Denpasar, 10/5 (Atnews) - Jatiluwih, kawasan sawah berundak di kaki Gunung Batukaru, Kecamatan Penebel, Tabanan, namanya tersohor di antero dunia sejak daerah itu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia (WDB) oleh UNESCO tujuh tahun lalu.
Pemandangan alam Jatiluwih tidak ada duanya di mancanegara, salah satunya berkat promosi dari UNESCO, sehingga daerah ini bisa disebut sebagai ikon subak sebagai WBD dan oleh sebab itu sedikitnya 200.000 turis domestik dan mancanegara datang berkunjung ke Jatiluwih setiap tahun.
Namun, banyaknya turis justru menjadi ancaman bagi masa depan Jatiluwih. Begitu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, maka pengelola Jatiluwih hanya dianggap sebagai daerah tujuan pariwisata, bukan lagi lahan pertanian yang harus dilestarikan.
Ada areal sawah di kawasan itu berubah dari peruntukan aslinya sebagai penghasil padi tetapi dibanguni tempat usaha wisata seperti rumah makan, tempat parkir, tempat penginapan sekala kecil, dan sebagainya.
Kondisi pembangunan di kawasan itu bisa disaksikan lewat gambar (foto) hasil bidikan pengunjung yang disebarkan lewat Mensos ( media sosial). Pihak UNESCO tampaknya mengetahui hal itu sehingga mengeluarkan ancaman untuk mencabut predikat WDB Jatiluwih.
Ancaman tersebut tampaknya kurang mendapat tanggapan dari pemerintah setempat, baik bupati maupun gubernur Bali, apalagi oleh pengelola kawasan Jatiluwih, peringatan itu dipandang sebelah mata.
Jika pihak UNESCO benar melaksanakan
ancamannya, mencabut predikat Jatiluwih sebagai WBD, tampaknya bisa "menampar" muka Presiden RI Joko Widodo, karena peristiwa itu sudah menyangkut dunia.
Semua kalangan mengakui Gubernur Wayan Koster yang belum ada satu tahun memimpin Bali banyak membuat produk hukum untuk menyelamatkan dan melestarikan Pulau Dewata, tetapi disayangkan kasus di depan mata tentang warisan budaya subak ini kurang mendapat perhatian.
Maka dari itu tidak menyalahkan hampir semua yang pernah terlibat dalam merancang proposal WBD ke UNESCO mengaku menyayangkan ulah dari pengelola obyek wisata Jatiluwih yang hanya memikirkan jangka pendek sehingga predikat yang disandang Jatiluwih sejak 2012 terancam dicabut.
Markas besar The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tampaknya tidak tinggal diam dengan mengundang Ketua Pusat Penelitian (Puslit) Subak Universitas Udayana (Unud) Prof Wayan Windia untuk datang ke Paris, Perancis pada 13 Mei mendatang.
UNESCO mengharapkan Prof Windia mempresentasikan tentang sistem subak di Bali dalam acara “International Water Conference”.
Pada kesempatan itu, Ia akan menyampaikan berbagai pelanggaran warisan budaya dunia (WBD) Kawasan Subak Jatiluwih.
“Saya akan mengusulkan agar pengakuan UNESCO terhadap Subak Jatiluwih dan lain-lain sebagai WBD agar dicabut saja,” kata Windia di Denpasar.
Oleh karena, hampir semua janji pemerintah kepada UNESCO tidak dilaksanakan. Bahkan banyak terjadi pelanggaran di Kawasan Subak Jatiluwih.
Sejak ditetapkan UNESCO menetapkan WBD Subak Jatiluwih tahun 2012 hingga kini belum terbentuk badan pengelola WBD.
Serta melaksanakan lima prioritas program sesuai dosier atau proposal yang dikirim ke UNESCO.
Pertama menyejahterakan petani dan mengajak petani ikut terlibat dalam pengambilan keputusan, Kedua dengan memberikan jasa lingkungan kepada petani. Ketiga mengembangkan pariwisata yang terkendali. Keempat tidak menggunakan barang pabrikan untuk menggantikan benda yang lama. Serta pembangunan infrastruktur yang tidak merusak kawasan.
Inilah yang perlu digarap oleh para pemegang kekuasaan di Bali, baik eksekutif, legislatif bersama badan berkompenten lainnya bergerak berbuat sesuatu paling sedikit mengawali dengan membentuk badan pengelola WBD. (art/ika)