Oleh IK Budiasa
Puja Trisandya adalah doa paling umum yang digunakan umat Hindu di Indonesia. Meski pada prakteknya mungkin jarang umat Hindu awam yang benar-benar melakukannya 3 kali sehari (tri:3, sandya: waktu), tetapi umumnya setiap persembahyangan selalu diawali dengan Puja Trisandya, sebuah puja 6 bait yang, bila ditelisik mendalam, ternyata sungguh mengagumkan.
Bait pertama diambil dari Rg Weda III.62.10. Pada bait ini, objek pemujaan adalah Savitri atau Gayatri, dua nama yang sesungguhnya jarang ditemukan dalam doa-doa lain, khususnya untuk umat Hindu di Nusantara. Tapi umat Hindu telah menerima mantra ini sebagai “mantra wajib”. Bila sembahyang buru-buru biasanya Trisandya “disingkat” hanya mengambil bait pertama ini dan bait ke 6.
Bait kedua lebih menakjubkan dari sisi sumber, karena berasal dari Narayana Upanisad. Sebagaimana diketahui, Narayana adalah nama lain dari Visnu. Visnu adalah “Tuhan Pemelihara” dalam konsep Tri Murti. Visnu-lah yang turun ke dunia untuk menegakkan Dharma sebagaimana sabdanya dalam Bhagawad Gita. Secara umum, umat Hindu meyakini 10 Awatara Visnu (dasa awatara), 9 diantaranya sudah turun ke dunia dengan 2 nama yang paling familiar karena termuat dalam dua itihasa Hindu Ramayana dan Mahabrata: Rama dan Krisna.
Bait ketiga, berasal dari Siwa Stawa. Bait ini menakjubkan karena menjabarkan “OM” yang satu dalam berbagai nama: Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu dan juga Rudra. Mantra istimewa ini terasa semakin menakjubkan mengingat penempatannya di bait ketiga, tepat setelah bait pertama memuja Gayatri dan bait kedua mengagungkan Narayana.
Bait ke 4, 5 dan 6 diambil dari Weda Parikrama, yang merupakan kitab panduan para pemangku di Bali sejak dahulu jauh sebelum Puja Trisandya disusun. Konon, mantra pengaksama ini aslinya terdiri dari 5 bait, tetapi hanya 3 bait yang diambil menjadi bagian dari Puja Trisandya.
Dari bait-bait itu, kita bisa menangkap dengan jelas paham inklusif umat Hindu di Nusantara. Dan paham inklusif itu, selain baik, adalah juga benar sesuai ajaran Veda. Mungkin semua mengalir begitu saja tanpa kita sadari, tetapi inklusifitas yang merupakan produk kesadaran agung Veda itu sejatinya telah menjadi bagian dari keseharian kita, merasuk ke dalam alam bawah sadar kita.
Maka marilah kita sadari dan kita jaga terus inklusifitas itu. Tantangan, dalam bentuk apapun, tidak seharusnya menyeret kita mundur dari kesadaran agung yang telah diwariskan kepada kita oleh para tetua kita.
Tantangan-tantangan itu harusnya dapat kita jawab dengan pengetahuan yang mencerahkan. Dengan itu, kita menjadi semakin kuat dengan nilai2 yg kita anut, menjadi percaya diri, dan elegan. Itulah ekspresi terbaik dari sebuah keyakinan, seperti bukti terbaik dari sebuah pohon mangga adalah rasa manis pada buahnya.
*) IK Budiasa, Sekretaris Umum PHDI