Oleh: I Gde Sudibya
Dalam dinamika kehidupan dewasa ini, umat Hindu dapat diingatkan akan hukum waktu Kaliyuga, bagian dari rentang waktu Mahayuga (siangnya Brahman), usia dari Alam Raya, yang menurut sastra rohani Hindu berusia 4.320.000.000 tahun.
Satu Mahayuga ini, untuk sederhananya dibagi dalam empat kurun waktu: Kerthayuga, Tretayuga, Dwiparayuga dan Kaliyuga.
Kesadaran murni insan manusia sangat dipengaruhi oleh hukum perputaran waktu (jantra) dari ke empat yuga di atas.
Pada zaman Kaliyuga, kesadaran murni ini (etika, motalitas spiritualitas), hanya tinggal sekitar 25 persen, 75 persen sisanya dipenuhi/disesaki oleh keinginan, ambisi, khayalan duniawi yang merupakan kekuatan ego, ahamkara manusia.
Akibatnya, realitas alamiah pikiran manusia (the state of human mind), penuh dengan keinginan, ambisi,khayalan dunia maya , sehingga tubuh dan kemudian pikiran ini menjadi semacam "mesin" pemenuhan keinginan yang tanpa batas. Keinginan yang satu melahirkan keinginan duniawi lain yang berlipat-lipat, sepanjang rentang waktu kehidupan.
Rujukan Sastra
Karakteristik prilaku insan manusia pada umumnya dalam Kaliyuga, kita dapat merujuk Pustaka Suci Bhagavata Purana yang di share oleh rekan Dr Kt Donder Teolog Hindu ternama, penjelasan Maha Rishi Sukadewa Goshwani kepada Raja Parikesit tentang 24 ciri dari zaman Kaliyuga.
Dalam konteks tulisan ini, akan disampaikan 7 dari 24 ciri ydm:
1.Dharma merosot dan Adharma berkembang subur.
2. Kualitas moral dan hidup manusia merosot.
3. Manusia bertabiat Asurik (jahat)
4. Manusia munafik dan curang.
5. Pemimpin bermoral buruk dan rendah.
6. Kekayaan material dan kenikmatan indrawi menjadi tujuan hidup.
7. Hukum dan keadilan ditentukan oleh kekuasaan.
Tantangan Transformasi Diri
Transformasi diri: Mulat Sarira, Tapa, Brata, Yoga, Samadhi, Astangga Yoga dari Rsi Patanjali (Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Praktiyahara, Dharana, Dhyana, Samadhi), sudah tentu gampang diucapkan tetapi sangat sulit menuju realisasi, di tengah realitas sebagian besar insan manusia bertekuk lutut kalah terhadap Sad Ripu, Sapta Timira.
Dan dalam sistem sosial ekonomi kehidupan yang melipat gandakan keinginan, berbangga diri dengan keserakahan dan berujung akhir pada pemujan berhala kebendaan.
Logika sederhananya, dalam kondisi ini kita memerlukan rohaniwan, tokoh spiritual tercerahkan, metaksu, memberi inspirasi insan-insan manusia di tengah-tengah kegelapan batinnya.
Tetapi ironinya, kita banyak menemukan guru rohani palsu, kompensasi dari pelarian kehidupan: kegagalan perkawinan, kalah dalam persaingan keras dunia kebendaan dan atau percaturan keras kekuasaan, kemudian mencoba lari ke dunia rohani.
Padahal, semestinya kita semua paham, jalan rohani "tajam berkelok-kelok penuh risiko" (meminjam ungkapan Mahatma Gandhi ), bukanlah tempat pelarian, tetapi pilihan kehidupan dengan penuh ketulusan tanpa pamrih (Vairagya).
Ironinya, guru palsu ini konon punya banyak pengikut, sudah tentu pengikut yang juga bingung karena kesamaan chemestry.
Contoh dari krisis kemanusiaan di zaman Kaliyuga. Apakah ini puncak dari zaman Kaliyuga?. Rasanya belum, karena menurut salah satu sastra rohani Hindu, manusia masih harus mengalami masa ini sekitar 260 ribu tahun.
Orang-orang berpikir jernih dan lebih positif memandang kehidupan ini berucap: silahkan hukum besi Kaliyuga berlangsung, tetapi merupakan dharma kita untuk terus membersihkan pikiran dan hati, melalui Tri Kaya Parisuda level dua, pikiran perkataan, dan perbuatan baik menjadi instrument transformasi dan penyucian diri.
Tetua Bali mengajarkan banyak hal tentang melakoni kehidupan di zaman Kalabendu , zaman edan: dekat dengan alam dan merawatnya, kesederhanaan dan kebersahajaan kehidupan. Harmoni dengan alam, kebersahajaan dalam kehidupan dalam prinsip hukum karma, melahirkan spirit dan kearifan kehidupan, termasuk dalam menghadapi jebakan kehidupan di zaman Kali.
*) I Gde Sudibya, pengasuh Dharma Sala "Bali Werdi Budaya " , Rsi Markandya " Ashram, Br.Pasek, Ds. Tajun, Den Bukit, Bali Utara.