Denpasar (Atnews) - Cucu Pahlawan I Gusti Ngurah Rai yang juga Anggota DPRD Badung I Gusti Agung Ayu Inda Trimafo Yudha yang akrab dipanggil Gek Inda mengagumi Buku “Prosa Gerilya” Mengurai Kisah Ngurah Rai karya Andre Syahreza.
Buku setebal 208 halaman tersebut telah dilaunching yang bertepatan dengan HUT ke-78 Kemerdekaan RI di The Apurva Kempinski Sawangan Nusa Dua, Kamis (17/8).
Pada kesempatan itu, Gek Inda didampingi Gung Nanik. Pada acara launching juga diisi Pembacaan Puisi oleh Gek Inda juga Ketua DPD Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia ( PUTRI) Bali.
“Ini sebuah buku yang inovatif dan humanis. Kami apresiasi buku ini. Ini juga berkat gerilya penulis sehingga bisa menghasilkan buku yang sangat penting bagi generasi mendatang,” ungkap Gek Inda di Denpasar, Kamis (24/8).
Dengan buku itu, diharapkan spirit Pahlawan I Gusti Ngurah Rai selalu menjiwai bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Bali dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa mendatang.
Generasi muda bisa menerapkan spirit itu dalam menyiapkan diri menyambut generasi emas 2045.
Ia pun menuturkan awal rencana penulisan Biografi Pahlawan I Gusti Ngurah Rai bertemu dengan penulis buku tersebut yakni Andre Syahreza adalah penulis Indonesia yang pernah diundang ke negeri Belanda oleh Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV).
Menurutnya, kisah perjuangan I Gusti Ngurah Rai sudah banyak pihak yang mengulasnya. Baik pertempuran antara Indonesia dan Belanda dalam masa Perang kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 20 November 1946.
Dimana Pasukan TKR di wilayah ini bertempur dengan habis habisan untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai kembali wilayahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia II, mengakibatkan gugurnya seluruh pasukan termasuk I Gusti Ngurah Rai yang kemudian dikenang sebagai salah-satu Puputan pada era awal kemerdekaan serta mengakibatkan Belanda sukses mendirikan Negara Indonesia Timur.
Dijelaskan pula, dalam buku itu dijelaskan bahwa Pahlawan I Gusti Ngurah Rai dalam Pertempuran di Tanah Aron adalah kemenangan besar bagi 400 pejuang Indonesia yang bertempur melawan 2000 tentara Belanda.
Selanjang perjalanan gerilya pertempuran di Tanah Aron adalah pertempuran terbesar yang dimenangkan Resimen Ngurah Rai.
Pertempuran itu layak dikenang sebagai kemenangan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, suatu pernytaan penting dalam konteks politik dinmasa itu, bahwa Indonesia mengalahkan Belanda di Tanah Dewata.
Dalam konteks itu, pertempuran di Tanah Aron mungkin layak diberi penghormatan yang lebih tinggi dibanding Perang Puputan itu sendiri. Sebab pada pertempuran itu, tidak ada satu pejuang pun yang mati.
Demi menghormati perjuangan fi Tanah Aron sebuah monumen didirikan. Monumen itu diresmikan oleh Bupati Karangasem pada tanggal 7 Juli 2013, tanggal pertempuran yang terjadi 67 tahun sebelumnya.
Patung Ngurah Rai tampak menjulang tinggi pada pucuk monumen itu dikelilingi patung-patung pejuang yang menggembam bambu rucing di bagian bawahnya.
Monumen itu berada di kaki Gunung Agung, percis di titik diperkirakan pertahanan utama para gerilayawan. Namun dibawahnya itu ditemukan penambangan galian C dan truk-truk pengakut material.
Gek Inda justru lebih mengulas terkait nilai-nilai perjuangan pada masa kini, khususnya dalam bidang pariwisata.
Dibalik peristiwa heroik perjuangan I Gusti Ngurah Rai melawan penjajah Belanda yang dikenal dengan Pertempuran Puputan Margarana. Namun ada peran Belanda yang ikut promosikan destiansi pariwisata Bali di luar negeri.
Keindahan Bali dikenal sejak awal tahun 1908, watu itu orang Belanda atau dengan panggilan meneer Belanda datang dari Batavia mau ke Lombok.
Sebelum sampai ke Lombok mereka singgah di Bali dengan armada kapal laut. Dan kedatangan mereka ke Bali juga untuk membeli rempah-rempah atau urusan pemerintahan kolonial.
Tepatnya pada tahun1920, ada seorang meneer Belanda sebagai turis pertama datang ke Bali hanya untuk jalan-jalan saja.
Hebatnya Bali, awalnya sejak dulu sebenarnya tidak pernah melakukan promosi wisata.
Sebaliknya, karena keindahan Bali sendiri yang dipromosikan oleh tiap turis yang datang ke Bali di negaranya.
Promosi itu melalui lukisan tentang kindahan alam dan budaya Bali. Seperti lukisan Antonio Blanco di tahun 1930-an. Belum lagi Kuta, Seminyak dan sekitarnya semakin terkenal karena para Surfer.
