Oleh I Gede Sutarya
Hindu di Bali, terutama di desa pakraman tampak seperti agama Hindu yang khusus sebab tidak menunjukkan cermin dari dominasi kaum Brahmana. Pendeta-pendeta lokal desa pakraman yang disebut pemangku adalah para pejabat fungsional desa adat yang disebut prajuru yang berarti pelayan sehingga pendeta lokal ini adalah pelayan warga desa pakraman. Penyematan istilah pelayan sosial seperti ini merupakan istilah-istilah pemerintahan republik. Pemerintahan republik menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan para pejabatnya sebagai pelayan sosial.
Pendeta sebagai pelayan warga adalah hal yang unik dalam tradisi masyarakat Hindu, sebab Brahmana dalam tradisi Hindu menempati status tertinggi. Brahmana adalah guru tertinggi dari masyarakat Hindu yang perintah-perintahnya harus dilaksanakan (Wikipedea, 2025), tetapi pendeta-pendeta lokal ini menempati status pelayan yang menjalankan perintah-perintah warga yang diambil melalui pertemuan warga. Status pendeta seperti ini pada masyarakat Hindu-India ditemui dalam tradisi pujari yang tidak berasal dari tradisi Brahmana, sebab banyak pujari yang berasal dari non-Brahmin pada tempat-tempat suci desa.
Time of India memberitakan seorang muslim menjadi pujari di Payakaraopeta, Andhrapradesh-India (Time of India, 2007). Tradisi pujari yang berasal dari berbagai latarbelakang keluarga merupakan cerminan dari tradisi pendeta-pendeta lokal di Bali.
Pendeta-pendeta non-brahmin ini berasal dari pemikiran-pemikiran setelah zaman Veda, sebab pemikiran-pemikiran itu anti dan kritis terhadap tradisi brahmana.
Hal ini menghasilkan agama yang ke luar dari Veda (Jaina, Buddha dan Carwaka) dan agama Hindu revisi (Upanisad). Agama Hindu revisi ini berbasis filsafat, yaitu pemikiran yang logis dan sistematis. Hindu revisi ini berkembang lebih jauh menjadi agama bhakti, yang muncul setelah zaman upanisad sebab filsafat sepi dari hingar-bingar seni dan ritual.
Agama bhakti ini juga muncul karena jarak antara teks (Sanskerta) dengan masyarakat Hindu pada abad ke 7 - 15 Masehi, sebab perguruan-perguruan Hindu mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi karena berbagai faktor yang salah satunya adalah peperangan dengan pihak luar India. Agama bhakti ini yang melahirkan konsep pelayanan yang memandang masyarakat sebagai perwujudan Tuhan, seperti yang Gandhi sebut sebagai Harijan.
Swami Vivekananda menyebutkannya sebagai Daridranarayana. Pada pandangan ini, pengabdian pendeta kepada Tuhan, harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat.
Bentuk pelayanan ini didukung teks-teks purana seperti Ramayana, sebab setiap gerakan baru memerlukan pijakan wahyu, upanisad dan purana.
Purana seperti Ramayana menceritakan Shiva lahir ke dunia sebagai Hanuman adalah untuk mengabdi kepada Shri Rama. Purana ini menekankan pandangan bhakti dari Shiva, bahwa Shiva (Tuhan) lahir ke dunia sebagai pelayan (Wikipedea, 2025).
Pandangan inkarnasi Shiva sebagai pelayan menyebar menjadi agama Shiva dalam aliran bhakti. Aliran bhakti Shiva ini melahirkan aliran Lingayat di India selatan pada sekitar abad ke-12 Masehi. Aliran Shiva ini terkenal sebagai aliran yang menolak sistem kasta yang diciptakan kolonial Inggris tahun 1871 sehingga komunitas ini merasa sebagai masyarakat yang egaliter (Wikipedea, 2025).
Pandangan bhakti ini sampai ke Nusantara, yang di Jawa menjadi abdi dalam pewayangan, yaitu Semar. Semar dalam budaya Jawa disebutkan sebagai inkarnasi Bhatara Guru yang bertugas sebagai pelayan pengasuh. Semar ini muncul pada karyasastra Sudamala yang dipahat pada Candi Sukuh yang berasal dari Tahun 1437 (Wikipedea, 2025).
Hal ini membuktikan cerita Shiva yang menjelma menjadi pelayan masuk ke dalam khasanah Nusantara sehingga sesuai dengan perkembangan agama Hindu di India, yang berkembang dari zaman Upanisad ke Bhakti.
Pandangan Jawa ini berpengaruh ke Bali dalam tatanan desa pakraman, sebab pendeta-pendeta lokal desa pakraman adalah pelayan masyarakat.
Penyebutan pendeta lokal sebagai prajuru membuktikan posisi pendeta lokal itu sebagai pelayan masyarakat, tetapi di luar desa pakraman ada juga sistem brahmana yang memiliki status tertinggi meniru tradisi zaman Brahmana.
Pendeta status tertinggi ini mengaku sebagai inkarnasi Shiva, padahal inkarnasi Shiva dalam gerakan bhakti menjelma sebagai pelayan masyarakat. Inkarnasi Shiva dalam sistem brahmana (pendeta tertinggi) ini disebutkan bersandar pada tatva-tatwa seperti Wrespati Tatva dan lain-lain, tetapi tatva-tatva ini sebenarnya bersumber pada era upanisad yang egaliter.
Karena itu, status brahmana ini sebenarnya tidak memiliki pijakan teks dan tradisi bhakti di Bali. Bahkan merujuk pada sistem yoga yang disebutkan dalam tatva-tatva, juga merupakan jalan-jalan kemandirian yang egaliter.
Oleh karena itu, peningkatan status pendeta menjadi pendeta tertinggi (brahmana) rupanya lahir dari konstruk kolonial tentang kasta pada sekitar tahun 1912 – 1920 Masehi, sebab konstruk sosial Bali mengikuti pola kolonial Inggris tentang kasta di India tahun 1871. Konstruk kasta ini yang menempatkan pendeta tersebut sebagai pendeta tertinggi (brahmana). Konstruk brahmana dari kolonial ini sebenarnya telah mendapatkan perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat Bali pada era kolonial, seperti perlawanan Warga Pande (Kerepun, 2007), tetapi kolonial menerapkan ini sebab efektif dalam memecah belah masyarakat Bali seperti Inggris memecah belah masyarakat India mulai tahun 1871.
Setelah era kolonial (1950), masyarakat Bali kembali melakukan berbagai perubahan sosial dengan menghapuskan hukum-hukum kolonial tentang kasta tahun 1950. Parisada Hindu Dharma mengembangkan ini dalam bentuk pengakuan terhadap pendeta tertinggi yang berasal dari berbagai golongan, untuk mewadahi kritik-kritik dari kelompok Suryakantha tahun 1920-an.
Karena itu, konstruk agama Hindu pasca kolonial di Bali, telah kembali lagi pada semangat desa pakraman dimana pendeta tidak lagi istimewa, tetapi pelayan umat. Pendeta haruslah merupakan penjelmaan Shiva sebagai pelayan seperti dalam bentuk Semar atau Twalen di Bali yang menjadi pengempu umat. (*)