Denpasar (Atnews) - Rektor Dwijendra University Prof. Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA mengatakan, sampah di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Bali masih menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat.
Penumpukan sampah dengan volume yang sangat besar, seperti di TPA yang ada di kawasan Denpasar telah membawa berbagai dampak lanjutan.
Di antaranya adalah aroma atau bau busuk, sumber penyakit, tingginya gas metan, kebakaran, suramnya nilai estetika dan lain sebagainya. Kondisi ini sangat mempengaruhi lingkungan termasuk perubahan iklim.
Bali sebagai salah satu destinasi wisata internasional, harus tetap dijaga keberaihan, kenyamanan, keamanan kesehatan dan lingkungan, nilai estetika selain nilai-nilai sosial budaya guna mepertahankan dan meningkatkan citra Bali di masyarakat termasuk wisatawan baik dari dalam negeri maupun manca negara.
"Sampah yang telah menimbulkan dampak dan mempengaruhi ekosistem lingkungan pariwisata perlu dikelola secara lebih bijaksana untuk mencegah dampak buruknya dan bahkan dapat memberikan dampak yang positif," ujar Prof Sedana yang juga Ketua HKTI Bali di Denpasar, Selasa (22/11).
Mengingat pengelolaan sampah yang bersifat multi-dimensi, maka pengelolaan sampah tersebut harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi dari masing-masing sektor, antar displin ilmu, antar kelompok masyarakat dan pemerintah. Diharapakan bahwa sampah yang semula menjadi suatu masalah dapat diubah menjadi berkah yang dinikmati oleh masyarakat, pemerintah dan stakeholder lainnya, misalnya dengan cara membangun kawasa wusata terintegrasi berbasis sampah pada TPA.
Pemikiran ini didasari atas keberhasilan beberapa TPS3R yang telah dibangun di beberapa desa di Bali yang mampu dikelola secara baik dan dijadikan sebagai salah satu obyek kunjungan wisatawan.
Pengelolaan TPS3R tersebut dikelola dalam skala yang kecil, sehingga jika dapat dibangun pada TPA/TPST akan menjadi kawasan yang lebih luas dan dapat diintegrasikan dengan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, seperti pengolahan sampah, memasarkan produk-produk berbahan dasar sampah, kegiatan ilmiah tentang sampah, arena bermain anak-anak dan aktivitas lainnya yang dapat menarik calon wisatawan dan wisatawan yang memasuki kawasan wisata tersebut.
Pembangunan kawasan wisata terintegrasi yang berbasis sampah diawali dengan mengkosolidasi dan mengintegrasikan regulasi padda level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Penyediaan teknologi industri, yaitu mesin pengolah sampah dan penunjangnya menjadi salah satu komponen utama yang dapat memastikan bahwa sampah dapat diolah dan diubah menjadi produk olahan yang bernilai ekonomis atau memiliki nilai tambah.
Informasi dari media menyebutkan bahwa volume sampah di Kota Denpasar mencapai 320 ton/hari. Dengan menggunakan teknologi sampah tersebut dapat diubah bentuknya menjadi berbagai produk olahan yang dibutuhkan oleh industri atau pabrik dan juga oleh masyarakat lokal dan wisatawan.
Keintegrasian pembangunan kawasan wisata ini juga melibatkan pelaku industri kreatif, UMKM yang memiliki kapasitas dalam mengolah sampah menjadi produk kerajinan dengan berbagai disain yang memiliki keunikan tersendiri.
Tentu saja hal ini akan menarik juga berbagai kalangan untuk semakin tinggi keiinginannya untuk mengunjungi kawasan wisata tersebut. Oleh karena itu, kawasan ini akan menjadi distinasi wisata alternatif selain kawasan wisata konvensional, seperti pantai, danau, gunung dan lain sebagainya.
Dalam pengembangannya, sangat dibutuhkan investasi dari investor yang bekerja sama dengan pemerintah, penguatan sumber daya manusia, dan regulasi yang pendukungnya. Berdasarkan pada kapasitas mesin pengolah sampah yang dimiliki oleh investor, volume sampah yang tersedia setiap hari dapat dikelola secara optimal untuk memastikan adanya manfaat ekonomis, sosial, budaya dan lingkungan bagi Bali melalui efek dominonya.
