Denpasar, 23/10 (Atnews) - Kelian Adat Banjat Sakah, Desa Adat Kepaon A.A Gede Agung Aryawan, ST yang akrab dipanggil Gung De didampingi Kelian Dinas Banjar Sakah, Desa Pemogan I Ketut Sumadi Putra memenuhi panggilan dari Polresta Denpasar,.
Setelah dirinya dilaporkan oleh penanggung jawab gudang minuman beralkohol (mikol) I Gede Anom Adnyana yang didampingi kuasa hukumnya I Made Kadek Arta, SH sesuai surat pengaduan masyarakat nomor Dumas/722/X/2019/Bali/Resta Dps tertanggal 8 Oktober 2019 terkait penghentian proyek gudang mikol di Jalan Sunia Negara Banjar Sakah, Desa Pemogan.
Ia mendapatkan sekitar 20 pertanyaan yang diberikan oleh penyidik terkait seputar penutupan gudang mikol di Jalan Sunia Negara Banjar Sakah, Desa Pemogan.
"Setelah saya dan Kelian Dinas Banjar Sakah dipanggil penyidik, pecalang juga akan dipanggi,” kata Gung De di Denpasar, Rabu (23/10).
Dirinya mengaku aneh terhadap kasus tersebut karena pelapor tanpa mengantongi ijin mendirikan bangunan (IMB) sedangkan berani melakukan gugatan hukum.
Padahal pihaknya berupaya melakukan pendekatan dan mediasi tetapi pihak pengusaha membandel tidak mengikuti aturan yang ada.
Mereka hanya ingin usaha mikolnya dilegalkan tanpa ikut aturan yang ada baik sesuai awig-awig maupun Peraturan Daerah (Perda) tata ruang.
"Jangan sampai pengusaha dari kalangan masyarakat kecil tidak punya IMB ditindak tegas, sedangkan pengusaha besar yang memiliki uang banyak dibiarkan melanggar, tajam ke atas tumpul kebawah,” tegasnya.
Masyarakat setempat juga kecewa dari tindakan Satpol PP yang sudah turun dua kali namun tidak ada tindak lanjut, justru pembangunan tetap berlanjut meskipun tidak punya IMB.
Sementara DPRD sebagai pembuat aturan dan pengawasan nampak lemah.
Pembangunan masih tetap berlanjut dengan melibatkan pekerja penduduk pendatang cukup banyak tanpa melapor sebagai penduduk non permanen kepada banjar adat & pecalang.
Apalagi di Bali sebagai daerah pariwisata yg sangat tergantung dari keamanan penduduknya.
"Sikap masyarakat secara spontan melakukan tindakan yang mengacu pada Awig-awig Br Sakah tentang wewangunan, pelemahan & krama tamiu, tetapi ujungnya malah berhadapan dengan hukum,” ungkapnya.
Persoalan Pemerintahan Kota Denpasar itu mengindikasikan rakyat selalu menjadi korban.
“Bahwa apa yang terjadi di Denpasar merupakan hal klasik tidak dapat diproses cepat sehingga Perda nampak banyak prosedur seolah-olah dibuat-buat dan berbelit-belit,” ujarnya.
Pecalang masuk ranah hukum terkait penertiban pelemahan & warga “tamiu”, suatu hal yang sangat janggal
Lalu apa bedanya dengan Satpol PP turun ke lapangan tidak bertindak tegas terhadap bangunan tanpa IMB, sama saja artinya merestui pembangunan-pembanguan di Kota Denpasar tanpa mengikuti aturan yg berlaku.
"Artinya saya tidak bisa hanya berdiam dan berpangku tangan sebagai Kelian Adat Banjar Sakah melihat krama tamiu bekerja pada bangunan tanpa IMB & melapor ke banjar. Karena dari Satpol PP tidak melakukan tindakan tegas pada saat itu. Padahal Satpol PP sudah mengetahui dibalik itu ada pelanggaran," paparnya.
Kejadian itu membuat masyarakat mulai tergerak dengan menghentikan pembangunan proyek secara spontan berdasarkan Awig-awig.
Apalagi tupoksinya disini adalah bisa menjalankan awig-awig yang berdasarkan konsep “Tri Hita Karana”.
Selain itu, pihaknya bersama masyarakat setempat juga sempat melakukan mediasi, namun penanggung jawab bangunan berkata kalau ini tanah miliknya tentu apa yang dilakukannya bebas.
Apakah itu bisa dibenarkan kata-katanya. Apalagi pemilik bangunan belum sepenuhnya mengantongi IMB & melakukan pembangunan yang tidak sesuai peruntukan yg di keluar kan lewat SKRK oleh Dinas PUPR. Dan gudang mikol bila dilihat perkembangannya kedepan berdampak sosial dan negatif jika tidak dikendalikan dengan aturan yang ada.
Kasus itu dapat jadi pembelajaran bagi semua, baik Walikota dan Wakil Rakyat (DPRD) yang membuat Perda begitu menyita perhatian waktu.
Dengan membangun tanpa IMB bisa masuk pengaduan masyarakat.
Apalagi masuk proses lidik. Jangan sampai hal seperti ini kembali terulang, sebab ini menjadi preseden buruk pemerintahan kedepannya terkait dengan perijinan. (ART/02)