"Saya pun mendapatkan informasi, salah satu petinggi Belanda pernah meninggal karena main surfing daerah Kuta," ujarnya.
Bahkan warga negara Belanda hal indah Bali yang lebih dikenal dibandingkan informasi terkait penjajahan yang pernah dilakukan.
Untuk itu, pihaknya pun memberikan apresiasi kepada Pemerintah Belanda yang akan mengembalikan ratusan benda bersejarah yang pernah "dirampas" negara itu dari Indonesia saat masa penjajahan dahulu.
Sedangkan, Andre Syahreza mengaku menulis buku itu gaya biografi. “Buku ini tadinya ingin saya tulis dengan gaya biografi. Tapi dalam perjalanan, saya melihat banyak relevansi historis yang bisa ditulis mengiringi kisah I Gusti Ngurah Rai. Relevansi itu berkaitan dengan Bali hari ini. Karena itu, buku ini bukan saja bercerita tentang Ngurah Rai, tapi juga tentang masa lalu Bali yang jarang dikenali di masa kini. Kisah Ngurah Rai saya tempatkan sebagai mainstream untuk merangkai keseluruhan cerita. Buku ini bisa menjadi penyambung lidah tentang perjalanan pahlawan Ngurah Rai,” ujar Andre.
Ia juga dikenal sebagai penulis beberapa buku, di antaranya The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta (Gagas Media, 2006), Black Interview (Gagas Media, 2008), dan City of Fiction (Gramedia, 2010). Ia memulai kariernya sebagai wartawan lepas di Bali Post dan koresponden TEMPO di Bali.
Kemudian sebagai editor di Bali Echo, lalu ikut merancang majalah Latitudes Diarsipkan 2019-12-22 di Wayback Machine., sebuah majalah cultural studies berbahasa Inggris yang berbasis di Denpasar, Bali.
Pada kesempatan itu, Penulis buku Prosa Gerilya Andre menyerahkan buku kepada GM Apurva Kempinski Vincent Guironnet.
Sementara Vincent Guironnet selaku General Manager The Apurva Kempinski mengatakan
kontribusi I Gusti Ngurah Rai menjadi pahlawan tidak hanya untuk Bali tapi juga seluruh bangsa, menjadi jati diri Indonesia.
Hari ini, hari Kemerdekaan Indonesia merupakan saat yang tepat untuk meluncurkan buku Andre tentang I Gusti Ngurah Rai. “Saya tahu tentang I Gusti Ngurah Rai bahwa ia adalah pahlawan untuk Bali dan Indonesia,” ujar Vincent.
“Menurut saya sejarah itu tidak hanya untuk masa lalu tapi juga untuk masa mendatang. apa yang telah ia perjuangkan merupakan apa yang kita dapat miliki sekarang,” tambahnya.
Begitu juga Gung Nanik mengapresiasi buku tersebut termasuk pihak Apurva Kempinski yang memberi ruang bagi launching buku tersebut.
“Kalau dulu musuh kita jelas yakni melawan penjajah, sekarang beda musuh kita melawan kemiskinan, dll. Ngurah Rai punya leadership yang kuat, berani menghadapi resiko (mati). Berjuang meninggalkan keluarga. Jadi bagaimana ketauladanan itu bisa dilanjutkan generasi mendatang. Kita berharap pemimpin sekarang bisa seperti itu,” ungkap Gung Nanik.
Sastrawan Seno Gumira Ajidarma menyebutkan buku karya Andre ini “Sebuah prosa yang ditulis dengan cara berbeda. Masa lalu dan masa kini dipadu menjadi seru, membaurkan batasan-batasan antara deskripsi, narasi dan argumentasi. Bukan saja sebuah referensi unik tentang sejarah, tapi juga sebuah alternatif penting untuk Sastra Indonesia”.
Prosa Gerilya adalah buku keempat yang ditulis Andre setelah 13 tahun menulis buku. Sebelum menulis prosa tentang Brigjen (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai, ia juga menulis biografi Panglima TNI Jenderal (Purn.) Andika Perkasa dan biografi Panglima Kodam Siliwangi Mayjen (Purn.) Nugroho Budi Wiryanto. Ja juga dikenal sebapai praktisi digital media dan pegiat brand journalism.
Andre Syahreza adalah penulis Indonesia yang pernah diundang ke Belanda sebagai fellow researcher di The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies untuk meneliti sejumlah karya sastra Indonesia. Penulis kelahiran Jakarta ini pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, sambil bekerja paruh waktu sebagai jurnalis.
Di Jakarta, ia mengawali karier sebagai Editor majalah Djakarta. Kumpulan tulisannya di majalah diterbitkan dalam buku bertajuk The Innocent Rebel (2006), Black Interview (2008) dan Ciry of Fiction (2010). Ia kemudian berkiprah di sejumlah majalah lifestyle dan pariwisata. Pada tahun 2018 dan 2019 ia menerima penghargaan Anugerah Pewarta Wisata Indonesia (APWI) dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk artikelnya di majalah Colours (Garuda Indonesia) dan Mutiara Biru (Bluebird Group). (GAB/001)