Oleh Jro Gde Sudibya
Diberitakan di medsos, upakara ngenteg linggih di sebuah desa di Bali, dipenuhi dengan atribut partai, sehingga menimbulkan persepsi penyelenggaran upakara keagamaan "berbaur" dengan kampanye politik.
Padahal masa kampanye belum dimulai. Terjadi kerancuan dalam prilaku berpolitik, kesannya terjadi "campur baur" antara upakara yang semestinya disucikan dengan kampanye politik terselubung.
Penggunaan simbol SARA jangankan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan, menggunakannya dalam kompetisi politik kekuasaan adalah sebuah kemunduran politik kebangsaan, sangat berbahaya dalam pengelolaan kehidupan bersama bangsa dan bahkan masa depan bangsa.
Dapat diberikan beberapa alasan dalam konteks ini, pertama, berdasarkan pengalaman Pilkada DKI beberapa tahun lalu, masyarakat mengalami polarisasi sosial yang tajam, karena prasangka, hoax, ujaran kebencian yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, merujuk pemikiran Bapak - Ibu Pendiri Bangsa dan kemudian tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuhnya, identitas SARA, bukanlah untuk dipertentangkan, apalagi.dijadikan alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Sejarah agama - agama dan sejarah Tuhan membuktikan, jika simbol SARA dipergunakan sebagai alat perebutan kekuasaan, masyarakat, negara bangsa dengan mudah terjebak pada konflik dan bahkan perang berkepanjangan. Buku Sejarah Tuhan dari Karen Amstrong banyak mengulasnya.
Ketiga, dalam perspektif pemikiran Soekarno, penggunaan isu SARA, kosa kata mayoritas - minoritas (dalam konteks pemikiran kebangsaan Soekarno), adalah sebuah kemunduran dan bahkan pengkhinatan terhadap paham kebangsaan Soekarno yang semestinya harus terus kita rawat, jaga dan tumbuh kembangkan bersama.
*) Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 - 2004, "juru bicara" spiritualisme intelektualitas Sang Putra Fajar.