Sebagai gambaran bahwa dibeberapa kabupaten di Indonesia, seperti Cilacap telah berhasil melakukan pengelolaan sampah dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF).
RDF merupakan suatu hasil pengolahan sampah yang mampu menurunkan kadar air sampai 25 % melalui proses pengeringan dan untuk menghasilkan energi atau nilai kalor yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, pengelolaan sampah dengan RDF yang dihasilkan dapat digunakan menjadi salah satu energi alternatif yang semakin dibutuhkan oleh pabrik-pabrik yang ada, khususnya di luar Bali. Bagi Bali, pengolahan sampah ini akan dapat memberikan manfaat ekonomis, yaitu sumber penerimaan daerah yang sekaligus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). berbagai perusahaan atau pabrik-pabrik.
Atau dengan kata lain, pengelolaan sampah tersebut dapat meminimalkan dampak negatif dari penumpukan sampah dan bahkan sebaliknya menghasilkan energi yang disertai dengan bertambahnya pundi-pundi ekonomis daerah.
Selain menghasilkan energi, sampah- sampah juga dapat diolah menjadi produk-produk lainnya seperti biogas, pupuk kompos atau pupuk organik dengan menggunakan teknologi yang bervariasi dan bentuk pelet untuk pakan ternak. Sampah yang tidak organik (non-organik), dapat diolah atau diubah menjadi produk-produk kreatif dan menarik, seperti melalui industri kecil dan kerajinan rakyat, UMKM, dan produk-produk lainnya yang memiliki nilai ekonomis dan estetika. Di beberapa desa yang tersebar di Bali, pengelolaan sampah tersebut sering dikenal dengan prinsip 3R yaitu Reuse, Reduce dan Recycle.
Dalam pengembangan Kawasan Wisata Terintegrasi yang Berbasis Sampah pada TPA/TPST, diperlukan adanya studi atau kajian yang komprehensif sebelum dilakukan perancangan dan perencanaan Kawasan tersebut. Sebagai bagian dari Pembangunan pariwisata budaya, maka perencanaan kawasan harus disiapkan disain yang bernuansa lansekap/arsitektur tradisional Bali.
Arsitektur tradisional Bali yang mewarnai kawasan wisata memiliki tujuannya untuk meningkatkan daya tarik bagi calon wisatawan dan wisatawan yang berkunjung. Beberapa konsep yang perlu diperhatikan dalam perancangan dan perencanaan Kawasan wisata tersebut adalah konsep zoning, bentuk dan tipe bangunan dan struktur bangunan, view, aksesbilitas, sirkulasi, vegetasi, kebisingan, pencahayaan sinar matahari, arah angin, dan utilitas. Bahkan diperlukan adanya variasi bangunan baik terbuka maupun tertutup (gedung) untuk menjamin kenyamanan wisatawan dalam berbagai kegiatan seperti rekreasi selain mengunjungi tempat pengolahan sampah itu sendiri.
Tempat-tempat khusus untuk memasarkan atau penjualan produk-produk dari kerajinan dan industri kecil serta UMKM yang berbahan sampah dapat didorong menjadi produk andalan dan menjadi daya tarik yang spesifik atau unik bagi wisatawan.
Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mengubah kawasan yang semula kumuh menjadi kawasan yang menarik yaitu Kawasan wisata terintegrasi dengan menciptakan nilai keindahan atau estetika, membangun wahana rekreasi wisatawan, mendorong adanya aktivitas akademik dan ilmiah bagi para siswa dan mahasiswa dan akademisi lainnya. Dismaping itu, Kawasan wisata tersebut dapat memberikan peluang kesempatan kerja baru bagi warga masyarakat, menjaga lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang membahayakan kerusakan atmosfir dan perubahan iklim. Pada aspek ekonomis, multi-manfaat kawasan tersebut adalah memberikan nilai tambah bagi masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah.
Namun, pemikiran yang sedemikian ini masih memerlukan adanya kajian-kajian yang holistik dengan melibatkan berbagai sektor, akademisi, industri, pengusaha, warga masyarakat dan lain sebagainya guna mewujudkan kawasan wisata terintegrasi yang berbasis sampah. (Z/ART/001)