload, akhirnya tidak jadi dibangun Waste to Energy seperti dicanangkan dalam Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
"Pencemaran akibat sampah akan menjadi bencana dasyat bagi Bali bila kita tidak segera memiliki fasilitas yang memadai di bidang pengolahan residu sampah yang representatif di Bali," ujarnya.
Menurutnya, pengelolaan sampah berbasis sumber memang sebuah konsep/ide yang bagus tetapi saat ini baru sebagian kecil saja yang sudah diimplementasikan, desa-desa lainnya masih selalu dalam proses.
Bahkan seolah olah pemerintah Bali memberikan masalah kepada desa - desa untuk menyiapkan fasilitas pengolahan sampah.
Padahal tidak semua desa memiliki kemampuan dalam pengelolaan sampah, terutama terkait penyediaan lahan untuk fasilitas pengolahan.
"Jika desa tidak memiliki usaha yang cukup, tentu jadi kesulitan desa dimaksud dalam mengelola sampah yang membutuhkan biaya yang cukup besar, " tegasnya.
Begitu pula, saat ini pengolahan limbah medis yang dibangun di Bali belum beroperasi sehingga limbah medis masih harus dikirim ke luar Bali yang menjadi mahal karena kebijakan penyeberangan/ pengangkutan limbah medis memerlukan rekomendasi khusus di pelabuhan penyeberangan.
"Yang saya sampaikan adalah data dan fakta yang ada saat ini. Saya sangat khawatir pada saat musim hujan nanti, masalah persampahan ini akan menjadi bencana kalau tidak segera ada implementasi tindakan pengoperasian fasilitas pengolahan sampah di semua kabupaten/ kota di Bali," ungkapnya.
Apalagi Bali akan menjadi tuan rumah perhelatan KTT G20, tentu akan menjadi perhatian dunia yang tengah fokus pada bidang lingkungan dalam antisipasi perubahan iklim maupun pengembangan green energy.
Dikatakan pula, memang di beberapa lokasi/ khususnya desa - desa yang berada di kawasan pariwisata atau ada usaha/jasa lain yang menyebabkan desa tersebut memiliki anggaran lebih untuk opersional fasilitas TPS3R program pengolahan sampah berbasis sumber bisa berjalan dengan baik.
Namun kalau dilihat desa-desa lainnya sebagian besar mengalami masalah terkait penyediaan fasilitas pengolahan sampah yang memerlukan anggaran dan kesiapan sumber daya manusia yang berkelanjutan.
Fakta di Bali, semua pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kebijakan penyiapan anggaran pengolahan residu sampah (tipping fee) sehingga persoalan pengolahan residu sampah di TPA akan mengalami permasalahan teknis.
Untuk itu, baginya saat ini secara keseluruhan fasilitas pengolahan sampah khususnya sampah plastik apalagi limbah B3/medis di Bali masih buruk.
Sesuai dengan undang undang yang paling bertanggung jawab terkait masalah ini adalah pemerintah kota/kabupten di Bali.
Ia mengharapkan, semoga kondisi ini segera bisa berubah, barangkali tahun depan atau dua tahun lagi atau tiga tahun lagi dan seterusnya.
"Saya agak khawatir karena akibat Pandemi Covid-19 hampir semua kabupaten/kota di Bali mengalami masalah anggaran akibat PAD yang terganggu karena pendapatan di sektor pariwisata mengalami penurunan yang sangat drastis akan mempengaruhi kebijakan penanganan sampah," ujarnya.
Jadi kalau hanya untuk contoh bagi daerah lain di Indonesia, bisa pakai contoh desa
- desa yang sudah punya fasilitas dan sistem pengelolaan sampah yang didukung oleh kegiatan bisnis lainnya yang dimiliki oleh desa tersebut.
Salah satu contoh pusat pengolahan sampah yang dibantu dana CSR dari PT Indonesia Power di Desa Kusamba Klungkung. Lahan yang digunakan milik Pemerintah Provinsi Bali Tidak semua desa di Bali beruntung bisa menggunakan lahan milik pemerintah.
Kalau ada lahan di desa, masalah yang terjadi kalau hendak dijadikan tempat pengolahan sampah berbasis sumber adalah rute pengangkutan sampah dan izin dari penyanding di sekitar lokasi.
Kebanyakan kawasan yang ada di desa tidak mengizinkan lahan di lokasinya dijadikan tempat pengolahan sampah. (GAB/ART/001)