Banner Bawah

Reklamasi Memperkosa Branding Pariwisata Makasar

Artaya - atnews

2019-03-10
Bagikan :
Dokumentasi dari - Reklamasi Memperkosa Branding Pariwisata Makasar
Slider 1

Oleh Wayan Windia
​Cukup lama saya tidak berkunjung ke Makasar. Saya sangat terkejut ketika medio bulan yang lalu mengunjungi Pantai Losari. Ternyata brand pariwasata Makasar itu telah “diperkosa” habis-habisan. Pantai Losari yang cantik melankolik telah kehilangan wajahnya. Sebelumnya, banyak orang-orang yang berwacana bahwa “anda belum tercatat datang ke Makasar kalau belum menikmati panorama Pantai Losari, dan makan pisang epek-epek”. 
Tapi kini, wacana itu telah kehilangan makna. Kita tidak lagi dapat menikmati wajah matahari yang muram, ketika akan tenggelam di ufuk barat. Karena sangat terhalang oleh reklamasi-teluk yang “memperkosa” pandangan mata, yang seharusnya bisa lepas menerawang jauh ke horizon. Publik telah kehilangan horizon pantainya. Melihat reklamasi di Pantai Losari, saya teringat semangat dan keberhasilan masyarakat Bali untuk menentang dan menolak reklamasi kawasan Teluk Benoa. Sebanyak 33 desa adat di Bali membuat deklarasi dan datang ke Jakarta (DPR-RI) untuk memperjuangkan tuntutannya. Ternyata berhasil.​Dalam hujan gerimis, saya menyusuri kawasan itu dengan seksama. Ternyata memang tidak banyak lagi wisatawan yang datang ke kawasan tsb. Pantai Losari tampak sangat kotor. Gotnya berbau busuk. Toko-toko kelihatan sepi, dan ada toko yang saya lihat sudah tutup. Tidak lama lagi bangunan-bangunan tinggi akan semakin menjulang di kawasan Losari, tetapi wisatawan pasti akan semakin berkurang. Saya khawatir bangunan-bangunan gedung itu, pada saatnya nanti akan menjadi “rumah hantu”. Dalam konsep ekonomi, telah terjadi apa yang disebut sebagai “the law of decreasing return”.    
​Dalam dekade Abad ini, kecendrungan wisatawan adalah kembali ke alam (back to nature). Karena ada indikasi masyarakat di negara maju sudah muak dengan alam yang polutif. Mereka sudah susah melihat langit, susah melihat bintang-bintang, susah melihat kunang-kunang. Itulah sebabnya banyak wisatawan yang merindukan sawah yang hijau dan pantai yang biru. Kalau alam sudah rusak, maka wisatawan yang datang hanyalah wisatawan untuk sekedar kencing dan berak. Urusan keuangan sang wisatawan, sudah selesai di negaranya.  Saya menyebut wisatawan seperti itu sebagai wisatawan kelas sandal-jepit.  
​Saya masih menyusuri kawasan Pantai Losari semakin jauh. Saya sampai di kawasan Benteng Roterdam. Kawasan ini cukup tertata dengan baik. Tetapi pada saat masuk di pintu gerbang, saya diminta lapor ke ruang tamu. “Tamu harap lapor” demikian tertera di pintu masuk. Saya diminta menulis di buku tamu dan kemudian setengah berbisik petugas yang ada di ruangan itu meminta sumbangan sukarela. “Sekedarnya pak. Sesuka relanya” katanya. Saya tidak mau berdebat. Saya serahkan uang lima ribu rupiah. Lalu dimasukkan ke laci. Sebetulnya hal itu bisa di OTT. Tetapi saya tidak sampai hati melihat pegawai yang dekil dan matanya muram.  Ia pasti bukan golongan orang kaya. Asalkan uang itu dibagi rata, ya tidak apa-apalah. Kemudian saya pergi meninjau relung-relung benteng. Saya memasuki ruangan penjara yang pernah dihuni Pangeran Diponogoro. Ruangan itu masih berbau magis. Terbayang sang pangeran yang hidup menderita selama lebih dari 21 tahun di ruang tahanan benteng itu. Tempat tidurnya sangat sederhana, dan Al Quran selalu berada di samping tempat tidurnya.
​Memasuki Museum La Galigo saya terkesan dengan peninggalan sejarah dan budaya suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan. Hanya saja museum itu sepertinya tidak terpelihara dengan baik. Lampu penerangan dan AC kebanyakan sudah rusak. Kelihatan sekali stakeholders yang terkait tidak concern dengan benda budaya dan wisata. Sistem politik tampaknya telah mengalahkan segala-galanya. Politik sudah menjadi panglima.
Hal yang senada saya saksikan juga di Museum Monumen Pembebasan Irian Barat (MMPIB). Keadannya sangat…saangat menyedihkan. Di tepi kolam monumen ada pakaian kumal yang sedang dijemur. Gelap, panas, dan suasana ruangan yang tidak keruan-keruan. Pintu museum selalu tertutup. Kalau ada tamu, barulah dibuka. Petugasnya tua-tua… Wah, kalau Pak Harto masih hidup, beliau pasti marah besar. Beginikah cara pemimpin kita sekarang menghormati sejarahnya? Kalau saja semua itu digarap dengan baik, maka semua kawasan itu akan menjadi obyek wisata yang mengesankan. Di Bali munumen semacam MMPIB, yakni di Momumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) bisa menghasilkan 10 milyar per tahun. Mungkin pemerintah di Sulsel bisa belajar ke Bali.
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Putri Koster Melakukan Sinkronisasi HATINYA PKK di Desa Keliki

Terpopuler

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Bali Kebanjiran Timbulkan Kerusakan dan Trauma, Apa Strategi Mitigasi Pasca Rekor Hujan Ekstrem 10 September?

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Garuda Wisnu Kencana dan Perubahan Sosial di Bali

Sewa Pertokoan di Dalung

Sewa Pertokoan di Dalung

Gubernur Bali: Yayasan Kebaktian Proklamasi Harus Mampu Bangun Generasi Muda Bersaing Global

Gubernur Bali: Yayasan Kebaktian Proklamasi Harus Mampu Bangun Generasi Muda Bersaing Global

DPN PERADI SAI Mengangkat 64 Calon Advokat di Pengadilan Tinggi Denpasar, Diharapkan Advokat Baru Kuasi Teknologi

DPN PERADI SAI Mengangkat 64 Calon Advokat di Pengadilan Tinggi Denpasar, Diharapkan Advokat Baru Kuasi Teknologi

Danantara Dukung Pembanguan Waste to Energy di Bali, KMHDI Bali: Harus Lulus Uji Emisi

Danantara Dukung Pembanguan Waste to Energy di Bali, KMHDI Bali: Harus Lulus Uji Emisi